Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga, para sahabatnya dan orang-orang yang mengikuti petunjuk mereka hingga akhir zaman.
Dalam pemanfaatan hasil sembelihan qurban, seringkali kali kita saksikan beberapa hal yang dinilai kurang tepat menurut kacamata syari’at. Beberapa pelanggaran dalam ibadah ini sering terjadi, mungkin saja karena belum sampainya ilmu kepada orang yang melakukan ibadah qurban. Dalam tulisan kali ini -dengan taufik dan pertolongan Allah-, kami berusaha menjelaskan bagaimana pemanfaatan hasil sembelihan qurban yang tepat yang sesuai dengan tuntunan syari’at, juga bagaimanakah penilaian syariat terhadap praktek kaum muslimin saat ini dalam hal jual kulit hasil sembelihan qurban. Semoga Allah memberi kemudahan dan memberi taufik bagi siapa saja yang membaca risalah ini.
Pemanfaatan Hasil Sembelihan Qurban yang Dibolehkan
Allah Ta’ala berfirman,
لِيَشْهَدُوا
مَنَافِعَ لَهُمْ وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ فِي أَيَّامٍ مَعْلُومَاتٍ
عَلَى مَا رَزَقَهُمْ مِنْ بَهِيمَةِ الأنْعَامِ فَكُلُوا مِنْهَا
وَأَطْعِمُوا الْبَائِسَ الْفَقِيرَ
“Supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka
dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan
atas rezeki yang Allah telah berikan kepada mereka berupa binatang
ternak. Maka makanlah sebahagian daripadanya dan (sebahagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara lagi fakir.” (QS. Al Hajj: 28)
Dalam hadits dari Salamah bin Al Akwa’ radhiyallahu, ia berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
« مَنْ ضَحَّى
مِنْكُمْ فَلاَ يُصْبِحَنَّ بَعْدَ ثَالِثَةٍ وَفِى بَيْتِهِ مِنْهُ
شَىْءٌ » . فَلَمَّا كَانَ الْعَامُ الْمُقْبِلُ قَالُوا يَا رَسُولَ
اللَّهِ نَفْعَلُ كَمَا فَعَلْنَا عَامَ الْمَاضِى قَالَ « كُلُوا
وَأَطْعِمُوا وَادَّخِرُوا فَإِنَّ ذَلِكَ الْعَامَ كَانَ بِالنَّاسِ
جَهْدٌ فَأَرَدْتُ أَنْ تُعِينُوا فِيهَا »
”Barangsiapa di antara kalian berqurban, maka janganlah
ada daging qurban yang masih tersisa dalam rumahnya setelah hari
ketiga.” Ketika datang tahun berikutnya, para sahabat mengatakan, ”Wahai Rasulullah, apakah kami harus melakukan sebagaimana tahun lalu?” Maka beliau menjawab, ”(Adapun sekarang), makanlah sebagian, sebagian lagi berikan kepada orang lain dan sebagian lagi simpanlah. Pada tahun lalu masyarakat sedang mengalami paceklik sehingga aku berkeinginan supaya kalian membantu mereka dalam hal itu.”[1]
Jika kita melihat dalam hadits di atas, Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam memerintahkan
pada
shohibul qurban untuk memakan daging qurban, memberi makan pada
orang lain dan menyimpan daging qurban yang ada. Namun apakah perintah
di sini wajib? Jawabnya, perintah di sini tidak wajib. Alasannya,
perintah ini datang setelah adanya larangan. Dan berdasarkan kaedah
Ushul Fiqih, ”Perintah setelah adanya larangan adalah kembali ke hukum sebelum dilarang.[2]”
Hukum makan dan menyimpan daging qurban sebelum adanya larangan
tersebut adalah mubah. Sehingga hukum shohibul qurban memakan daging
qurban, memberi makan pada orang lain dan menyimpannya adalah mubah.
Ibnu Hajar Al Asqolani dalam Fathul Bari mengatakan,
وَقَوْله "
كُلُوا وَأَطْعِمُوا " تَمَسَّكَ بِهِ مَنْ قَالَ بِوُجُوبِ الْأَكْل مِنْ
الْأُضْحِيَّة ، وَلَا حُجَّة فِيهِ لِأَنَّهُ أَمْر بَعْد حَظْر فَيَكُون
لِلْإِبَاحَةِ
”Sebagian orang yang berpendapat bahwa shohibul qurban wajib
memakan sebagian daging qurbannya beralasan dengan perintah Nabi
–shallallahu ’alaihi wa sallam- ”makanlah dan berilah makan” dalam
hadits di atas. Namun sebenarnya mereka tidak memiliki dalil yang jelas.
Karena perintah tersebut datang setelah adanya larangan, maka dihukumi
mubah (boleh).”
Dalam hadits ini kita juga mengetahui bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
pernah melarang menyimpan daging qurban lebih dari tiga hari. Hal itu
agar umat Islam pada saat itu menshodaqohkan kelebihan daging qurban
yang ada. Namun larangan tersebut kemudian dihapus. Dalam hadits lain,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan tegas menghapus larangan tersebut dan menyebutkan alasannya. Beliau bersabda,
« كُنْتُ
نَهَيْتُكُمْ عَنْ لُحُومِ الأَضَاحِى فَوْقَ ثَلاَثٍ لِيَتَّسِعَ ذُو
الطَّوْلِ عَلَى مَنْ لاَ طَوْلَ لَهُ فَكُلُوا مَا بَدَا لَكُمْ
وَأَطْعِمُوا وَادَّخِرُوا ». قَالَ وَفِى الْبَابِ عَنِ ابْنِ مَسْعُودٍ
وَعَائِشَةَ وَنُبَيْشَةَ وَأَبِى سَعِيدٍ وَقَتَادَةَ بْنِ النُّعْمَانِ
وَأَنَسٍ وَأُمِّ سَلَمَةَ. قَالَ أَبُو عِيسَى حَدِيثُ بُرَيْدَةَ حَدِيثٌ
حَسَنٌ صَحِيحٌ.
“Dulu aku melarang kalian dari menyimpan daging qurban
lebih dari tiga hari agar orang yang memiliki kecukupan memberi keluasan
kepada orang yang tidak memiliki kecukupan. Namun sekarang, makanlah
semau kalian, berilah makan, dan simpanlah.”[3] Setelah menyebutkan hadits ini, At Tirmidzi mengatakan,
وَالْعَمَلُ عَلَى هَذَا عِنْدَ أَهْلِ الْعِلْمِ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- وَغَيْرِهِمْ.
“Hadits ini telah diamalkan oleh para ulama dari sahabat Nabi dan selain mereka.”
Apakah Mesti Ada Pembagian 1/3 - 1/3?
Syaikh Abu Malik dalam Shahih Fiqh Sunnah memberikan
keterangan, “Kebanyakan ulama menyatakan bahwa orang yang berqurban
disunnahkan bersedekah dengan sepertiga hewan qurban, memberi makan
dengan sepertiganya dan sepertiganya lagi dimakan oleh dirinya dan
keluarga. Namun riwayat-riwayat tersebut sebenarnya adalah riwayat yang lemah.
Sehingga yang lebih tepat hal ini dikembalikan pada keputusan orang
yang berqurban (shohibul qurban). Seandainya ia ingin sedekahkan seluruh
hasil qurbannya, hal itu diperbolehkan. Dalilnya, dari Ali bin Abi
Thalib radhiyallahu ’anhu,
أَنَّ
النَّبِىَّ - صلى الله عليه وسلم - أَمَرَهُ أَنْ يَقُومَ عَلَى بُدْنِهِ ،
وَأَنْ يَقْسِمَ بُدْنَهُ كُلَّهَا ، لُحُومَهَا وَجُلُودَهَا
وَجِلاَلَهَا ] فِى الْمَسَاكِينِ[ ، وَلاَ يُعْطِىَ فِى جِزَارَتِهَا
شَيْئًا
Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam memerintahkan dia
untuk mengurusi unta-unta hadyu. Beliau memerintah untuk membagi semua
daging qurbannya, kulit dan jilalnya (kulit yang ditaruh pada punggung
unta untuk melindungi dari dingin) untuk orang-orang miskin. Dan beliau
tidak diperbolehkan memberikan bagian apapun dari qurban itu kepada
tukang jagal (sebagai upah).[4]”[5] Dalam hadits ini terlihat bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai menyedekahkan seluruh hasil sembelihan qurbannya kepada orang miskin.
Al Lajnah Ad Da-imah (Komisi Fatwa di Saudi Arabia)
mengatakan, “Hasil sembelihan qurban dianjurkan dimakan oleh shohibul
qurban. Sebagian lainnya diberikan kepada faqir miskin untuk memenuhi
kebutuhan mereka pada hari itu. Sebagian lagi diberikan kepada kerabat
agar lebih mempererat tali silaturahmi. Sebagian lagi diberikan pada
tetangga dalam rangka berbuat baik. Juga sebagian lagi diberikan pada
saudara muslim lainnya agar semakin memperkuat ukhuwah.”[6]
Dalam fatwa lainnya, Al Lajnah Ad Da-imah menjelaskan
bolehnya pembagian hasil sembelihan qurban tadi lebih atau kurang dari
1/3. Mereka menjelaskan, “Adapun daging hasil sembelihan qurban, maka
lebih utama sepertiganya dimakan oleh shohibul qurban; sepertiganya lagi
dihadiahkan pada kerabat, tetangga, dan sahabat dekat; serta
sepertiganya lagi disedekahkan kepada fakir miskin. Namun jika lebih/
kurang dari sepertiga atau diserahkan pada sebagian orang tanpa lainnya
(misalnya hanya diberikan pada orang miskin saja tanpa yang lainnya,
pen), maka itu juga tetap diperbolehkan. Dalam masalah ini ada
kelonggaran.”[7]
Intinya, pemanfaatan hasil sembelihan qurban yang dibolehkan adalah:
- Dimakan oleh shohibul qurban.
- Disedekahkan kepada faqir miskin untuk memenuhi kebutuhan mereka.
- Dihadiahkan pada kerabat untuk mengikat tali silaturahmi, pada tetangga dalam rangka berbuat baik dan pada saudara muslim lainnya agar memperkuat ukhuwah.
Bolehkah Memberikah Hasil Sembelihan Qurban pada Orang Kafir?
Al Lajnah Ad Da-imah (Komisi Fatwa di Saudi Arabia) pernah
diajukan pertanyaan: Bolehkah daging qurban hasil sembelihan atau
sesuatu yang termasuk sedekah diserahkan pada orang kafir?
Jawaban ulama yang duduk di Al Lajnah Ad Da-imah: “Orang kafir boleh diberi hewan hasil sembelihan qurban, asalkan ia bukan kafir harbi (yaitu bukan kafir yang diajak perang) .... Dalil hal ini adalah firman Allah Ta’ala,
لا
يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ
وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا
إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ
“Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan
berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama
dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah
menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (QS. Al Mumtahanah: 8). Alasan lainnya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
pernah memerintahkan pada Asma’ binti Abi Bakr agar menyambung hubungan
baik dengan ibunya padahal ibunya adalah seorang musyrik sebagaimana
diriwayatkan oleh Al Bukhari[8].”[9]
Kesimpulan: Memberikan hasil hewan qurban kepada orang
kafir (asalkan bukan kafir harbi) dibolehkan karena status hewan qurban
sama dengan sedekah atau hadiah. Dan kita diperbolehkan memberikan
sedekah maupun hadiah kepada siapa saja termasuk orang kafir. Sedangkan
pendapat yang melarang adalah pendapat yang tidak kuat karena tidak
berdalil.
Pemanfaatan Hasil Sembelihan Qurban yang Terlarang
Ada dua bentuk pemanfaatan hasil sembelihan qurban yang
terlarang, yaitu [1] Menjual sebagian dari hasil sembelihan qurban dan
[2] Memberi upah pada jagal dari hasil sembelihan qurban. Berikut
penjelasannya.
Larangan pertama: Menjual sebagian dari hasil sembelihan qurban baik berupa kulit, wol, rambut, daging, tulang dan bagian lainnya.
Dalil terlarangnya hal ini adalah hadits Abu Sa’id, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
وَلاَ تَبِيعُوا لُحُومَ الْهَدْىِ وَالأَضَاحِىِّ فَكُلُوا وَتَصَدَّقُوا وَاسْتَمْتِعُوا بِجُلُودِهَا وَلاَ تَبِيعُوهَا
“Janganlah menjual hewan hasil sembelihan hadyu[10]
dan sembelian udh-hiyah (qurban).Tetapi makanlah, bershodaqohlah, dan
gunakanlah kulitnya untuk bersenang-senang, namun jangan kamu
menjualnya.” Hadits ini adalah hadits yang dho’if (lemah).[11]
Walaupun hadits di atas dho’if, menjual hasil sembelihan qurban tetap terlarang. Alasannya, qurban disembahkan sebagai bentuk taqorrub
pada Allah yaitu mendekatkan diri pada-Nya sehingga tidak boleh
diperjualbelikan. Sama halnya dengan zakat. Jika harta zakat kita telah
mencapai nishob (ukuran minimal dikeluarkan zakat) dan telah memenuhi
haul (masa satu tahun), maka kita harus serahkan kepada orang yang
berhak menerima tanpa harus menjual padanya. Jika zakat tidak boleh
demikian, maka begitu pula dengan qurban karena sama-sama bentuk taqorrub
pada Allah. Alasan lainnya lagi adalah kita tidak diperkenankan
memberikan upah kepada jagal dari hasil sembelihan qurban sebagaimana
nanti akan kami jelaskan.[12]
Dari sini, tidak tepatlah praktek sebagian kaum muslimin
ketika melakukan ibadah yang satu ini dengan menjual hasil qurban
termasuk yang sering terjadi adalah menjual kulit. Bahkan untuk menjual
kulit terdapat hadits khusus yang melarangnya. Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ بَاعَ جِلْدَ أُضْحِيَّتِهِ فَلاَ أُضْحِيَّةَ لَهُ
“Barangsiapa menjual kulit hasil sembelihan qurban, maka tidak ada qurban baginya.”[13] Maksudnya, ibadah qurbannya tidak ada nilainya.
Larangan menjual hasil sembelihan qurban adalah pendapat
para Imam Asy Syafi’i dan Imam Ahmad. Imam Asy Syafi’i mengatakan,
“Binatang qurban termasuk nusuk (hewan yang disembelih untuk mendekatkan
diri pada Allah). Hasil sembelihannya boleh dimakan, boleh diberikan
kepada orang lain dan boleh disimpan. Aku tidak menjual sesuatu dari
hasil sembelihan qurban (seperti daging atau kulitnya, pen). Barter
antara hasil sembelihan qurban dengan barang lainnya termasuk jual
beli.”[14]
Sedangkan Imam Abu Hanifah berpendapat dibolehkannya menjual hasil sembelihan qurban, namun hasil penjualannya disedekahkan.[15] Akan tetapi, yang lebih selamat dan lebih tepat, hal ini tidak diperbolehkan berdasarkan larangan dalam hadits di atas dan alasan yang telah disampaikan. Wallahu a’lam.
Catatan penting yang perlu diperhatikan:
Pembolehan menjual hasil sembelihan qurban oleh Abu Hanifah adalah
ditukar dengan barang karena seperti ini masuk kategori pemanfaatan
hewan qurban menurut beliau. Jadi beliau tidak memaksudkan jual beli di
sini adalah menukar dengan uang. Karena menukar dengan uang secara jelas
merupakan penjualan yang nyata. Inilah keterangan dari Syaikh Abdullah
Ali Bassam dalam Tawdhihul Ahkam[16] dan Ash Shon’ani dalam Subulus Salam[17].
Sehingga tidak tepat menjual kulit atau bagian lainnya, lalu
mendapatkan uang sebagaimana yang dipraktekan sebagian panitia qurban
saat ini. Mereka sengaja menjual kulit agar dapat menutupi biaya
operasional atau untuk makan-makan panitia.
Mengenai penjualan hasil sembelihan qurban dapat kami rinci:
- Terlarang menjual daging qurban (udh-hiyah atau pun hadyu) berdasarkan kesepakatan (ijma’) para ulama.[18]
- Tentang menjual kulit qurban, para ulama berbeda pendapat:
Pertama:
Tetap terlarang. Ini pendapat mayoritas ulama berdasarkan hadits di
atas. Inilah pendapat yang lebih kuat karena berpegang dengan zhahir
hadits (tekstual hadits) yang melarang menjual kulit sebagaimana
disebutkan dalam riwayat Al Hakim. Berpegang pada pendapat ini lebih
selamat, yaitu terlarangnya jual beli kulit secara mutlak.
Kedua:
Boleh, asalkan ditukar dengan barang (bukan dengan uang). Ini pendapat
Abu Hanifah. Pendapat ini terbantah karena menukar juga termasuk jual
beli. Pendapat ini juga telah disanggah oleh Imam Asy Syafi’i dalam Al Umm
(2/351). Imam Asy Syafi’i mengatakan, “Aku tidak suka menjual daging
atau kulitnya. Barter hasil sembelihan qurban dengan barang lain juga
termasuk jual beli.” [19]
Ketiga: Boleh secara mutlak. Ini pendapat Abu Tsaur sebagaimana disebutkan oleh An Nawawi[20]. Pendapat ini jelas lemah karena bertentangan dengan zhahir hadits yang melarang menjual kulit.
Sebagai nasehat bagi yang menjalani ibadah qurban:
Hendaklah kulit tersebut diserahkan secara cuma-cuma kepada siapa saja
yang membutuhkan, bisa kepada fakir miskin atau yayasan sosial. Setelah
diserahkan kepada mereka, terserah mereka mau manfaatkan untuk apa.
Kalau yang menerima kulit tadi mau menjualnya kembali, maka itu
dibolehkan. Namun hasilnya tetap dimanfaatkan oleh orang yang menerima
kulit qurban tadi dan bukan dimanfaatkan oleh shohibul qurban atau panitia qurban (wakil shohibul qurban).
Larangan kedua: Memberi upah pada jagal dari hasil sembelihan qurban.
Dalil dari hal ini adalah riwayat yang disebutkan oleh ‘Ali bin Abi Tholib,
أَمَرَنِى
رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَنْ أَقُومَ عَلَى بُدْنِهِ وَأَنْ
أَتَصَدَّقَ بِلَحْمِهَا وَجُلُودِهَا وَأَجِلَّتِهَا وَأَنْ لاَ أُعْطِىَ
الْجَزَّارَ مِنْهَا قَالَ « نَحْنُ نُعْطِيهِ مِنْ عِنْدِنَا ».
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkanku untuk mengurusi unta-unta qurban beliau. Aku mensedekahkan daging, kulit, dan jilalnya (kulit yang ditaruh pada punggung unta untuk melindungi dari dingin).
Aku tidak memberi sesuatu pun dari hasil sembelihan qurban kepada
tukang jagal. Beliau bersabda, “Kami akan memberi upah kepada tukang
jagal dari uang kami sendiri”.”[21]
Dari hadits ini, An Nawawi rahimahullah
mengatakan, “Tidak boleh memberi tukang jagal sebagian hasil sembelihan
qurban sebagai upah baginya. Inilah pendapat ulama-ulama Syafi’iyah,
juga menjadi pendapat Atho’, An Nakho’i, Imam Malik, Imam Ahmad dan
Ishaq.”[22]
Namun sebagian ulama ada yang membolehkan memberikan upah
kepada tukang jagal dengan kulit semacam Al Hasan Al Bashri. Beliau
mengatakan, “Boleh memberi jagal upah dengan kulit.” An Nawawi lantas
menyanggah pernyataan tersebut, “Perkataan beliau ini telah membuang
sunnah.”[23]
Sehingga yang tepat, upah jagal bukan diambil dari hasil sembelihan qurban. Namun shohibul qurban hendaknya menyediakan upah khusus dari kantongnya sendiri untuk tukang jagal tersebut.
Demikian pembahasan kami seputar pemanfaatan hasil sembelihan qurban yang terlarang dan yang dibolehkan. Semoga
Allah memudahkan kita beramal sholih dan menjauhkan dari apa yang Dia
larang. Semoga Allah memberikan kita petunjuk, sikap takwa, keselamatan
dan kecukupan.
Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala
kebaikan menjadi sempurna. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad,
keluarga, para sahabat dan siapa saja yang mengikuti petunjuk mereka
dengan baik hingga hari kiamat.
Al Faqir Ilallah: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel http://rumaysho.com
Pangukan, Sleman, 29 Dzulqo’dah 1430 H
[1] HR. Bukhari no. 5569 dan Muslim no. 1974.
[2] Inilah yang menjadi pendapat para ulama salaf. Lihat Ma’alim Ushul Fiqh, Muhammad bin Husain bin Hasan Al Jizaniy, hal. 408-409, Dar Ibnul Jauzi, cetakan ketiga, tahun 1422 H.
[3] HR. Tirmidzi no. 1510, dari Sulaiman bin Buraidah, dari ayahnya. At Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.
[4] HR. Bukhari no. 1717 dan Muslim no. 1317.
[5] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, Abu Malik Kamal bin As Sayid Salim, 2/378, Al Maktabah At Taufiqiyah.
[6] Fatawa Al Lajnah Ad Da-imah lil Buhuts ‘Ilmiyah wal Ifta’,
soal kesembilan dari Fatwa no. 5612, 11/423-424, Mawqi’ Al Ifta’. Fatwa
ini ditandatangani oleh Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz sebagai ketua,
Syaikh ‘Abdur Rozaq ‘Afifi sebagai Wakil Ketua, Syaikh ‘Abdullah bin
Qu’ud dan Syaikh ‘Abdullah bin Ghodyan sebagai Anggota.
[7] Fatawa Al Lajnah Ad Da-imah lil Buhuts ‘Ilmiyah wal Ifta’,
soal ketiga dari Fatwa no. 1997, 11/424-425, Mawqi’ Al Ifta’. Fatwa ini
ditandatangani oleh Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz sebagai ketua, Syaikh
‘Abdur Rozaq ‘Afifi sebagai Wakil Ketua, Syaikh ‘Abdullah bin Qu’ud
sebagai Anggota.
[8] Hadits selengkapnya lihat Shahih Al Bukhari no. 2620.
[9] Fatawa Al Lajnah Ad Da-imah lil Buhuts ‘Ilmiyah wal Ifta’,
soal kedua dari Fatwa no. 2752, 11/425-426, Mawqi’ Al Ifta’. Fatwa ini
ditandatangani oleh Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz sebagai ketua, Syaikh
‘Abdur Rozaq ‘Afifi sebagai Wakil Ketua, Syaikh ‘Abdullah bin Qu’ud dan
Syaikh ‘Abdullah bin Ghodyan sebagai Anggota.
[10] Hadyu
adalah binatang ternak (unta, sapi atau kambing) yang disembelih oleh
orang yang berhaji dan dihadiahkan kepada orang-orang miskin di Mekkah.
[11]
HR. Ahmad no. 16256, 4/15. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa
sanad hadits ini dho’if (lemah). Ibnu Juraij yaitu ‘Abdul Malik bin
‘Abdul ‘Aziz adalah seorang mudallis. Zubaid yaitu Ibnul Harits Al Yamiy sering meriwayatkan dengan mu’an’an. Zubaid pun tidak pernah bertemu dengan salah seorang sahabat. Sehingga hadits ini dihukumi munqothi’ (sanadnya terputus).
[12] Lihat keterangan Syaikh Abu Malik dalam Shahih Fiqh Sunnah, 2/379.
[13] HR. Al Hakim. Beliau mengatakan bahwa hadits ini shahih.
Adz Dzahabi mengatakan bahwa dalam hadits ini terdapat Ibnu ‘Ayas yang
didho’ifkan oleh Abu Daud. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan. Lihat Shahih At Targhib wa At Tarhib no. 1088.
[14] Lihat Tanwirul ‘Ainain bi Ahkamil Adhohi wal ‘Idain, hal. 373, Syaikh Abul Hasan Musthofa bin Isma’il As Sulaimani, terbitan Maktabah Al Furqon, cetakan pertama, tahun 1421 H.
[15] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 2/379.
[16] Lihat Tawdhihul Ahkam min Bulughil Marom, Syaikh ‘Abdullah Ali Bassam, 4/465, Darul Atsar, cetakan pertama, tahun 1425 H.
[17] Lihat Subulus Salam Syarh Bulughul Marom, Muhammad bin Isma’il Ash Shon’ani, 4/177, Darul Fikr, cetakan tahun 1411 H.
[18] Lihat Tawdhihul Ahkam, 4/465.
[19] Lihat pendapat Imam Asy Syafi’i ini dalam Tanwirul ‘Ainain bi Ahkamil Adhohi wal ‘Idain, hal. 373.
[20] Syarh Muslim, An Nawawi, 4/453, Mawqi’ Al Islam.
[21] HR. Muslim no. 1317.
[22] Syarh Muslim, An Nawawi, 4/453.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan jika anda yang ingin komentar, namun tolong gunakan bahasa yang sopan