KATA PENGANTAR
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ ،
اَلْحَمْدُ ِللهِ رَبِّ اْلعَالَمِيْنَ
وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ
وَصَحْبِهِ اَجْمَعِيْنَ ، اَمَّا بَعْدُ :
Disebabkan adanya dorongan dari para zairin (peziarah) yang berziarah
ke makam Mbah Idris Lumpur Limbangan Losari Brebes dan Mbah Amir
Pekalongan khususnya, serta permintaan dari masyarakat luas pada umumnya
yang ingin mengenal sejarah hidup dan perjuangan keduanya maka kami
berusaha menggali sejarah kedua tokoh besar itu sesuai kemampuan kami.
Untuk maksud itu tentu saja kami harus berusaha menemui para sesepuh baik yang masih ada hubungan nasab dengan beliau maupun tidak, yang kami anggap mengetahui tentang biografi beliau guna pengumpulan bahan penulisan buku ini di samping bahan-bahan lain yang berasal dari buku sejarah ikhwan-ikhwannya, guru-gurunya, maupun murid-muridnya, baik yang tinggal di dalam negeri maupun yang di tanah suci Mekah. Buku ini kami beri judul “Manaqib Mbah Idris dan Mbah Amir”. Harapan kami semoga siapapun yang membaca buku ini, khususnya dari kalangan Dzuriyah (keturunan) beliau, dapat terketuk hatinya untuk bercermin dan bertauladan dari keilmuan dan akhlak beliau yang luhur itu, karena tanpa itu maka akan sia-sia saja membacanya. Penulis menyadari bahwa penulisan buku ini masih jauh dari sempurna dan tentu saja masih banyak pula menyimpan kelemahan. Oleh karena itu kami terus membuka kesempatan kepada pembaca terutama mereka yang memiliki tambahan catatan riwayat hidup beliau berdua, agar dengan ikhlas mau menghubungi penulis demi kesempurnaan buku ini pada cetakan berikutnya. Melalui kata pengantar ini pula kami sampaikan penghargaan serta ucapan terima kasih yang tulus kepada para kyai dan sesepuh yang telah memberi informasi penting seputar sejarah beliau, demi suksesnya penulisan buku ini. Mereka antara lain : 1. KH. Anas Mura’i (Cucu Mbah Idris) 2. Kyai Mahmud Dawud (Cucu Mbah Mas’ud) 3. Nyai Zubaidah Mura’i (Cucu Mbah Idris) 4. KH. Abdul Khaliq (Kalirahayu - Losari - Cirebon) 5. KH. Subuki bin KH. Syafi’i (Kalirahayu - Losari - Cirebon) 6. Kyai Muhyiddin (Mulyasari - Losari - Cirebon) 7. Ny. Hj. Rahmah binti Amir (Mundu - Cirebon) Dan lain-lain. Kepada mereka sekali lagi kami ucapkan jazahumullahu khaira. Lumpur, 1 Robi`ul Akhir 1433 H 24 Februari 2012 M *) Penyusun Manaqib “Mbah Idris & Mbah Amir”
Untuk maksud itu tentu saja kami harus berusaha menemui para sesepuh baik yang masih ada hubungan nasab dengan beliau maupun tidak, yang kami anggap mengetahui tentang biografi beliau guna pengumpulan bahan penulisan buku ini di samping bahan-bahan lain yang berasal dari buku sejarah ikhwan-ikhwannya, guru-gurunya, maupun murid-muridnya, baik yang tinggal di dalam negeri maupun yang di tanah suci Mekah. Buku ini kami beri judul “Manaqib Mbah Idris dan Mbah Amir”. Harapan kami semoga siapapun yang membaca buku ini, khususnya dari kalangan Dzuriyah (keturunan) beliau, dapat terketuk hatinya untuk bercermin dan bertauladan dari keilmuan dan akhlak beliau yang luhur itu, karena tanpa itu maka akan sia-sia saja membacanya. Penulis menyadari bahwa penulisan buku ini masih jauh dari sempurna dan tentu saja masih banyak pula menyimpan kelemahan. Oleh karena itu kami terus membuka kesempatan kepada pembaca terutama mereka yang memiliki tambahan catatan riwayat hidup beliau berdua, agar dengan ikhlas mau menghubungi penulis demi kesempurnaan buku ini pada cetakan berikutnya. Melalui kata pengantar ini pula kami sampaikan penghargaan serta ucapan terima kasih yang tulus kepada para kyai dan sesepuh yang telah memberi informasi penting seputar sejarah beliau, demi suksesnya penulisan buku ini. Mereka antara lain : 1. KH. Anas Mura’i (Cucu Mbah Idris) 2. Kyai Mahmud Dawud (Cucu Mbah Mas’ud) 3. Nyai Zubaidah Mura’i (Cucu Mbah Idris) 4. KH. Abdul Khaliq (Kalirahayu - Losari - Cirebon) 5. KH. Subuki bin KH. Syafi’i (Kalirahayu - Losari - Cirebon) 6. Kyai Muhyiddin (Mulyasari - Losari - Cirebon) 7. Ny. Hj. Rahmah binti Amir (Mundu - Cirebon) Dan lain-lain. Kepada mereka sekali lagi kami ucapkan jazahumullahu khaira. Lumpur, 1 Robi`ul Akhir 1433 H 24 Februari 2012 M *) Penyusun Manaqib “Mbah Idris & Mbah Amir”
Dahulu kampung ini bernama Jatisari
bukan Lumpur, lalu kenapa Lumpur? Adalah karena ketika Pangeran Angka
Wijaya atau yang lebih dikenal dengan nama Pangeran Pulosaren yang masih
Dzuriyah (keturunan) Keraton Cirebon datang di Losari dengan maksud
berdakwah (mengajak umat beriman kepada Allah, beribadah dan berbudi
pekerti luhur), beliau terlebih dulu menebang hutan untuk membangun
masjid, pesantren dan rumah tinggal. Konon penebangan itu dimulai dari
Losari, kala itu kota Losari yang sekarang ramai ini belum banyak rumah,
penduduknya masih sedikit, masjid pun belum ada, yang ada baru di
Prapag Kidul dan Lumpur, sehingga ketika beliau istirahat dari melakukan
aktivitasnya dan beliau hendak menunaikan shalat, beliau harus menuju
arah utara yaitu di kampung Lumpur, yang waktu itu masih bernama
Jatisari karena dari arah itulah beliau mendengar suara adzan
berkumandang. Setelah perjalanan sampai di masjid Lumpur yang waktu itu
bangunannya masih sederhana, lantainya masih pakai kayu papan dan di
bawah lantai masih ada longan. Beliau langsung bertanya kepada orang
yang baru saja usai menguman-dangkan adzan itu.
Pangeran : “Hai Bapak, kampung ini apa namanya?”
Mu’adzin : “Ini Jatisari, Pangeran.”
Pangeran : “Alah, kok bagus banget sih namanya, kampungnya becek, banyak
genangan airnya, lumpur melulu, namanya kok Jatisari, ganti saja
namanya Lumpur ya Pak! Setuju kan..?”
Mulai saat itu nama Jatisari menjadi sirna seakan tidak pernah ada.
Kemudian nama Lumpur berangsur-angsur dikenal orang sebagai ganti dari
nama Jatisari sampai sekarang. Menurut sebuah sumber, orang yang
mengumandangkan adzan itu tidak lain adalah Mbah Nasim, kakek dari Mbah
idris sendiri yang kala itu sedang menengok cucunya yang belum lama
tinggal di kampung Lumpur dan belum lama pula selesai membangun Masjid,
Pesantren, dan rumah yang sekarang dihuni oleh cicit Mbah Idris yaitu
Saudara Umar bin Akyas
--= =--
KAMPUNG LUMPUR
Kampung Lumpur yang terletak di dalam
wilayah pemerintahan Desa Limbangan Kecamatan Losari Kabupaten Brebes
Provinsi Jawa Tengah lebih dikenal dengan sebutan kampung Pesantren,
sebab kampung yang berjarak 3 KM arah utara kota Losari (timur) itu
sarat dengan pendidikan islami, mulai dari TPA An-Nahdhiyah, TPA
An-Nuriyah, TK Roudhotul Athfal, TK Toledo, Madrasah Ibtidaiyah Darul
Ulum, Madrasah Ibtidaiyah Al-Ikhlas, Madrasah Tsanawiyah Darul Ulum,
Madrasah Tsanawiyah Al-Ikhlas, Madrasah Diniyah Al-Haddad, Madrasah
Diniyah Al-Ikhlas, Majelis Ta’lim Al-Haddad, Majelis Ta’lim An-Nafisah,
dan Pondok Pesantren Yanbu`ul `Ulum.
Kampung ini juga kampung yang dianggap suci oleh masyarakat Kabupaten
Brebes karena di desa ini belum pernah ada hiburan-hiburan yang tidak
sesuai dengan ajaran Islam bahkan musik dan tabuhan apapun tidak pernah
ada di kampung ini sejak zaman dahulu kala dan sampai hari ini. Yang ada
hanyalah Genjring kuno yang biasa mengiringi acara pengantinan dan
sunatan. Semoga Allah Ta’ala terus menjaga dan melindungi kampung ini
sampai akhir masa dari kerusakan zaman.
Keadaan alam kampung ini yang sangat menggoda siapapun yang
mengunjunginya, panoramanya yang indah, bunga-bunga yang mekar
berwarna-warni hampir di setiap halaman rumah penduduk, pepohonan yang
rindang, udara yang segar, air yang melimpah karena memang kampung ini
dilingkari oleh sungai, serta dihuni oleh penduduk yang ramah, membuat
para penuntut ilmu betah tinggal beberapa lama di kampung ini, sehingga
banyak dari mereka yang berhasil menggapai cita-citanya.
Kampung Lumpur selain terkenal dengan julukan kampung santri juga
menjadi obyek ziarah umat Islam dari berbagai daerah, karena dahulu kala
di kampung ini pernah hidup seorang Ulama besar yang bernama Mbah Idris
bin Ahmad Shaleh yang telah menghabiskan seluruh masa hidupnya untuk
Nasyrul ilmi dan Izzul Islam Wal Muslimin yang makamnya berada di dalam
kampung ini pula.
--= =--
KAMPUNG LUMPUR DIKERAMATKAN
Diceritakan bahwa di Desa Kajen yang
sekarang berubah menjadi pusat Pemerintahan Kabupaten Pekalongan ada
seorang pemuda bernama Usman bin Thoyib, ia bertekad melakukan
perjalanan menuju Banten dengan maksud akan mengaji tharekat kepada
seorang ulama ahli tarekat masa itu. Setelah perjalanan sampai di Losari
hari sudah mulai gelap, ia pun harus bermalam, namun tidak tahu di mana
ia harus bermalam. Ia bingung karena di tepi jalan Losari belum ada
Masjid atau Langgar waktu itu, akhirnya ia memutuskan diri untuk
mencarinya ke utara ke Desa Prapag, di sini ia bertemu Kyai Syu’aib
pemilik sebuah Pondok Pesantren. Usman pun dipersilahkan bermalam di
rumah beliau. Pagi harinya ia diberi penghormatan oleh beliau untuk
menjadi imam shalat subuh. Mendengar suaranya yang bagus maka Nyai
Syu’aib yang kala itu menjadi makmunya meminta agar ia mau tinggal di
rumahnya sampai kurang lebih satu bulan.
Setelah habis masa satu bulan dan dia berpamitan untuk meneruskan
perjalanannya ke Banten. Nyai Syu’aib memintanya lagi agar ia menikah
dulu dengan putrinya yang bungsu bernama Ummi Kaltsum yang waktu itu
masih berumur 7 tahun, dia pun menyetujuinya. Setelah menikah dengan
Ummi Kaltsum yang akad nikahnya dilaksanakan di rumah Kyai Syu`aib ia
langsung berangkat ke Banten memenuhi cita-citanya mengaji Tarekat. Kyai
Syu’aib memberinya bekal yang cukup untuk biaya hidup di Banten selama
10 tahun.
Setelah khatam belajar Tarekat dan Riyadoh di Banten, ia pun pulang
kembali ke Prapag. Tetapi sayang ketika perjalanannya sampai di Losari,
seluruh wilayah Losari kala itu sedang dilanda banjir besar. Ia pun
harus berenang agar bisa sampai ke desa Prapag dengan
melewati Lumpur.
Ditengah perjalanannya itu ia melihat seekor Buaya siluman yang sangat
besar yang muncul dari arah barat, yaitu dari tengah sungai Cisanggarung
yang juga tengah menuju arah Lumpur untuk mengobrak-abrik pesantrennya
Mbah Idris. Oleh dia (Usman) Buaya raksasa itu dihambatnya dan
dihalaunya agar mengurungkan niatnya dan pulang kembali ke sarangnya
semula. Tetapi (Buaya) menolak-nya, ia justru merubah haluan, yaitu
dengan cara belok ke selatan kemudian belok lagi ke timur agar bisa
memasuki Lumpur dari arah timur. Karuan saja Usman sangat marah karena
Mbah Idris adalah temannya dan guru ngaji di Pesantren Lumpur ia tidak
rela Mbah Idris dan pesantrennya dirusak buaya. Maka Usman yang sakti
mandraguna itu berkata kepada Buaya siluman itu : “Hai buaya edan,
tahukah kamu Lumpur itu kampung yang suci, tidak boleh di kotori oleh
siapapun, dengan cara melakukan kemaksiatan yang seperti apapun. Orang
fasik dan dzalim yang berani masuk kampung ini akan celaka dan binasa,
termasuk kamu!!!”
Konon yang dimaksud kampung suci adalah kampung tempat orang mengaji
dan beribadah, sehingga tidak boleh diganggu oleh kemaksiatan termasuk
tabuh-tabuhan. Sedang-kan yang dimaksud orang fasik yang masuk akan
binasa ialah jika mereka tetap dalam kefasikannya padahal sudah
mendengar bacaan Al-Qur`an dan nasehat Al-Qur`an, hal ini memang
terbukti.
Mendengar ucapan Kyai Usman itu, si Buaya bukannya menjadi sadar tetapi
justru menantang Kyai Usman untuk berkelahi, Buaya tersebut kemudian
membuka mulutnya lebar-lebar dan kedua matanya merah menyala. Kemudian
dengan cepat ia melompat dan menerkam Kyai Usman. Dengan cepat pula Kyai
Usman menggoyang-kan tubuhnya kearah kiri untuk menghidari terkaman,
lalu menggoyangkan kembali ke arah kanan sambil menyarangkan pukulan
tangan kirinya yang sangat keras ke arah rahang kiri si Buaya dan
diikuti oleh pukulan tangan kanannya yang lebih berat itu ke batok
kepalanya, sehingga kepala Buaya itu menjadi pecah, ia meraung kesakitan
dan tewas.
Konon oleh Kyai Usman bangkai buaya itu dibiarkan saja di bantaran
sungai yang ada di arah timur kampung Lumpur, lama-lama bangkai itu
mengeluarkan bau busuk yang menyengat hidung, membuat orang yang lewat
di dekatnya harus meludah dan riak, sehingga kampung di dekatnya kini
disebut “Bantariak”. Dan Kyai Usman yang berkelahi dengan buaya di atas
air banjir itu diberi gelar oleh orang dengan gelar “Mbah Banjir”.
--= =--
ASAL-USUL MBAH IDRIS
Konon di dusun yang sekarang bernama
Kelampok dan masuk wilayah desa Kalirahayu, Kecamatan Losari, Kabupaten
Cirebon. Hiduplah seorang alim yang sangat dihormati sebut saja namanya
Kyai Nasim. Beliau hanya dikaruniai dua orang anak putri dan putra. Yang
putri bernama Musyarofah yang kemudian dikenal dengan nama Nyi Serok
(karena setiap kali akan makan dia tidak pernah susah-susah mencari
lauk. Ia cukup mencari ikan di sungai Cisanggarung yang ada di sebelah
rumahnya dengan menggunakan alat penangkap ikan yang bernama serok itu.)
Dan yang putra bernama Syamsuddin.
Kyai Nasim ingin sekali punya menantu yang ilmunya melebihi dirinya dan
ternyata seperti kata pepatah “pucuk dicinta ulam pun tiba”. Tanpa
diduga sebelumnya, datanglah pemuda yang alim, sopan santun, dan
rupawan. Ahmad Shaleh namanya, ia datang melamar putrinya yang bernama
Musyarofah itu. Karuan saja beliau langsung menerima lamarannya, pemuda
ini menurut sementara sumber yang bisa diakui kevalidannya adalah
berasal dari Surabaya, Jawa Timur.
Setelah pernikahan antara Ahmad Shaleh dan Musyarofah
berlangsung, yang ijab kabulnya dilakukan di tempat tinggal mempelai
putri, Ahmad Shaleh dimohon oleh mertuanya untuk tinggal di desa yang
sekarang bernama Kelampok itu. Mereka berdua hidup rukun dan bahagia
sehingga tidak berapa lama kemudian lahirlah anak-anak mereka yang
urutannya sebagai berikut:
1. Kyai Isma`il (Mulyasari - Losari - Cirebon)
2. Kyai Idris (Lumpur - Limbangan - Losari - Brebes)
3. Kyai Nuriddin (Lumpur - Limbangan - Losari - Brebes)
4. Nyai Maimunah (Kalirahayu - Losari - Cirebon)
5. Kyai Muhammad (Kalirahayu - Losari - Cirebon)
Ahmad Shaleh diberi tugas oleh mertuanya untuk mengurus masjid,
mengajar di pesantren, dan melayani masyarakat umum. Disamping
tugas-tugas itu ia tidak pernah lalai sedikitpun terhadap pendidikan
anak-anaknya terutama pendidikan tauhid, fiqih, dan akhlak. Seluruh
bidang ilmu tersebut beliau mengajarinya sendiri sebelum akhirnya
mengirim mereka ke Pondok Pesantren supaya kelak anak-anaknya itu
menjadi orang yang berilmu tinggi dan beramal shaleh yang gigih
berjuang menegakkan kalimat-kalimat Allah.
--= =--
MBAH IDRIS BERGURU DI MEKAH YANG PERTAMA
SETELAH MENIKAH DENGAN NYAI SHA’IMAH
DARI MUNDU - CIREBON
Setelah dirasa cukup belajar mengaji
kepada ayahnya sendiri, Idris ingin melanjutkan belajar ke tanah suci
Mekah kepada para ulama yang ada di sana seperti kepada Al-Imam As-Sayid
Abu Bakar bin Syatho, penyusun kitab I`anatut Tholibin yang sangat
terkenal itu dan lainnya. Lama sekali ia memendam cita-citanya yang
mulia itu, sehingga pada suatu hari ia matur kepada ayahnya : “Ayah,
bolehkan aku belajar di tanah suci Makah?”
Jawab Ayahnya : “Cita-citamu bagus sekali, tetapi perlu kau pikirkan
bahwa pergi Mekah itu biayanya besar sekali dan prosesnya pun tidaklah
mudah.”
Namun Idris tetap mendesak ayahnya agar mau merestui dan sekaligus
membiayainya. Akhirnya dengan senang hati sang ayah berusaha mencari
bekal untuk keberangkatan anaknya belajar mengaji di Mekah. ketika ia
sudah mendapat kesempatan, ia segera berpamitan serta mohon do`a kepada
ayah ibunya, keluarganya, tetangganya, dan teman-temanya. Kemudian ia
berjalan menuju Pelabuhan Cirebon untuk selanjutnya naik kapal laut
menuju pelabuhan Jeddah. Ketika perjalanan sudah sampai di Desa Mundu
Pesisir kurang lebih 5 KM arah timur kota Cirebon, beliau mampir sejenak
di mushola yang ada di pinggir jalan untuk sholat dan istirahat. Seusai
menunaikan shalat fardhu, wirid dan sholat ba’diyah ia segera
bersiap-siap lagi melanjutkan perjalanannya yaitu ke Pelabuhan Cirebon
yang sudah dekat itu.
Namun ketika akan mulai melangkahkan kaki perlahan-lahan beliau
mendengar suara orang membaca Al-Qur`an. Suaranya sangat merdu, makhroj
dan tajwidnya pun sangat sempurna. Akhirnya untuk sementara waktu ia
menghentikan langkah kakinya sejenak untuk duduk kembali mendengarkan
kalam ilahi sambil melepas lelah.
Di tengah-tengah asyiknya mendengarkan bacaan Al-Qur`an tanpa diduga
datanglah seorang laki-laki setengah baya menghampirinya. Laki-laki itu
bertanya.
Laki-laki : “Nak, kamu orang mana? Dan siapa namamu?”
Mbah Idris : “Saya dari Losari, nama saya Idris bin Ahmad Shaleh”
Laki-laki : “Barang-barangmu kok banyak, sepertinya kamu mau pergi
jauh ya?”
Mbah Idris : “Betul pak, saya mau menuntut ilmu di tanah suci
Mekah.”
Laki-laki : “Lalu kenapa kamu duduk terus sampai berlama-lama di
sini?”
Mbah Idris : “Oh iya pak, saya merasa tenang mendengar bacaan
Al-Qur`an.”
Laki-laki : “Suara itu adalah suara anak saya nak, namanya Shoimah
orangnya hafal Al-Qur`an dan masih perawan. Supaya kamu bisa terus
mendengar suara itu sebaiknya kamu nikah saja dengannya. Insya Allah
barokah.”
Mbah Idris : (Beliau menundukkan kepala dan diam sejenak, kemudi-
an berkata lagi) “Tetapi saya mau mengaji dulu pak di kota Mekah.”
Laki-laki : “Oh itu tidak masalah yang penting kamu nikah dulu,
kemudian kamu mukim di sana sepuasmu.”
Setelah menikah, Idris berangkat ke Mekah melalui pelabuhan Cirebon. Di
Mekah beliau belajar kepada ulama-ulama besar dalam berbagai disiplin
ilmu termasuk aurod dan thoriqoh, sehingga di kemudian hari beliau
menjadi salah seorang guru besar Thoriqoh Qadiriyah Naqsabandiyah dan
menjadi Mujiz Dalailul Khoirot yang pertama di Pulau Jawa.
MBAH IDRIS MEMBUKA PESANTREN
DI KAMPUNG LUMPUR
Sepulang dari memperdalam ilmunya di
Mekah, untuk sementara beliau tinggal di rumah mertuanya di Mundu
Pesisir sampai lahir anak yang pertama dan kedua yaitu Umar dan Amir.
Ketika Amir masih bayi, beliau dipanggil oleh orang tuanya bersama anak
dan istrinya agar tinggal di kampungnya yaitu kampung yang sekarang
bernama Kelampok yang masuk di dalam wilayah Pemerintahan Desa
Kalirahayu, Kecamatan Losari, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat. Di
sini beliau mulai menggelar ilmu yang didapatinya dari belajar di Mekah
dan dari orang tuanya sendiri.
Melihat kedalaman ilmu Idris dan ketangkasannya dalam mengajar, sang
ayah berkata:
Ayah : “Agar ilmu yang kamu miliki itu manfaatnya lebih luas
lagi sampai kemana-mana, maka cobalah kamu pergi ke arah timur, carilah
tanah rawa yang dilingkari sungai.”
Idris : “Untuk apa aku pergi dan mencari tanah rawa
itu
wahai ayah?”
Ayah : “Bangunlah masjid, pesantren, dan rumah tinggal lalu
bermukimlah kamu di sana.”
(Lalu Idris mencari tanah rawa sesuai petunjuk ayahnya dan tidak lama
kemudian tanah rawa yang diisyaratkan ayahnya itu berhasil ditemukan.
Beliau merasa senang sekali karena usahanya tidak sia-sia, kemudian
beliau langsung membersihkan tanah tersebut dengan menebang pohon-pohon,
semak-semak, lalu melakukan semua yang diperintah-kan orang tuanya).
Ayah : “Hai Idris, tanah itu amat angker. Banyak sekali Syaitan,
Jin dan dedemit yang menghuni di situ. Dedemit dan jin itu siap
mengganggu siapa saja yang menyebarkan ilmu, tetapi Insya Allah, Allah
melindungi kamu.”
Idris akhirnya tinggal di kampung barunya itu yang beliau namai kampung
Jatisari yang kemudian berganti nama menjadi Lumpur. Dan tidak berapa
lama kemudian Pesantren Lumpur menjadi sebuah pesantren yang ramai
menjadi tempat mengaji para santri yang datang dari berbagai daerah.
Sebagaimana ayahnya (Kyai Ahmad Shaleh), Kyai Idris pun tak pernah lupa
mendidik dan mengasuh anak-anaknya. Mereka lebih dahulu dibekali dengan
ilmu-ilmu yang fardu ‘ain, fardu kifayah kemudian yang sunah. Setelah
itu barulah beliau mengirim seluruh anak-anaknya ke pesantren untuk
memperdalam ilmu-ilmunya kecuali Amir yang tidak dikirim ke pesantren
karena memang tidak suka, beliau lebih suka menggembala puluhan ekor
kerbau milik ayahnya di hutan Tawangsari di dekat laut utara sana.
Bertahun-tahun lamanya Amir mukim di sana sebelum akhirnya berangkat ke
Mekah
--= =--
MBAH IDRIS BERGURU LAGI DI MEKAH
UNTUK YANG KEDUA KALINYA BERSAMA
KEDUA ANAK BELIAU UMAR DAN AMIR
Sebagaimana diterangkan di atas bahwa
putra Mbah Idris yang kedua yaitu Amir tidak mau pulang ke rumah. Ia
memilih mukim di hutan Tawangsari menggembala puluhan ekor kerbau milik
ayahnya daripada pulang ke rumah. Mbah Idris pun merasa sedih dan kesal
dengan sikap anaknya itu, akhirnya untuk kesekian kalinya pada suatu
hari beliau menyuruh kembali salah seorang khadamnya pergi ke Tawangsari
itu, untuk menjemputnya. Ketika khadam bertemu dengan Amir, khadam
berkata:
Khadam : “Gus (kependekan dari gusti) panjenengan ditimbali sang rama
agar pulang ke rumah sekarang, sang rama benar-benar rindu bertemu
sampean.”
Amir : “Pulanglah saja kamu, dan bilang sama rama bahwa aku tidak
akan pulang ke rumah. Aku sudah betah hidup di hutan ini, kecuali jika
sang rama mau memberangkatkan aku ke tanah suci sekarang juga.”
(Khadam tidak bisa berkata apa-apa kecuali langsung pulang ke rumah.
Setelah sampai di rumah dan bertemu dengan Mbah Idris ia berkata dengan
menirukan jawaban Amir saat disuruh pulang).
Mbah Idris : “Ya sudahlah, kalau begitu saya mau mencari biaya untuk
bekal perjalanan Amir ke tanah suci.”
Dalam tempo singkat biaya dan semua persyaratan lain yang dibutuhkan
untuk perjalanan Amir dan biaya mukim di tanah suci sudah bisa dipenuhi
semua, maklum beliau orang yang berkecukupan.
Kemudian beliau menyuruh kembali khadamnya untuk men-
jemput Amir. Kali ini Amir mau pulang ke rumah, bahkan senang sekali
mendengar jawaban ayahnya yang disampaikan khadamnya karena dia akan
langsung diberangkatkan ke tanah suci untuk memperdalam ilmu bersama
saudaranya (Umar) dan ayahnya sendiri. Setelah tiba di tanah suci, Mbah
Idris langsung mengontrak rumah kecil untuk tempat mukim dirinya dan
kedua anaknya itu.
Di Mekah, Umar dan Amir berkumpul dengan teman-teman barunya, antara
lain : Abdul Wahab Hasbullah, Jombang, Hasyim Asy’ari, Jombang, Bagir,
Yogyakarta, Jauhar, Balerante Cirebon, Masduqi, Palimanan Cirebon, dan
lain-lain. Kedua putra Mbah Idris ini sangat senang sekali belajar di
tanah suci karena dapat mengaji bersama teman-temannya kepada
ulama-ulama besar Mekah diantaranya adalah As-Syekh Mahfudz bin Abdillah
At-Tarmasi Al-Makki penyusun Kitab Mauhibah Dzil Fadhol dan Manhaj
Dzawin Nazhor yang hampir dipeajari oleh setiap santri di seluruh
Indonesia, Asia Tenggara dan negara-negara lain. Kedua putra Mbah Idris
ini dikenal sebagai murid-murid Syekh Mahfudz yang sangat cerdas, tekun,
suka bermusyawarah, rajin muthola’ah dan disiplin dalam melakukan
berbagai pekerjaan termasuk dalam beribadah. Konon orangnya pun putih
rupawan dan sangat ramah sehingga ia menjadi salah satu murid yang
mendapat perhatian khusus dari gurunya, yaitu Syech Mahfudz At-Tarmasi
itu.
Selama Mbah Idris mukim di tanah suci Mekah yang kedua, di mana saat
itu usia beliau sudah sangat lanjut, urusan pesantren yang beliau
tinggalkan di kampungnya Lumpur diserahkan kepada menantunya dan
keponakannya yaitu Kyai Abdullah Mura’i dan Kyai Dahlan bin Mas’ud.
--= =--
MBAH IDRIS BERTEMAN DENGAN
SYEKH MAHFUDZ AT-TARMASI
Selama mukim di Mekah, Mbah Idris
adalah teman akrab dan teman seperguruan dengan As-Syekh Mahfudz
At-Tarmasi, keduanya sama-sama murid As-Sayid Abu Bakar Syatha (wafat
tahun 1310 H) dan As-Sayid Zaini Dahlan (wafat tahun 1304 H). Bahkan
bukan sekedar teman biasa, oleh As-syekh Mahfudz At-Tarmasi, Mbah Idris
dianggap sebagai saudara sendiri karena kedekatannya itulah maka kedua
anaknya yaitu Umar dan Amir diserahkannya kepada beliau untuk dididik
berbagai disiplin ilmu. Syekh Mahfudz pun dengan ikhlas menerimanya
bahkan menganggap sebagai anak sendiri apalagi Amir orangnya sangat
menyenangkan, badannya tegap, otaknya cerdas, dan sifat-sifatnya
terpuji, beliau ramah, penolong, serta ringan tangan.
Ketika Syekh Mahfudz At-Tarmasi menyusun kitab Mauhibah Dzilfadhal
beliau hanya percaya kepada Amir untuk menjadi penulisnya, meskipun pada
saat itu banyak santri beliau yang lebih lama bermukim dan yang
keilmuannya mungkin saja setara dengan Amir bahkan mungkin melebihi-nya.
Seperti Abdul Wahab Hasbullah, Jombang, Bagir, Jogjakarta, dan Abdul
Ghofur, Surabaya serta masih banyak lagi yang lainnya.
--= =--
SYEKH MAHFUDZ MOHON IJIN KEPADA MBAH IDRIS AGAR AMIR MENJADI PENULIS KITAB YANG AKAN DIKARANGNYA (MAUHIBAH DZIL FADHOL)
Syekh Mahfudz At-Tarmasi meskipun telah
menyandang gelar ulama besar dan guru Mbah Amir, tetapi ketika beliau
hendak ingin meyusun sebuah kitab yang menjadi karya besarnya yaitu
kitab Mauhibah Dzil Fadhal yang berjumlah 4 jilid besar-besar itu,
beliau dengan rendah hati menyempatkan diri datang ke tempat Mbah Idris
lalu beliau permisi kepadanya bahwa beliau ingin meyuruh Amir untuk
menjadi penulis kitab yang akan menjadi karya besarnya tersebut. Ini
menunjukkan betapa sempurna sifat-sifat mahmudah yang beliau miliki.
Mengapa Syekh Mahfudz memilih Amir untuk menjadi penulisnya? Bukankah
menulis kitab apalagi kitab yang besar adalah merupakan pekerjaan berat
yang tidak bisa ditangani oleh sembarang orang? Apalagi Amir khat
arabnya juga tidak terlalu bagus seperti yang penulis pernah
menyaksikannya sendiri.
Betul, karena Amirlah yang dianggap oleh beliau paling mampu melakukan
pekerjaan ini. Orangnya cerdas dan hafalannya tidak gampang lupa,
pendiam dan tidak banyak ngobrol, lagi sabar dan tidak gampang putus asa
dan mungkin saja ada rahasia-rahasia lain yang hanya As-Syekh Mahfudz
sendiri yang mengerti.
--= =--
NASKAH ASLI MAUHIBAH DZIL FADHOL HILANG
DAN
AMIR MENULIS LAGI PERSIS SEPERTI ASLINYA
Setelah sekian lama Amir menulis kitab
Mauhibah melalui Imla (Amir yang menulis dan Syekh Mahfudz yang membaca)
maka dengan pertolongan Allah pula selesailah penulisan itu dan kini
lahirlah kitab fiqih besar karya seorang ulama Indonesia yang bernama
Mauhibah Dzil Fadhal. Amir menulisnya dengan teliti dan hati-hati
sehingga tidak ada yang salah satu huruf pun. Selanjutnya kitab tersebut
akan segera beliau serahkan kepada gurunya.
Namun tanpa diduga ketika beliau keluar dari kamarnya untuk mencari
sesuatu yang menjadi kebutuhan hidupnya dan beliau kembali lagi ke
kamarnya itu ternyata naskah asli kitab itu raib dari meja belajar yang
ada di kamarnya. Amir sedih sekali karena naskah tersebut belum dicetak.
Naskah tersebut baru ada satu yaitu yang hilang itu. Hilangnya naskah
kitab itu mengherankan sekali, tidak diduga sama sekali sebelumnya
karena Amir hampir tidak pernah keluar kamar kecuali untuk shalat,
mengaji dan memenuhi kebutuhan hidup.
Amir bukan anak yang bodoh dan cengeng, ia tidak mau lama-lama
bersedih, ia segera ambil keputusan untuk menulis kembali kitab Mauhibah
yang hilang itu tanpa minta diimla oleh gurunya lagi karena di samping
malu bercampur takut, dia sendiri sudah hafal dengan baik seluruh
tulisan yang terkandung di dalam kitab itu. Dia menulisnya kembali tanpa
minta bantuan siapapun hingga dalam beberapa hari saja kitab Mauhibah 4
jilid itu sudah selesai ia tulis.
Amir sangat lega hatinya dan kini ia sagat berhati-hati sekali
dalam menjaga kitab yang baru ditulis itu. Supaya tidak hilang lagi
kemudian naskah yang baru ditulis itu segera diserahkan kepada gurunya,
seraya matur :
Amir : “Oh maha guru, hamba mohon maaf yang sebesar-besarnya,
hamba telah gegabah dan kurang hati-hati di dalam menjaga naskah asli
kitab Mauhibah yang telah guru imlakan kepada kami, kitab Mauhibah yang
baru selesai kami tulis itu benar-benar raib dari meja kami, kami tidak
tahu siapa yang mengambilnya dan akhirnya kami menulisnya kembali dan
inilah hasilnya yang Insya Allah tidak berbeda dengan aslinya. Hamba
tidak mengurangi dan tidak menambahi sekalimat pun. Tapi hamba mohon
agar tuan guru memeriksanya kembali.”
Setelah Syekh Mahfudz memeriksanya kamudian beliau berkata :
Sy. Mahfudz : “Wahai anakku Amir, sejak dulu aku memang
sudah menaruh kepercayaan besar kepadamu, dugaanku begitu kuat bahwa
kamulah yang mampu menulis kitabku itu dan ternyata kitab yang kamu
tulis ini benar-benar persis dengan yang kuimlakan kepadamu.”
Amir : “Jadi naskah ini bisa diterima, wahai tuan guru?”
Sy. Mahfudz : “Oh ya, diterima sekali. Mengapa tidak? Kan sudah
persis semua.
Amir : “Terima kasih tuan guru, hamba permisi kembali
ke pondok.”
Setelah Amir masuk kamar pondok, ia melihat naskah asli yang pernah
diimlakan gurunya tetapi kemudian hilang itu ada kembali di atas meja
belajarnya. Dia pun kaget setengah tidak percaya, ternyata yang
mengembalikan adalah temannya sendiri yang tidak lain adalah Wahab
Hasbullah, Jombang. Rupanya temannya yang satu ini benar-benar ingin
menguji kecerdasan dan keilmuan Amir. Dia hanya bergurau dan menggoda
Amir, tetapi karena caranya seperti itu, maka Amir membalas godaan itu
dengan ucapan yang menyakitkan hatinya. Wahab pun marah besar. Dia ingin
melakukan sesuatu tetapi Amir sudah hilang dari pandangan matanya.
Hanya suaranya saja yang bisa didengar. Wahab pun beserta teman-teman
Amir yang lain merasa kagum dengan karomah Amir itu.
Setelah kasus ini sampai kepada Syekh Mahfudz, beliau langsung turun
tangan mendamaikan dua orang santrinya yang tengah berbantah-bantahan
itu dan dalam sekejap saja keduanya kembali rukun seperti semula dan
kitab Mauhibah pun dicetak dalam jumlah yang lebih banyak lagi agar
manfaatnya lebih luas dan lebih lama karena menulis ilmu adalah sama
dengan mengabadi-kannya.
Imam Malik berkata:
اَلْعِلْمُ صَـيْدٌ وَالْكِتَابَةُ قَيْدُهُ * قَيِّدْ صُيُوْدَكَ
بِالْحِبَالِ اْلوَاثِقَةْ
وَمِنَ الْحَمَاقَةِ اَنْ تَصِيْدَ غَزَالَةً * وَتَفَكَّهَا بَيْنَ
الْخَلاَئِقِ طَالِقَا
Artinya :
“Ilmu adalah ibarat hewan buruan dan tulisan adalah ibarat tali
pengikatnya. Oleh karenanya ikatlah hewan buruanmu dengan tali yang
kuat.”
“Adalah tindakan tolol jika kamu berburu kijang kemudian setelah kijang
itu berhasil kamu tangkap, kamu biarkan saja dia tanpa diikat”.
--= =--
MBAH IDRIS PULANG KEMBALI KE TANAH AIR
Setelah beberapa tahun Mbah Idris dan
kedua putranya Umar dan Amir bermukim di tanah suci untuk menunaikan
haji dan memperdalam ilmu. Mbah Idris dan salah satu dari kedua putraya
yaitu Umar kemudian pulang kembali ke kampung halaman, sedangkan Amir
tetap tinggal di Mekah. Setelah sampai di kampung halaman, keduanya
kembali melakukan aktifitas sehari-harinya sebagaimana layaknya
orang-orang alim yaitu mengajar di pesantren dan membimbing masyarakat
dengan dibantu oleh putra Mbah Idris yang lain dan menantu-menantunya
bahkan keponakan-nya yaitu Kyai Dahlan bin Mas’ud yang bergelar
“Shohibus Shout” karena kemerduan suaranya dan kefasihannya di dalam
melantun-kan ayat-ayat Al-Qur`an yang sulit dicari tandingannya.
Dalam pengabdiannya kepada pesantren dan masyarakat, Mbah Idris membagi
tugas mengajar para putra-putra dan menantu-menantunya sebagai berikut:
1. Kyai Umar diberi tugas memimpin Tharekat
2. Kyai Abdullah Mura’i mengajar Tauhid, Fiqih dan Tasawuf.
3. Kyai Dahlan mengajar Al-Qur’an, Tafsir dan Hadits
4. Kyai Kadnawi mengajar Al-Qur`an dan tuntunan shalat di masyarakat
Sementara Kyai Amir dan Kyai Dawud masih mukim di Mekah, sehingga
pesantren lumpur makin bersinar bagai lampu petromak yang menyinari
kegelapan malam. Santrinya berdatangan dari mana-mana mulai dari daerah
Cirebon sendiri sampai daerah-daerah lain yang ada di sekitarnya,
seperti Indramayu, Subang, Karawang, Kuningan, Brebes, Tegal, Pekalongan
dan lainnya.
Kampung Lumpur pun selain dikenal sebagai tempat menuntut ilmu syariat
juga menjadi pusat bagi orang-orang yang mau bai’at Tharekat
Naqsabandiyah dan ijazah Dalailul Khoirot. Hampir seluruh orang yang
mengamalkan Tharekat dan Dalailul Khoirot yang ada di Jawa Tengah, Jawa
Barat dan Jawa Timur bahkan sebagian luar jawa dipastikan jalur sanadnya
adalah melalui Mbah Idris ini.
--= =--
MBAH IDRIS MENIKAH DENGAN
NYAI DASIMAH DARI LOSARI KIDUL
Sebagai Kyai sepuh yang sangat
dihormati oleh masyarakat, Mbah Idris giat melakukan aktifitas keagamaan
seperti mengimami tahlil, memimpin manaqib, menjadi wakil wali dalam
pernikahan, membagi harta warisan, menerima pengaduan dan mendamaikan
warga jika terjadi gejolak.
Konon, menurut beberapa sumber yang bisa dipercaya, ketika beliau
sedang memimpin acara manaqib di rumah salah seorang warga desa Losari
Kidul, beliau tidak mengetahui bahwa dirinya tengah diintip oleh seorang
perempuan bernama Dasimah dari sela-sela pagar rumah sang empunya
hajat. Perempuan ini sudah cukup lama menyimpan rasa cinta kepada beliau
dan berkeinginan sekali menjadi istrinya namun tidak mempunyai
keberanian untuk mengungkapkan isi hatinya itu kepada siapapun termasuk
kepada orang tuanya sendiri. Karena merasa tidak ada kesetaraan antara
dirinya dengan beliau, namun keinginannya semakin hari semakin membara
dan berkobar saja. Dia benar-benar tidak mampu lagi
memadamkan kobaran api cintanya itu
kepada beliau.
Akhirnya tanpa berpikir panjang dan tanpa berunding dengan siapapun ia
mendatangi rumah seorang dukun kejawen yang cukup terkenal saat itu.
Oleh sang dukun ia diberi ramuan khusus dan bacaan khusus pula, sang
dukun menyuruhnya supaya ramuan itu digoreng lalu dicampur menjadi satu
dengan air kopi yang sudah diberi gula, selanjutnya usahakan agar ramuan
itu bisa diminum oleh beliau.
Setelah ramuan itu dibuat maka dalam suatu kesempatan yang sudah
diperhitungkan, dia mengadakan sebuah acara kecil-kecilan dengan
menghadirkan beliau untuk mengimami doa. Setelah acara selesai maka
minuman yang telah diberi ramuan pun disuguhkan kepada beliau dan
ternyata usahanya tidak sia-sia. Dalam beberapa hari saja ketika Nyai
Dasimah datang ke rumah beliau bersama orang tuanya untuk mencoba
melamar beliau, maka beliau langsung saja menerimanya dan pernikahan
antara beliau dengan Nyai Dasimah pun berhasil dilaksanakan dengan
upacara yang sederhana dan dalam waktu yang sangat singkat karena istri
beliau Nyai Shoimah sebagai istri yang sholihah, ia tidak merasa
keberatan suaminya menikah lagi meskipun seluruh persiapan yang
dibutuhkan dalam pernikahan adalah harus dia sendiri yang mengusahakan
dan mengurusnya. Kedua pengantin baru ini hidup rukun dan bahagia sekali
karena keduanya memang saling cinta dan mencintai. Dari pernikahan
beliau dengan Nyai Dasimah ini beliau dikaruniai 3 orang anak. Mereka
adalah: Abdullah, Dabbas dan Syu`aib
Kedua orang anaknya ini pernah belajar di Mekah sebagai-mana anak-anak
beliau yang dari istri Nyai Shoimah.
--= =--
NY. DASIMAH DIFIRAQ DAN
KH. IDRIS KE MEKAH LAGI
Hari itu keadaan langit cerah, sang
mentari dengan leluasa membakar permukaan bumi tanpa mendapat rintangan
awan maupun mendung, membuat cuaca di bumi menjadi cukup panas,
daun-daun pohon banyak yang mulai menguning, lalu berguguran satu demi
satu, sungai Cisanggarung dan juga selokan-selokan di sawah kering,
tidak ada lagi air yang mengalir, warna tanah sawah berubah menjadi
hitam. Para petani lebih suka tinggal di rumah menikmati hasil panen
beberapa bulan yang lalu sambil melakukan kegiatan-kegiatan kecil di
rumah masing-masing seperti memberi makan ternak, memperbaiki weluku,
cangkul dan semacamnya.
Namun kegiatan belajar mengajar di Pondok Lumpur tetap semarak, para
santri belajar dengan penuh semangat, ada yang sedang menulis, membaca,
mutola'ah, musyawaroh, mendengar-kan keterangan guru dan sebagainya.
Para guru pun demikian adanya, hanya Mbah Idris sesepuh pondok yang
sudah berhari-hari tidak bisa mengajar, beliau sakit, sudah banyak obat
dan ramuan yang berkhasiat mengusir penyakit dari tabib ahli yang beliau
telan, tetapi penyakitnya masih belum mau pergi juga, badannya semakin
lemah, suaranya lirih dan makannya semakin tidak bernafsu, sehingga
shalatpun terkadang beliau lakukan dengan dijamak, belau tidak dirawat
di rumah sakit tetapi di rumah istri pertamanya yaitu Ny. Shoimah di
Lumpur.
Konon ketika Ny. Dasimah istri beliau yang dari Losari Kidul mendengar
beliau sakit, ia segera datang menjenguk, ia ingin melihat langsung
kesehatan beliau dan ingin pula meminta maaf karena ia merasa pernah
mempunyai kesalahan besar terhadap diri beliau, yaitu pernah memberi
minuman yang dicampuri ramuan khusus dan
bacaan khusus pula.
Dasimah : “Kyai, sebenarnya saya datang kesini bukan sekedar
silaturrahim dan menjenguk panjene-ngan saja, tetapi selain dari itu
kami ingin sekali memohon maaf kepada panjenengan karena kami pernah
melakukan perbuatan tercela yang kalau kami ceritakan kepada sampean
pastilah sampean akan marah besar.”
Mbah Idris : “Hah..! Perbuatan tercela apa itu?”
Nyai Dasimah bercerita dari awal hingga akhir tentang kopi yang ia beri
ramuan khusus lalu disuguhkan kepada Mbah Idris hingga beliau mau
menikahi dirinya. Mendengar cerita Nyai Dasimah itu beliau spontan
semaput tak sadarkan dirinya, dan setelah siuman beliau berkata :
“Bertaubatlah kepada Allah! Kamu saya cerai...!”
Setelah Mbh Idris sembuh dari penyakitnya dan sudah sehat kembali,
beliau berpamitan kepada istrinya yaitu Ny. Shoimah, untuk pergi
beribadah haji di Mekah, sekaligus menjenguk putranya yang tengah
mesantren di sana
--= =--
MBAH IDRIS MENIKAH DENGAN
NYAI BANTEN DI MEKAH
Setelah sekian lama Mbah Idris tinggal
di kampung halamannya, di Kampung Lumpur sampai nikah dengan Nyai
Dasimah dan mempunyai 3 orang anak, kini timbul keinginan beliau untuk
kembali lagi pergi ke tanah suci Mekah dan bermukim di sana. Setelah
maksudnya itu disampaikan kepada istrinya, istrinya pun tidak keberatan
serta memberi izin kepada beliau untuk kembali ziarah ke tanah suci itu.
Setelah sampai di sana, beliau berkumpul kembali dengan anaknya yaitu
Amir untuk belajar, mengajar, dan beribadah. Belum lama beliau tinggal
di Mekah, pada suatu hari beliau merasa gundah dan sedih yang sangat
dalam bahkan sampai kedua kelopak matanya mengeluarkan beberapa tetes
air mata. Beliau ingat terus kepada kebaikan istrinya Nyai Shoimah yang
ditinggalkannya di tanah air. Rupanya kesedihan itu menjadi pertanda
terjadinya sesuatu yang menimpa pada diri istrinya tersebut. Perasaan
itu ternyata benar karena tidak berapa lama kemudian beliau menerima
berita bahwa istri yang sangat dicintainya itu telah meninggal dunia dan
dimakamkan di pemakaman Losari Lor, di sebelah kiri gang yang menuju
makam Mbah Pulosaren.
Usia beliau pun semakin hari semakin bertambah, tenaganya semakin
menurun sampai setiap kali pergi ke Masjidil Haram mesti harus dibantu
berjalan oleh putranya Amir agar bisa sampai di Masjid dan pulang
kembali di rumah pemondokannya. Keadaan seperti ini menjadikan Amir
sering tertinggal mengaji kepada gurunya baik di Masjidil Haram maupun
di tempat sekitarnya. Amir berfikir cukup lama bagaimana caranya supaya
ia bisa terus berbuat baik kepada orangtuanya, tetapi juga tidak
ketinggalan mengaji sampai akhirnya ia menemukan sebuah ide yang
dinilainya sangat tepat, yaitu memohon kepada ayahnya agar mau menikah
dengan seorang wanita yang mau merawat dan melayani ayahnya itu. Wanita
yang dimaksud pun segera ia berhasil menemukannya. Ia melihat seorang
janda muda yang sudah lama ditinggal mati suaminya, pekerjaannya
menjajakan air bersih dari rumah ke rumah. Kegiatan itu ia mulai dari
pagi hingga sore hari. Janda tersebut bernama Chalimah asal dari daerah
Banten. Sehingga pada suatu hari sesudah ia (Amir) dan ayahnya
menunaikan sholat jama`ah di Masjidil Haram ia berkata kepada ayahnya.
Amir : “Wahai ayah, kami ingin mengusulkan sesuatu kepada
ayah tetapi kami tidak mampu mengutarakannya.”
Ayah : “Katakan saja, siapa tahu usulmu itu bermanfaat bagi
diriku dan dirimu.”
Amir : “Sekali lagi kami mohon ampun ayah, jika usulku nanti
mengganggu ketenangan ayah atau sampai menyakiti ayah. Begini ayah, kami
punya pendapat, alangkah baiknya jika ayah mau menikah saja dengan Nyai
Chalimah penjual air itu, agar di sisi ayah ada orang yang bisa merawat
dan melayani ayah selama 24 jam dan orang tersebut adalah istri ayah
sendiri, bukan orang lain. Lagi pula nantinya kami bisa mengaji dengan
sempurna tidak sampai ketinggalan lagi, karena ayah sudah punya
pendamping.”
Ayah : “Usulmu baik sekali Amir, tetapi apa kira-kira Chalimah
mau menikah dengan ayah? padahal dia masih muda sementara ayah sudah
tertalu tua.
Amir : “Insya Allah dia mau Ayah.”
Singkat cerita perkawinan beliau dengan Nyai Chalimah cepat terlaksana.
Perkawinan beliau dengan Nyai Chalimah yang terkenal dengan nama Nyai
Banten itu hanya dikaruniai seorang anak perempuan yang diberi nama
Chasanah yang kelak menjadi istri Kyai Dawud bin Mas’ud.
MBAH IDRIS KEDATANGAN SYEKH MAHFUDZ
Konon di Semarang tepatnya di kampung
Darat tinggal seorang ulama besar yang memiliki dedikasi tinggi dalam
berdakwah mengajak umat beriman dan beribadah kepada Allah. Beliau
adalah Kyai Shaleh bin Umar penyusun kitab-kitab agama berbahasa Jawa
yang sangat banyak sekali dari berbagai macam disiplin ilmu dari mulai
tauhid, fiqh, tasawuf, tafsir, dan lain-lain. Beliau (KH. Saleh)
mempunyai beberapa orang anak diantaranya adalah Raden Ajeng Zahro. Ia
menjadi istri seorang ahli falak yang terkenal yaitu KH. Raden Dahlan
Al-Falaki. Tetapi sayangnya, baru dikaruniai satu orang anak yang diberi
nama Raden Rahmat, Kyai ahli falak ini meninggal dunia sehingga Nyai
Raden Ajeng Zahro pun dengan sendirinya menjadi seorang janda muda.
Sepeninggal KHR. Dahlan Kyai Shaleh ingin sekali mencari-kan suami
untuk Raden Zahro ini kalau ada adalah orang yang keilmuannya maupun
kesalihannya mirip dengan menantunya yang wafat itu. Akhirnya pilihan
tepat beliau jatuhkan pada Syekh Mahfudz At Tarmasi. Namun ketika Syeh
Mahfudz berunding dengan istrinya bahwa dirinya dimohon kesiapannya oleh
Kyai Shaleh untuk menikah dengan Raden Zahro ternyata istrinya merasa
keberatan sehingga Syekh Mahfudz hanya bisa mengusul-kan kepada Kyai
Shaleh saja yaitu agar beliau mau memilih saja salah satu dari dua belas
santrinya yang dianggap paling senior saat itu yang diantaranya Amir
sendiri, beliau pun menyetujui usul Syekh Mahfudz itu, sekaligus
menyuruhnya agar dia sendiri menangani proses selanjutnya termasuk
menghubungi Amir dan beristikhoroh.
Setelah Syekh Mahfudz bermusyawarah dan beristikhoroh maka beliau
menunjuk Amir untuk menjadi pengganti dirinya untuk menikahi Raden
Zahro.
Agar urusannya cepat selesai beliau segera pergi menuju ke tempat Mbah
Idris. Setelah sampai di rumah Mbah Idris, beliau melihat Mbah Idris
tengah duduk khusyu’ mengahadap kiblat dengan tangan kanan memegang
tasbih dan mulutnya membaca dzikir di ruang depan rumahnya yang terbuka
tanpa pintu. Beliau cukup lama duduk di belakang Mbah Idris itu menunggu
sampai dzikirnya selesai. Setelah Mbah Idris selesai berdzikir dan
bangun dari duduknya, beliau sangat kaget karena ada Syekh Mahfudz
tengah duduk di belakangnya, kemudian Syekh Mahfudz mengucap salam.
Sy. Mahfudz : “Assalamualaikum”.
Mbah Idris : “Wa’alaikumus Salam Warahmatullah”.
Sy. Mahfudz : “Mohon maaf Mbah, Saya datang tiba-tiba
tanpa memberi tahu lebih dulu”.
Mbah Idris : “Justru kami yang mohon maaf karena kami
tidak mengerti sampeyan menunggu lama. Ada apa tho pak Kyai Sampeyan
datang ke tempat Saya malam-malam begini?.”
Sy. Mahfudz : “Ada kabar penting Mbah, baru saja saya diperintah
oleh Kyai Shaleh ndarat Semarang agar saya mencarikan calon suami
putrinya yang bernama R.A. Zahro, dan ternyata saya melihat Amir putra
Panjenengan adalah satu-satunya santri saya yang pas menjadi pendamping
hidupnya.”
Mbah Idris : “Terima kasih sekali Kyai, itu terserah anak
saya.
Tetapi begini Kyai, Amir itukan sudah menikah beberapa waktu lalu
dengan Sukainah binti Kyai
Sa`id dari Gedongan Cirebon.”
Sy. Mahfudz : “Itu urusan mudah Mbah, kami yang akan
menyelesaikannya dengan segera.”
Mbah Idris : “Kalau begitu urusan ini kami serahkan sepenuhnya
kepada Kyai Amir, Kyai Shaleh Darat, dan Kyai Sa`id
Gedongan, silakan kalian berunding. Kami hanya bisa mendo`akan semoga
urusan ini berakhir dengan baik, maslahat dan manfaat.”
Amir pun akhirnya menikah dengan RA. Zahro putri Mbah Shaleh Darat
(dikemudian hari setelah menikah, Amir bermukim di Semarang, kemudian
hijrah ke Pekalongan).
--= =--
NYAI BANTEN MOHON KEPADA MBAH IDRIS AGAR PUTRINYA
DINIKAHKAN DENGAN DAWUD
Sebelum Mbah Idris dan putranya pulang
ke Lumpur, Kyai Mas’ud yang tidak lain adalah saudara sepupu Mbah Idris
terketuk hatinya untuk meniru langkah Mbah Idris yang telah mengirim
anak-anaknya pergi ke tanah suci Mekah untuk menuntut ilmu pada
ulama-ulama besar di sana. Mereka yang ingin dikirim antara lain ialah :
1. Abdul Qohhar bin Mas’ud
(mukim di Kalirahayu-Losari-Cirebon)
2. Karnadi bin Mas’ud
(mukim di Keboncai - Cirebon)
3. Dahlan bin Mas’ud
(mukim di Lumpur - Losari - Brebes)
4. Dawud bin Mas’ud
(mukim di Lumpur - Losari - Brebes)
Mereka (putra-putra Kyai Mas’ud) juga menuntut ilmu di tanah suci
dengan semangat yang tinggi sehingga mereka semua menjadi ulama-ulama
besar di zamannya. Kyai Karnadi dikenal sebagai murid kesayangan
As-Syekh Nawawi Al-Bantani penyusun Tafsir Al-Munir, Kyai Dahlan dan
Kyai Dawud dikenal kedalaman ilmunya juga kemerduan suaranya sehingga
Kyai Dahlan pernah dilarang Kyai Amir mengimami sholat Jahar karena
seluruh ma’mumnya tersihir oleh kehalusan suaranya, sampai mereka lupa
membaca fatihah, dan Kyai Dawud dikenal cerdas, alim dan pernah menjadi
Muadzin (tukang adzan) di Mekah.
Menurut sumber yang dapat dipercaya setiap Kyai Dawud mengumandangkan
adzan maka semua orang khusyu’ mendengarkan suara adzannya itu, tidak
terkecuali Nyai Banten sehingga saking kagumnya Nyai Banten matur kepada
suaminya (Mbah Idris).
Ny. Banten : “Kekaine besok si Dedawud jadi menantu kita ya
Kekaine? Setuju kan Kekaine?
Mbah Idris : “Ya.. itu urusan gampang, kalau Tuhan menghendaki.”
Ny. Banten : “Kekaine awas jangan lupa loh ya, Saya senang
sekali dengan suara si Dedawud.”
Mbah Idris : “Ya... ya... kamu yang banyak berdo`a saja yah”
Harapan Nyai Banten ingin punya menantu Kyai Dawud bin Mas’ud akhirnya
terlaksana. Nyai Khasanah binti Idris yang waktu itu masih berumur 7
tahun akhirnya dinikahkan dengan Kyai Dawud.
--= =--
MBAH IDRIS DAN PUTRA-PUTRANYA
DIUSIR KAUM WAHABI
Mbah Idris dan putra-putranya
sebenarnya ingin sekali tinggal di tanah suci Mekah keluarga ini sudah
betah hidup di tanah suci itu bahkan sampai mereka ingin hidup disana
sampai akhir hayatnya sekaligus dimakamkan di sana berkumpul dengan
makam para Sahabat. Namun, harapan itu menjadi sirna karena negara yang
waktu itu bernama Hijaz dan berada di bawah kesultanan Usmani di Turki
di mana beliau bersama anaknya bermukim di dalamnya kini mengalami
gejolak yang hebat. Seorang tokoh oposisi penganut faham Wahabi yang
bernama Muhammad Sa’ud dari wilayah Najad melakukan kudeta (penggulingan
terhadap pemerintahan yang sah yang bermadhab Syafi’i dan menduduki
kota Mekah pada tahun 1802 M hingga 10 tahun lamanya sebelum akhirnya
mereka digempur kembali oleh tentara Mesir pimpinan Ali Pasha atas
perintah kesultanan Turki Usmani yaitu Sultan Muhammad As-Sani pada
tahun 1812 M. Dan gerakannya bangkit hingga subur kembali pada tahun
1925 pada masa pemerintahan Raja Ibnu Su`ud hingga sekarang (Th. 2011 M)
--= =--
SEKILAS TENTANG GOLONGAN WAHABI
Golongan Wahabi adalah firqah islamiyah
yang dipelopori oleh Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab (1702 - 1787 M).
Golongan ini dalam bidang fiqih berpegang pada Madzhab Hanbali yang
disesuaikan dengan pemikiran Ibnu Taimiyah. Para pengikutnya menamakan
golongannya ini “Al-Muwahhidun” dan Tariqahnya dinamai
“Al-Muhammadiyah”. Golongan Wahabi banyak mewarisi ajaran-ajaran Ibnu
Taimiyah bahkan lebih radikal.
Pembawa faham ini adalah bernama Muhammad, sedangkan Abdul Wahab adalah
nama ayahnya yang berfaham Ahlis Sunah Wal Jama`ah, saudara sekandung
Muhammad bernama Sulaiman bin Abdul Wahab juga berfaham Ahlus Sunah Wal
Jama`ah sehingga karena berbeda faham maka antara keduanya sering
terjadi percekcokan, diantara perdebatannya yang pernah terjadi adalah
sebagai berikut :
Sulaiman : “Berapakah rukun islam?”
Muhammad : “Lima.”
Sulaiman : “Tetapi kamu menjadikannya enam!”
Muhammad : “Apa?”
Sulaiman : “Kamu menfatwakan siapa yang mengikutimu
adalah mukmin, dan yang tidak sesuai dengan fatwamu adalah kafir.”
Ia (Muhammad) terdiam, marah dan berusaha membunuhnya tetapi Sulaiman
bisa lolos.
Diantara ajaran Wahabi yang berbeda dengan Ahli Sunah adalah masalah
“Istiwa` `Alal `Arsy”. Mereka meyakini bahwa Allah tidak menyerupai
makhluk, tetapi anehnya mereka meyakini bahwa Allah berada di tempat
yang tertentu yaitu di atas `Arsy dan berada di arah yang tertentu pula
yaitu arah atas (Lihat kitab “Taujihat Islamiyah” karya Muhammad bin
Jamil Zinu, hal : 18) dia adalah tokoh Wahabi dan dosen “Darul Hadits
Al-Khoiriyah” Mekah, Saudi.
Kita golongan Ahlus Sunah Wal Jama`ah beriman bahwa Allah ta`ala
memiliki sifat-sifat sempurna antara lain :
a. Sifat Istiwa` (bersemayam). Karena Allah berfirman : اَلرَّحْمنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى ﴿طه : ٤﴾ (Tuhan Yang Maha Pemurah bersemayam pada `Arsy)
b. Sifat Maji` (Datang). Karena Allah berfirman : وَجَاءَ رَبُّكَ وَالْمَلَكُ صَفًّا صَفًّا ﴿الفجر : ٢٢﴾ (Dan datanglah Tuhanmu, sedangkan Malaikat berbaris-baris)
c. Sifat Nuzul (Turun). Karena Nabi bersabda : اِذَا مَضَى شَطْرُ اللَّيْلِ نَزَلَ رَبُّنَا اِلَى سَمَاءِ الدُّنْيَا (Apabila separuh dari waktu malam telah lewat maka turunlah tuhan kita ke langit yang paling dekat dengan dunia) Akan tetapi kita meyakini bahwa :
1) - Dzatnya Allah bukan jisim dan Istiwa`nya dzat yang bukan jisim itu tidak boleh disamakan dengan Istiwa`nya dzatnya yang berjisim - Dzatnya Allah bukan jisim dan Maji`nya dzat yang bukan jisim itu tidak boleh disamakan dengan Maji`nya dzatnya yang berjisim - Dzatnya Allah bukan jisim dan Nuzulnya dzat yang bukan jisim itu tidak boleh disamakan dengan Nuzulnya dzatnya yang berjisim.
2) Dzatnya Allah itu tidak sama dengan dzatnya makhluk (Dzatuhu Mukholafahl Lidzatil Hawadits) maka sifat-Nya juga tidak sama dengan sifatnya makhluk (Sifatuhu Mukholafah Lisifatil Hawadits). Semua sifat-sifatnya Allah seperti Qudrot, Irodat, Ilmu, Hayat, Sama`, Bashor dan Kalam itu tidak sama dengan sifat Qudrot, Irodat, Sama` dan seterusnya yang dimiliki makhluk.
3) Istiwa`nya Allah pada `Arys adalah Istiwa` yang layak bagi dzatnya Allah, jadi tidak boleh ada “Tasybih” (penyerupaan Istiwa`nya Allah dengan Istiwa`nya makhluk). Tidak boleh ada “Tamtsil” (persamaan Istiwa`nya Allah dengan Istiwa`nya makhluk). Dan tidak boleh ada “Ta`thil” (pengosongan dan peniadaan Istiwa` itu sama sekali pada Allah).
4) Istiwa`nya Allah ta`ala itu “Ghoiru Mukayyafin” (tidak boleh diterka-terka seperti apa bentuknya) karena dzatnya Allah itu Mukholafah Lilhawaditsi maka sifatnya juga Mukholafah Lilhawaditsi. Jadi berbeda dengan Istiwa`nya jisim yang mesti “Mukayyafin” (bisa dibayangkan bentuknya)
5) Kata Istiwa` di dalam Al-Qur`an tidak boleh ditafsiri oleh siapapun menurut selera sendiri tetapi harus menunggu tafsiran dari Nabi SAW karena hanya beliau yang mendapat mandat dari Allah utuk menafsiri Al-Qur`an. Allah ta`ala berfirman :
( وَاَنْزَلْنَا اِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ بِهِ ﴿النحل : ٤٤
Artinya : “Dan kami turunkan Al-Qur`an kepadamu agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka” Jadi ketika ada ayat yang “Auhamat Tasybih” (membayang-kan adanya penyerupaan Allah) dan Nabi tidak menjelaskan tafsirnya maka kita harus diam (sukut) dan menyerahkan tafsir itu kepada Yang Maha Kuasa (At-Tafwidh Ilallah) seperti yang dilaku-kan para ulama salaf kita. Inilah komentar mereka (para Salafus Sholihin) tentang Istiwa` :
- Imam Sufyan bin `Uyainah Rohimahullah كُلُّ مَا وَصَفَ اللهُ بِهِ نَفْسَهُ فِى كِتَابِهِ فَتَفْسِيْرُهُ تِلاَوَتُهُ وَالسُّكُوْتُ عَلَيْهِ ﴿هو الله
: ٣٨﴾ (Seluruh sifat Allah yang Allah telah mensifatinya sendiri di dalam Al-Qur`an maka tafsir / arti dari ayat tersebut adalah membaca-nya, dan kemudian diam / jangan menafsiri sendiri) - Imam Robi`ah (Guru Imam Malik Rohimahumalah) اْلإِسْتِوَاءُ غَيْرُ مَجْهُوْلٍ وَالْكَيْفُ غَيْرُ مَعْقُوْلٍ وَيَجِبُ عَلَيَّ وَعَلَيْكَ اْلإِيْمَانُ بِذَلِكَ كُلِّهِ ﴿هو الله :
٣٨﴾ (Istiwa` itu sudah ma`lum adanya (karena tertulis dalam Al-Qur`an), caranya tidak bisa dijangkau dengan akal adanya, saya dan kamu wajib beriman seperti itu)
- Imam Abu Hanifah Rohimahullah
نَقِرُّ بِأَنَّ اللهَ تَعَالَى عَلَى اْلعَرْشِ اسْتَوَى غَيْرَ اَنْ يَكُوْنَ لَهُ حَاجَةٌ وَاسْتِقْرَارٌ عَلَيْهِ وَهُوَ حَافِظُ اْلعَرْشِ وَغَيْرِ الْعَرْشِ مِنْ غَيْرِ احْتِيَاجٍ ﴿هو الله
: ٢٢
﴾ (Kita mengakui bahwa Allah bersemayam (Istiwa`) pada `Arsy bukan karena butuh pada `Arsy dan menetap pada `Arsy. Dia itu pemelihara `Arsy dan juga pemelihara selain `Arsy)
- Imam Malik Rohimahullah اَلإِسْتِوَاءُ غَيْرُ مَجْهُوْلٍ وَالْكَيْفُ غَيْرُ مَعْقُوْلٍ وَاْلإِيْمَانُ بِهِ وَاجِبٌ وَالسُّؤَالُ عَنْهُ بِدْعَةٌ (Istiwa` itu sudah diketahui adanya di dalam Al-Qur`an, caranya yang tidak bisa diterima akal adanya, iman dengan adanya Istiwa` itu wajib, dan bertanya tentang Istiwa` itu bid`ah)
- Imam Syafi`i Rohimahullah
آمَنْتُ بِاللهِ وَبِمَا جَاءَ عَنِ اللهِ عَلَى مُرَادِ اللهِ مِنْ غَيْرِ تَشْبِيْهٍ وَلاَ تَمْثِيْلٍ وَلاَ تَعْطِيْلٍ وَلاَ تَكْيِيْفٍ ، لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيْعُ الْبَصِيْرُ ﴿هو لله : ٢٠﴾
(Aku iman pada Allah, dan pada apa-apa yang datang dari Allah sesuai kehendak Allah tanpa menyerupakan, menyamakan, mengosongkan dan membayangkan caranya. Tidak ada sesuatu apapun yang serupa dengan-Nya. Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat)
- Imam Ghozali Rohimahullah اِذَا اسْتَحَالَ اَنْ تَعْرِفَ نَفْسَكَ بِكَيْفِيَّةٍ اَوْ اَيْنِيَّةٍ فَكَيْفَ يَلِيْقُ بِعُبُوْدِيَّتِكَ اَنْ تَصِفَ الرُّبُوْبِيَّةَ بِأَيْنَ اَوْ كَيْفَ وَهُوَ مُقَدَّسٌ عَنِ اْلأَيْنِ وَاْلكَيْفِ ﴿هو الله : ٣٩﴾ )Apabila kamu mustahil bisa mengetahui dimana dan seperti apa ruhmu, apakah kira-kira kamu layak dengan sifat kehambaanmu itu bila kamu mensifati Tuhanmu dengan kata dimana dan seperti apa? Padahal Dia itu Maha Suci dari kata dimana dan seperti apa?)
- Imam Ahmad bin Hanbal Rohimahullah نُؤْمِنُ بِهَا وَنُصَدِّقُ بِهَا وَلاَ كَيْفَ وَلاَ مَعْنَى (Kita beriman pada ayat itu dan kita membenarkannya tanpa dibarengi kata seperti apa dan ma`nanya apa)
6) Orang yang menafsiri “'Alal 'Arsyi” dengan "Fauqol 'Arsyi" (mengganti “'Ala” dengan “Fauqo” yang bahasa Indonesia-nya tetap sama yaitu "Di Atas") tidak bisa keluar dari dua kategori yaitu kafir dan mu'min, sebabnya adalah : a. Jika penafsiran tersebut bermaksud "Tajsim" (menetapkan jisim pada diri Allah sehingga ia bertempat di atas `Arsy) dan "Ihathoh" (membatasi diri Allah di dalam suatu tempat tertentu yaitu 'Arsy) dan "Tasybih" (menyerupakan di atas 'Arsy Allah dengan di atas buminya makhluk) maka jelas kafirnya orang tersebut karena dia tidak beriman pada ayat : لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيْعُ الْبَصِيْرُ Dan ayat : وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا اَحَدٌ b. Jika penafsiran tersebut bermaksud "Tanzih" (mensucikan Allah) yakni "Fauqol 'Arsyi" yang layak bagi Allah yaitu : لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيْعُ الْبَصِيْرُ (Tidak ada sesuatu apapun yang serupa dengan Dia, Dia Maha Mendengar Lagi Maha Melihat) tanpa ada Tasybih, Tamtsil dan Ta'thil maka jelas mukminnya orang tersebut 7) Golongan Ahlus Sunah Wal Jama'ah meyakini bahwa Allah Ta'ala Maha Luhur dan Maha Agung sebagaimana dalam firman-Nya : وَلاَ يَؤُودُهُ حِفْظُهُمَا وَهُوَ الْعَلِيُّ الْعَظِيمُ ﴿البقرة : ٢٥٥﴾ (Dan Allah tidak merasa berat menjaga keduanya. Dan Allah Maha Tinggi Lagi Maha Besar) Tetapi bukan luhur yang menetapkan arah luhur ("Jihatul 'Ulwi") karena menetapkan arah pada Allah itu sama dengan menetapkan tempat bagi-Nya, dan menetapkan tempat bagi-Nya adalah sama dengan menetapkan Jisim padanya pula. Dari situlah maka menetapkan arah itu tidak dibenarkan oleh Al-Qur`an. Jadi berbeda sekali antara menetapkan arah pada Allah dan menetapkan sifat luhur pada-Nya. Karena menetapkan arah (Al-Jihat) itu akan berdampak pada menetapkan tempat dan menetapkan jisim yang bisa menyebabkan kufur. Sedangkan menetapkan luhur (Al-`Uluwi) maka dalam kalimat luhur itu tersimpan dua kemungkinan (Ihtimal) yakni kemungkinan “`Uluwwul Makani” yakni luhurnya tempat seperti ucapan : “Zaed duduk di atas kursi” dan ini muhal bagi Allah. Dan adapula kemungkinan “`Uluwwur Rutbah” yakni luhurnya pangkat dan kedudukan seperti firman Allah : “Rosul-Rosul itu kami luhurkan sebagian mereka di atas sebagian yang lain”
a. Sifat Istiwa` (bersemayam). Karena Allah berfirman : اَلرَّحْمنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى ﴿طه : ٤﴾ (Tuhan Yang Maha Pemurah bersemayam pada `Arsy)
b. Sifat Maji` (Datang). Karena Allah berfirman : وَجَاءَ رَبُّكَ وَالْمَلَكُ صَفًّا صَفًّا ﴿الفجر : ٢٢﴾ (Dan datanglah Tuhanmu, sedangkan Malaikat berbaris-baris)
c. Sifat Nuzul (Turun). Karena Nabi bersabda : اِذَا مَضَى شَطْرُ اللَّيْلِ نَزَلَ رَبُّنَا اِلَى سَمَاءِ الدُّنْيَا (Apabila separuh dari waktu malam telah lewat maka turunlah tuhan kita ke langit yang paling dekat dengan dunia) Akan tetapi kita meyakini bahwa :
1) - Dzatnya Allah bukan jisim dan Istiwa`nya dzat yang bukan jisim itu tidak boleh disamakan dengan Istiwa`nya dzatnya yang berjisim - Dzatnya Allah bukan jisim dan Maji`nya dzat yang bukan jisim itu tidak boleh disamakan dengan Maji`nya dzatnya yang berjisim - Dzatnya Allah bukan jisim dan Nuzulnya dzat yang bukan jisim itu tidak boleh disamakan dengan Nuzulnya dzatnya yang berjisim.
2) Dzatnya Allah itu tidak sama dengan dzatnya makhluk (Dzatuhu Mukholafahl Lidzatil Hawadits) maka sifat-Nya juga tidak sama dengan sifatnya makhluk (Sifatuhu Mukholafah Lisifatil Hawadits). Semua sifat-sifatnya Allah seperti Qudrot, Irodat, Ilmu, Hayat, Sama`, Bashor dan Kalam itu tidak sama dengan sifat Qudrot, Irodat, Sama` dan seterusnya yang dimiliki makhluk.
3) Istiwa`nya Allah pada `Arys adalah Istiwa` yang layak bagi dzatnya Allah, jadi tidak boleh ada “Tasybih” (penyerupaan Istiwa`nya Allah dengan Istiwa`nya makhluk). Tidak boleh ada “Tamtsil” (persamaan Istiwa`nya Allah dengan Istiwa`nya makhluk). Dan tidak boleh ada “Ta`thil” (pengosongan dan peniadaan Istiwa` itu sama sekali pada Allah).
4) Istiwa`nya Allah ta`ala itu “Ghoiru Mukayyafin” (tidak boleh diterka-terka seperti apa bentuknya) karena dzatnya Allah itu Mukholafah Lilhawaditsi maka sifatnya juga Mukholafah Lilhawaditsi. Jadi berbeda dengan Istiwa`nya jisim yang mesti “Mukayyafin” (bisa dibayangkan bentuknya)
5) Kata Istiwa` di dalam Al-Qur`an tidak boleh ditafsiri oleh siapapun menurut selera sendiri tetapi harus menunggu tafsiran dari Nabi SAW karena hanya beliau yang mendapat mandat dari Allah utuk menafsiri Al-Qur`an. Allah ta`ala berfirman :
( وَاَنْزَلْنَا اِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ بِهِ ﴿النحل : ٤٤
Artinya : “Dan kami turunkan Al-Qur`an kepadamu agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka” Jadi ketika ada ayat yang “Auhamat Tasybih” (membayang-kan adanya penyerupaan Allah) dan Nabi tidak menjelaskan tafsirnya maka kita harus diam (sukut) dan menyerahkan tafsir itu kepada Yang Maha Kuasa (At-Tafwidh Ilallah) seperti yang dilaku-kan para ulama salaf kita. Inilah komentar mereka (para Salafus Sholihin) tentang Istiwa` :
- Imam Sufyan bin `Uyainah Rohimahullah كُلُّ مَا وَصَفَ اللهُ بِهِ نَفْسَهُ فِى كِتَابِهِ فَتَفْسِيْرُهُ تِلاَوَتُهُ وَالسُّكُوْتُ عَلَيْهِ ﴿هو الله
: ٣٨﴾ (Seluruh sifat Allah yang Allah telah mensifatinya sendiri di dalam Al-Qur`an maka tafsir / arti dari ayat tersebut adalah membaca-nya, dan kemudian diam / jangan menafsiri sendiri) - Imam Robi`ah (Guru Imam Malik Rohimahumalah) اْلإِسْتِوَاءُ غَيْرُ مَجْهُوْلٍ وَالْكَيْفُ غَيْرُ مَعْقُوْلٍ وَيَجِبُ عَلَيَّ وَعَلَيْكَ اْلإِيْمَانُ بِذَلِكَ كُلِّهِ ﴿هو الله :
٣٨﴾ (Istiwa` itu sudah ma`lum adanya (karena tertulis dalam Al-Qur`an), caranya tidak bisa dijangkau dengan akal adanya, saya dan kamu wajib beriman seperti itu)
- Imam Abu Hanifah Rohimahullah
نَقِرُّ بِأَنَّ اللهَ تَعَالَى عَلَى اْلعَرْشِ اسْتَوَى غَيْرَ اَنْ يَكُوْنَ لَهُ حَاجَةٌ وَاسْتِقْرَارٌ عَلَيْهِ وَهُوَ حَافِظُ اْلعَرْشِ وَغَيْرِ الْعَرْشِ مِنْ غَيْرِ احْتِيَاجٍ ﴿هو الله
: ٢٢
﴾ (Kita mengakui bahwa Allah bersemayam (Istiwa`) pada `Arsy bukan karena butuh pada `Arsy dan menetap pada `Arsy. Dia itu pemelihara `Arsy dan juga pemelihara selain `Arsy)
- Imam Malik Rohimahullah اَلإِسْتِوَاءُ غَيْرُ مَجْهُوْلٍ وَالْكَيْفُ غَيْرُ مَعْقُوْلٍ وَاْلإِيْمَانُ بِهِ وَاجِبٌ وَالسُّؤَالُ عَنْهُ بِدْعَةٌ (Istiwa` itu sudah diketahui adanya di dalam Al-Qur`an, caranya yang tidak bisa diterima akal adanya, iman dengan adanya Istiwa` itu wajib, dan bertanya tentang Istiwa` itu bid`ah)
- Imam Syafi`i Rohimahullah
آمَنْتُ بِاللهِ وَبِمَا جَاءَ عَنِ اللهِ عَلَى مُرَادِ اللهِ مِنْ غَيْرِ تَشْبِيْهٍ وَلاَ تَمْثِيْلٍ وَلاَ تَعْطِيْلٍ وَلاَ تَكْيِيْفٍ ، لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيْعُ الْبَصِيْرُ ﴿هو لله : ٢٠﴾
(Aku iman pada Allah, dan pada apa-apa yang datang dari Allah sesuai kehendak Allah tanpa menyerupakan, menyamakan, mengosongkan dan membayangkan caranya. Tidak ada sesuatu apapun yang serupa dengan-Nya. Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat)
- Imam Ghozali Rohimahullah اِذَا اسْتَحَالَ اَنْ تَعْرِفَ نَفْسَكَ بِكَيْفِيَّةٍ اَوْ اَيْنِيَّةٍ فَكَيْفَ يَلِيْقُ بِعُبُوْدِيَّتِكَ اَنْ تَصِفَ الرُّبُوْبِيَّةَ بِأَيْنَ اَوْ كَيْفَ وَهُوَ مُقَدَّسٌ عَنِ اْلأَيْنِ وَاْلكَيْفِ ﴿هو الله : ٣٩﴾ )Apabila kamu mustahil bisa mengetahui dimana dan seperti apa ruhmu, apakah kira-kira kamu layak dengan sifat kehambaanmu itu bila kamu mensifati Tuhanmu dengan kata dimana dan seperti apa? Padahal Dia itu Maha Suci dari kata dimana dan seperti apa?)
- Imam Ahmad bin Hanbal Rohimahullah نُؤْمِنُ بِهَا وَنُصَدِّقُ بِهَا وَلاَ كَيْفَ وَلاَ مَعْنَى (Kita beriman pada ayat itu dan kita membenarkannya tanpa dibarengi kata seperti apa dan ma`nanya apa)
6) Orang yang menafsiri “'Alal 'Arsyi” dengan "Fauqol 'Arsyi" (mengganti “'Ala” dengan “Fauqo” yang bahasa Indonesia-nya tetap sama yaitu "Di Atas") tidak bisa keluar dari dua kategori yaitu kafir dan mu'min, sebabnya adalah : a. Jika penafsiran tersebut bermaksud "Tajsim" (menetapkan jisim pada diri Allah sehingga ia bertempat di atas `Arsy) dan "Ihathoh" (membatasi diri Allah di dalam suatu tempat tertentu yaitu 'Arsy) dan "Tasybih" (menyerupakan di atas 'Arsy Allah dengan di atas buminya makhluk) maka jelas kafirnya orang tersebut karena dia tidak beriman pada ayat : لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيْعُ الْبَصِيْرُ Dan ayat : وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا اَحَدٌ b. Jika penafsiran tersebut bermaksud "Tanzih" (mensucikan Allah) yakni "Fauqol 'Arsyi" yang layak bagi Allah yaitu : لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيْعُ الْبَصِيْرُ (Tidak ada sesuatu apapun yang serupa dengan Dia, Dia Maha Mendengar Lagi Maha Melihat) tanpa ada Tasybih, Tamtsil dan Ta'thil maka jelas mukminnya orang tersebut 7) Golongan Ahlus Sunah Wal Jama'ah meyakini bahwa Allah Ta'ala Maha Luhur dan Maha Agung sebagaimana dalam firman-Nya : وَلاَ يَؤُودُهُ حِفْظُهُمَا وَهُوَ الْعَلِيُّ الْعَظِيمُ ﴿البقرة : ٢٥٥﴾ (Dan Allah tidak merasa berat menjaga keduanya. Dan Allah Maha Tinggi Lagi Maha Besar) Tetapi bukan luhur yang menetapkan arah luhur ("Jihatul 'Ulwi") karena menetapkan arah pada Allah itu sama dengan menetapkan tempat bagi-Nya, dan menetapkan tempat bagi-Nya adalah sama dengan menetapkan Jisim padanya pula. Dari situlah maka menetapkan arah itu tidak dibenarkan oleh Al-Qur`an. Jadi berbeda sekali antara menetapkan arah pada Allah dan menetapkan sifat luhur pada-Nya. Karena menetapkan arah (Al-Jihat) itu akan berdampak pada menetapkan tempat dan menetapkan jisim yang bisa menyebabkan kufur. Sedangkan menetapkan luhur (Al-`Uluwi) maka dalam kalimat luhur itu tersimpan dua kemungkinan (Ihtimal) yakni kemungkinan “`Uluwwul Makani” yakni luhurnya tempat seperti ucapan : “Zaed duduk di atas kursi” dan ini muhal bagi Allah. Dan adapula kemungkinan “`Uluwwur Rutbah” yakni luhurnya pangkat dan kedudukan seperti firman Allah : “Rosul-Rosul itu kami luhurkan sebagian mereka di atas sebagian yang lain”
--= =--
BENARKAH IBNU ABBAS R.A PERNAH BERKATA :
“ALLAHU FAUQOL `ARSYI” ?
Kata golongan Wahabi ada riwayat bahwa Ibnu `Abbas R.A
ketika menafsiri ayat اَلرَّحْمنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى ia berkata : اِسْتَقَرَّ عَلَى اْلعَرْشِ وَقَدِ امْتَلأَ بِهِ ﴿هو الله : ٢١﴾ (Dia menetap di atas `Arsy dan memenuhinya) Jawab kita : Hadits di atas adalah dari riwayat Abu Shalih dan Muhammad bin Marwan Al-Kilabi. Menurut AL-Baihaqi riwayat mereka berdua ditinggalkan oleh para Ahli Ilmu Hadits. Para Ahli Ilmu Hadits tidak mau sama sekali berhujjah dengan hadits-hadits riwayat keduanya, karena banyak sekali kemungkaran-kemungkaran dan kebohongan-kebohongan yang mereka perbuat dalam riwayatnya itu, bahkan Ali bin Al-Madini pernah berkata : “Aku mendengar Yahya bin Sa`id Al-Qothon bercerita dari Sufyan, kata Sufyan begini : “Al-Kilabi berkata : Abu Salih pernah berkata kepadaku begini : “Seluruh hadits-hadits yang say sampaikan kepadamu itu murni bohong.” Al-Kilabi berkata lagi : “Abu Shalih pernah berkata pula kepadaku begini : “Awas, apa-apa yang kamu terima dariku dari Ibnu `Abbas itu janganlah kamu sampaikan lagi pada orang lain” (Huwallah : 21)
ketika menafsiri ayat اَلرَّحْمنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى ia berkata : اِسْتَقَرَّ عَلَى اْلعَرْشِ وَقَدِ امْتَلأَ بِهِ ﴿هو الله : ٢١﴾ (Dia menetap di atas `Arsy dan memenuhinya) Jawab kita : Hadits di atas adalah dari riwayat Abu Shalih dan Muhammad bin Marwan Al-Kilabi. Menurut AL-Baihaqi riwayat mereka berdua ditinggalkan oleh para Ahli Ilmu Hadits. Para Ahli Ilmu Hadits tidak mau sama sekali berhujjah dengan hadits-hadits riwayat keduanya, karena banyak sekali kemungkaran-kemungkaran dan kebohongan-kebohongan yang mereka perbuat dalam riwayatnya itu, bahkan Ali bin Al-Madini pernah berkata : “Aku mendengar Yahya bin Sa`id Al-Qothon bercerita dari Sufyan, kata Sufyan begini : “Al-Kilabi berkata : Abu Salih pernah berkata kepadaku begini : “Seluruh hadits-hadits yang say sampaikan kepadamu itu murni bohong.” Al-Kilabi berkata lagi : “Abu Shalih pernah berkata pula kepadaku begini : “Awas, apa-apa yang kamu terima dariku dari Ibnu `Abbas itu janganlah kamu sampaikan lagi pada orang lain” (Huwallah : 21)
--= =--
TENTANG HADITS JARIYAH
Kelompok Wahabi dalam membela
keyakinannya bahwa Allah ta`ala bertempat di atas `Arsy itu sering pula
bertameng dengan hadits Jariyah. Seperti apa haditsnya?
Mari kita simak :
قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَهَا (اَيْ لِلْجَارِيَةِ) اَيْنَ اللهُ ؟ قَالَتْ فِى السَّمَآءِ ، قَالَ : مَنْ اَنَا ؟ قَالَتْ اَنْتَ رَسُوْلُ اللهِ ، قَالَ اَعْتِقْهَا فَإِنَّهَا مُؤْمِنَةٌ ﴿رواه مسلم فى كتاب المساجد عن معاوية بن الحكم السلمى﴾
(Rosulullah SAW pernah menanyai seorang jariyah (budak perempuan) : “Dimanakah Allah?” Jawabnya : “Ia di langit”. Rosulullah SAW bertanya lagi :
“Siapa saya?” Jawabnya : “Sampean Rosulullah” Lalu Rosulullah bersabda : “Merdeka-kanlah dia, dia itu jariyah muknimah)
عَنْ رَجُلٍ مِنَ اْلأَنْصَارِ اَنَّهُ جَاءَ بِأَمَةٍ سَوْدَاءَ ، فَقَالَ : يَا رَسُوْلَ اللهِ ، اِنَّ عَلَيَّ رَقَبَةً مُؤْمِنَةً ، فَإِنْ كُنْتَ تَرَى هَذِهِ مُؤْمِنَةً فَأَعْتِقُهَا ، فَقَالَ لَهَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : أَتَشْهَدِيْنَ اَنْ لاَ اِلَهَ اِلاَّ اللهُ ؟ قَالَتْ : نَعَمْ ، قَالَ : أَتَشْهَدِيْنَ أَنِّى رَسُوْلُ اللهِ ؟ قَالَتْ : نَعَمْ ، قَالَ : أَتُؤْمِنِيْنَ بِالْبَعْثِ بَعْدَ الْمَوْتِ ؟ قَالَتْ : نَعَمْ ، قَالَ : اَعْتِقْهَا ﴿رواه احمد ورجاله رجال الصحيح﴾
(Dari seorang laki-laki Anshar bahwa ia datang menghadap Nabi SAW dengan membawa seorang amat negro, ia berkata : “Wahai Rosulullah, saya memiliki budak perempuan mukminah, jika engkau melihat bahwa budak ini memang mukminah aku akan memerdekakannya. Lalu beliau bertanya kepada budak itu : “Apakah kamu bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah?” Ia menjawab : “Ya”. Beliau bertanya lagi : “Apakah engkau bersaksi bahwa aku utusan Allah?” Ia menjawab : “Ya”. Beliau bertanya pula : “Apakah kamu iman terhadap bangkitnya (seluruh makhluk) setelah mati ?” Ia menjawab : “Ya”. Lalu beliau bersabda : “Merdekakanlah dia” Jawaban Golongan Ahlus Sunah Wal Jama`ah : 1. Pertanyaan “Aenallah” (dimana Allah?) yang kemudian dijawab “Fissama`i” (di langit) adalah bukan harga mati untuk menetapkan iman seseorang, yang menjadi ukuran iman seseorang adalah ucapan dua kalimat syahadat, bukankah Nabi SAW bersabda :
أُمِرْتُ اَنْ اُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَشْهَدُوْا اَنْ لاَ اِلَهَ اِلاَّ اللهُ وَاَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ الله – الحديث ﴿رواه البخارى﴾
(Aku diperintah memerangi orang-orang sehingga mereka bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah) Jadi kita tidak akan meniru apalagi mengikuti langkah kelompok Wahabi yang beranggapan bahwa : “Orang yang tidak tahu dimana Allah maka akan selalu sesat dan tidak akan tahu bagaimana cara beribadah yang benar”. Kalimat ini diucapkan oleh tokoh Wahabi Mekah Muhamad bin Jamil dalam bukunya Taujihat Islamiyah hal : 15 2. Pertanyaan “Aenallah” di dalam beberapa riwayat lain yang berhubungan dengan hadits ini tidak ada, yang ada adalah :
أَتَشْهَدِيْنَ اَنْ لاَ اِلَهَ اِلاَّ اللهُ ؟ قَالَتْ : نَعَمْ - الحديث ﴿رواه احمد ورجاله رجال الصحيح﴾
“Apakah kamu bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah?” Ia menjawab : “Ya”. Jadi Istidlalnya kaum Wahabi dengan hadits jariyah untuk menetapkan bahwa Allah ta`ala berada di arah atas dan bertempat di atas `Arsy adalah gugur dan tidak sah.
3. Pertanyaan “Aenallah” memang hadits, tetapi tidak berarti bahwa Allah ta`ala bertempat di atas sebagian dari alam-Nya yaitu `Arsy dan Rosulullah pun tidak menanyai tentang tempatnya Allah karena Allah adalah pencipta tempat itu sendiri, bukankah Allah sudah wujud sebelum wujudnya tempat, sebelum ada tempat Alah sudah ada tanpa bertempat, dan Allah ta`ala Maha Suci dari berubah-rubah dan berganti - ganti sehingga setelah Allah menciptakan tempat pun Ia tidak bertempat dan tidak akan butuh tempat
4. Golongan Ahlus Sunah Wal Jama`ah bersatu pendapat bahwa wajib hukumnya mensucikan Allah dari sifat-sifat kejisiman, kita tidak ingin meniru langkah kaum Wahabi yang terang-terangan berangapan bahwa Allah berada di arah tertentu dan tempat tertentu. Apakah mereka tidak tahu bahwa arah dan tempat adalah bagian dari jisim itu, cobalah perhatikan jika sebuah jisim diletakkan di sisi jisim yang lain,
maka dengan sendirinya akan timbul 6 hal : yaitu adakalanya jisim yang diletakkan itu berada di atas jisim yang lain itu, atau di bawahnya, atau di kanannya, atau di kirinya, atau di depannya, atau di belakangnya. Jadi barang siapa yang menetapkan arah tertentu pada Allah maka dengan sendirinya ia menetapkan sifat kejisiman pula pada-Nya, dan jika sudah menetapkan jisim pada Allah maka tidak ada khilaf lagi dianatara para ulama tentang kekafiran orag tersebut, dan barang siapa menetapkan arah tetapi tidak menetapkan jisim maka kedua penetapannya itu akan saling berlawanan di dalam waktu yang bersamaan, ini namanya lucu alias muhal.
5. Pertanyaan “Aenallah” (Dimanakah Allah?”) yang dijawab di langit itu tidak bisa dipakai untuk menetapkan iman seseorang. Orang kristen pun kalau ditanya dimanakah Allah? Mereka akan menjawab : “Dilangit”. Apakah dengan jawaban seperti itu mereka layak dimasukkan ke dalam golongan ahli tauhid? Maha Suci Allah dari perkataan orang-orang sesat.
6. Pertanyaan “Aenallah” (Dimanakah Allah?”) yang disampai-kan oleh Rosulullah kepada seorang jariyah a`jamiyah adalah pertanyaan yang murni untuk mengesakan tuhan dan jawaban jariyah pun mestinya harus murni untuk menafikan syirik, namun karena pertanyaannya adalah “Dimanakah Allah?” yang seakan menanyakan tempatnya, yang kemudian jawabannya pun adalah “Dilangit”, yang seakan menjawab tempatnya, maka kedua pertanyaan dan jawaban itu tidak lagi berfaidah mengesakan tuhan maupun menafikan kesyirikan, sehingga kita menetapkan bahwa pertanyaan di atas sangat mungkin tidak keluar dari diri Nabi SAW dengan bentuk kalimat yang seperti itu, tetapi pertanyaan itu disampaikan oleh rowi dalam bentuk makna yang ia ukur dengan kefahamannya sendiri, kendati demikian jika sah menurut lughot arab bahwa pertanyaan semacam “Aenallah?” itu mengandung pengertian untuk menentukan dzat yang disembah (Al-Ma`bud) bukan untuk menentukan tempatnya dzat disembah (Al-Jihat Wal Makan) maka kedua pertanyaan dan jawaban itu menjadi pas dan sesuai harapan. Seperti umpamanya zaed bertanya kepada seorang anak tentang yang mana yang menjadi bapaknya itu, maka pertanyaannya akan seperti ini? Zaed :
يَا وَلَدُ ، اَيْنَ اَبُوْكَ مِنْ هَؤُلاَءِ اْلقَوْمِ ؟ (
“Hai anak, dimanakah bapakmu diantara orang-orang yang duduk itu?”) Anak : هَذَا اَبِى (“Itu dia bapakku”) Pada pertanyaan semacam ini jelas Zaed tidak menanyakan tempat ayah anak itu, akan tetapi ketentuan orangnya, contoh yang lain ialah tersebut dalam Hadits Qudsi : Bahwa di hari kiamat Allah menyeru orang-orang yang ahli shalat malam begini : اَيْنَ الَّذِيْنَ كَانَتْ تَتَجَافَى جُنُوْبُهُمْ عَنِ الْمَضَاجِعِ ؟ (Diamanakah orang-orang yang merenggangkan lambung-lambungnya dari tempat-tempat tidurnya untuk shalat malam?) Maksud dari pertanyaan ini tentu saja begini : “Hai orang-orang yang rajin meninggalkan tempat tidurnya untuk bangun dan shalat malam, Kemarilah kalian!” kemudian mereka pun semuanya bangun. Pertanyaan ini jelas tidak minta dijawab : “Disinilah tempat kami semua wahai Tuhan” tetapi jawabnya adalah : “Ya, kami semua adalah orang-orang yang rajin shalat malam, dan sekarang mau datang memenuhi panggilan Tuan”. Selama kota Mekah dikuasai kaum pemberontak Wahabi yang berlangsung 10 tahun itu, Gubernur Hijaz yang lama yang bermadzhab Syafi’i diusir keluar dari tanah Hijaz termasuk juga di dalamnya para mukimin baik yang sudah lama maupun yang baru datang di Mekah. Mbah Idris bersama anknya pun harus pergi dari tanah suci itu untuk kembali ke tanah air. Setelah sampai di tanah air Mbah Idris mukim di kampungnya sendiri (Lumpur), Umar mukim di Pengabean, dan Amir bermukim di Semarang bersama istri dan mertuanya sampai akhirnya dia diminta oleh Mbah Adam dari Spait Pekalongan untuk tinggal di Simbang Kulon Pekalongan yang waktu itu masih menjadi desa yang gelap dari hidayah.
Mari kita simak :
قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَهَا (اَيْ لِلْجَارِيَةِ) اَيْنَ اللهُ ؟ قَالَتْ فِى السَّمَآءِ ، قَالَ : مَنْ اَنَا ؟ قَالَتْ اَنْتَ رَسُوْلُ اللهِ ، قَالَ اَعْتِقْهَا فَإِنَّهَا مُؤْمِنَةٌ ﴿رواه مسلم فى كتاب المساجد عن معاوية بن الحكم السلمى﴾
(Rosulullah SAW pernah menanyai seorang jariyah (budak perempuan) : “Dimanakah Allah?” Jawabnya : “Ia di langit”. Rosulullah SAW bertanya lagi :
“Siapa saya?” Jawabnya : “Sampean Rosulullah” Lalu Rosulullah bersabda : “Merdeka-kanlah dia, dia itu jariyah muknimah)
عَنْ رَجُلٍ مِنَ اْلأَنْصَارِ اَنَّهُ جَاءَ بِأَمَةٍ سَوْدَاءَ ، فَقَالَ : يَا رَسُوْلَ اللهِ ، اِنَّ عَلَيَّ رَقَبَةً مُؤْمِنَةً ، فَإِنْ كُنْتَ تَرَى هَذِهِ مُؤْمِنَةً فَأَعْتِقُهَا ، فَقَالَ لَهَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : أَتَشْهَدِيْنَ اَنْ لاَ اِلَهَ اِلاَّ اللهُ ؟ قَالَتْ : نَعَمْ ، قَالَ : أَتَشْهَدِيْنَ أَنِّى رَسُوْلُ اللهِ ؟ قَالَتْ : نَعَمْ ، قَالَ : أَتُؤْمِنِيْنَ بِالْبَعْثِ بَعْدَ الْمَوْتِ ؟ قَالَتْ : نَعَمْ ، قَالَ : اَعْتِقْهَا ﴿رواه احمد ورجاله رجال الصحيح﴾
(Dari seorang laki-laki Anshar bahwa ia datang menghadap Nabi SAW dengan membawa seorang amat negro, ia berkata : “Wahai Rosulullah, saya memiliki budak perempuan mukminah, jika engkau melihat bahwa budak ini memang mukminah aku akan memerdekakannya. Lalu beliau bertanya kepada budak itu : “Apakah kamu bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah?” Ia menjawab : “Ya”. Beliau bertanya lagi : “Apakah engkau bersaksi bahwa aku utusan Allah?” Ia menjawab : “Ya”. Beliau bertanya pula : “Apakah kamu iman terhadap bangkitnya (seluruh makhluk) setelah mati ?” Ia menjawab : “Ya”. Lalu beliau bersabda : “Merdekakanlah dia” Jawaban Golongan Ahlus Sunah Wal Jama`ah : 1. Pertanyaan “Aenallah” (dimana Allah?) yang kemudian dijawab “Fissama`i” (di langit) adalah bukan harga mati untuk menetapkan iman seseorang, yang menjadi ukuran iman seseorang adalah ucapan dua kalimat syahadat, bukankah Nabi SAW bersabda :
أُمِرْتُ اَنْ اُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَشْهَدُوْا اَنْ لاَ اِلَهَ اِلاَّ اللهُ وَاَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ الله – الحديث ﴿رواه البخارى﴾
(Aku diperintah memerangi orang-orang sehingga mereka bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah) Jadi kita tidak akan meniru apalagi mengikuti langkah kelompok Wahabi yang beranggapan bahwa : “Orang yang tidak tahu dimana Allah maka akan selalu sesat dan tidak akan tahu bagaimana cara beribadah yang benar”. Kalimat ini diucapkan oleh tokoh Wahabi Mekah Muhamad bin Jamil dalam bukunya Taujihat Islamiyah hal : 15 2. Pertanyaan “Aenallah” di dalam beberapa riwayat lain yang berhubungan dengan hadits ini tidak ada, yang ada adalah :
أَتَشْهَدِيْنَ اَنْ لاَ اِلَهَ اِلاَّ اللهُ ؟ قَالَتْ : نَعَمْ - الحديث ﴿رواه احمد ورجاله رجال الصحيح﴾
“Apakah kamu bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah?” Ia menjawab : “Ya”. Jadi Istidlalnya kaum Wahabi dengan hadits jariyah untuk menetapkan bahwa Allah ta`ala berada di arah atas dan bertempat di atas `Arsy adalah gugur dan tidak sah.
3. Pertanyaan “Aenallah” memang hadits, tetapi tidak berarti bahwa Allah ta`ala bertempat di atas sebagian dari alam-Nya yaitu `Arsy dan Rosulullah pun tidak menanyai tentang tempatnya Allah karena Allah adalah pencipta tempat itu sendiri, bukankah Allah sudah wujud sebelum wujudnya tempat, sebelum ada tempat Alah sudah ada tanpa bertempat, dan Allah ta`ala Maha Suci dari berubah-rubah dan berganti - ganti sehingga setelah Allah menciptakan tempat pun Ia tidak bertempat dan tidak akan butuh tempat
4. Golongan Ahlus Sunah Wal Jama`ah bersatu pendapat bahwa wajib hukumnya mensucikan Allah dari sifat-sifat kejisiman, kita tidak ingin meniru langkah kaum Wahabi yang terang-terangan berangapan bahwa Allah berada di arah tertentu dan tempat tertentu. Apakah mereka tidak tahu bahwa arah dan tempat adalah bagian dari jisim itu, cobalah perhatikan jika sebuah jisim diletakkan di sisi jisim yang lain,
maka dengan sendirinya akan timbul 6 hal : yaitu adakalanya jisim yang diletakkan itu berada di atas jisim yang lain itu, atau di bawahnya, atau di kanannya, atau di kirinya, atau di depannya, atau di belakangnya. Jadi barang siapa yang menetapkan arah tertentu pada Allah maka dengan sendirinya ia menetapkan sifat kejisiman pula pada-Nya, dan jika sudah menetapkan jisim pada Allah maka tidak ada khilaf lagi dianatara para ulama tentang kekafiran orag tersebut, dan barang siapa menetapkan arah tetapi tidak menetapkan jisim maka kedua penetapannya itu akan saling berlawanan di dalam waktu yang bersamaan, ini namanya lucu alias muhal.
5. Pertanyaan “Aenallah” (Dimanakah Allah?”) yang dijawab di langit itu tidak bisa dipakai untuk menetapkan iman seseorang. Orang kristen pun kalau ditanya dimanakah Allah? Mereka akan menjawab : “Dilangit”. Apakah dengan jawaban seperti itu mereka layak dimasukkan ke dalam golongan ahli tauhid? Maha Suci Allah dari perkataan orang-orang sesat.
6. Pertanyaan “Aenallah” (Dimanakah Allah?”) yang disampai-kan oleh Rosulullah kepada seorang jariyah a`jamiyah adalah pertanyaan yang murni untuk mengesakan tuhan dan jawaban jariyah pun mestinya harus murni untuk menafikan syirik, namun karena pertanyaannya adalah “Dimanakah Allah?” yang seakan menanyakan tempatnya, yang kemudian jawabannya pun adalah “Dilangit”, yang seakan menjawab tempatnya, maka kedua pertanyaan dan jawaban itu tidak lagi berfaidah mengesakan tuhan maupun menafikan kesyirikan, sehingga kita menetapkan bahwa pertanyaan di atas sangat mungkin tidak keluar dari diri Nabi SAW dengan bentuk kalimat yang seperti itu, tetapi pertanyaan itu disampaikan oleh rowi dalam bentuk makna yang ia ukur dengan kefahamannya sendiri, kendati demikian jika sah menurut lughot arab bahwa pertanyaan semacam “Aenallah?” itu mengandung pengertian untuk menentukan dzat yang disembah (Al-Ma`bud) bukan untuk menentukan tempatnya dzat disembah (Al-Jihat Wal Makan) maka kedua pertanyaan dan jawaban itu menjadi pas dan sesuai harapan. Seperti umpamanya zaed bertanya kepada seorang anak tentang yang mana yang menjadi bapaknya itu, maka pertanyaannya akan seperti ini? Zaed :
يَا وَلَدُ ، اَيْنَ اَبُوْكَ مِنْ هَؤُلاَءِ اْلقَوْمِ ؟ (
“Hai anak, dimanakah bapakmu diantara orang-orang yang duduk itu?”) Anak : هَذَا اَبِى (“Itu dia bapakku”) Pada pertanyaan semacam ini jelas Zaed tidak menanyakan tempat ayah anak itu, akan tetapi ketentuan orangnya, contoh yang lain ialah tersebut dalam Hadits Qudsi : Bahwa di hari kiamat Allah menyeru orang-orang yang ahli shalat malam begini : اَيْنَ الَّذِيْنَ كَانَتْ تَتَجَافَى جُنُوْبُهُمْ عَنِ الْمَضَاجِعِ ؟ (Diamanakah orang-orang yang merenggangkan lambung-lambungnya dari tempat-tempat tidurnya untuk shalat malam?) Maksud dari pertanyaan ini tentu saja begini : “Hai orang-orang yang rajin meninggalkan tempat tidurnya untuk bangun dan shalat malam, Kemarilah kalian!” kemudian mereka pun semuanya bangun. Pertanyaan ini jelas tidak minta dijawab : “Disinilah tempat kami semua wahai Tuhan” tetapi jawabnya adalah : “Ya, kami semua adalah orang-orang yang rajin shalat malam, dan sekarang mau datang memenuhi panggilan Tuan”. Selama kota Mekah dikuasai kaum pemberontak Wahabi yang berlangsung 10 tahun itu, Gubernur Hijaz yang lama yang bermadzhab Syafi’i diusir keluar dari tanah Hijaz termasuk juga di dalamnya para mukimin baik yang sudah lama maupun yang baru datang di Mekah. Mbah Idris bersama anknya pun harus pergi dari tanah suci itu untuk kembali ke tanah air. Setelah sampai di tanah air Mbah Idris mukim di kampungnya sendiri (Lumpur), Umar mukim di Pengabean, dan Amir bermukim di Semarang bersama istri dan mertuanya sampai akhirnya dia diminta oleh Mbah Adam dari Spait Pekalongan untuk tinggal di Simbang Kulon Pekalongan yang waktu itu masih menjadi desa yang gelap dari hidayah.
--= =--
GURU-GURU MBAH IDRIS
Dalam hal ini penulis miskin informasi
tentang siapa-siapa guru Mbah Idris waktu beliau menimba ilmu di tanah
suci Mekah, tetapi jelas :
1. Sebelum menuntut ilmu di Mekah beliau sudah pernah belajar ngaji kepada bapaknya yaitu Mbah Shaleh
berbagai disiplin ilmu Syari`at seperti ilmu tauhid, fiqih, tasawwuf, dan ilmu-ilmu lain.
2. Karena beliau hampir sebaya dan seumur dengan Syekh Mahfudz At-Tarmasi di mana selisih tahun wafat beliau dan Syekh Mahfudz pun tidak berjarak begitu lama, Mbah Idris wafat tahun 1333 H dan Syekh Mahfudz wafat tahun 1338 H.
Keduanya mukim dan mengaji bersama-sama pada ulama-ulama besar Mekah, maka besar dugaan bahwa guru-guru beliau di Mekah adalah sama dengan guru-guru Syekh Mahfudz yang diantaranya adalah Al-Imam Al-Habib As-Syayid Abu Bakar bin Syattho penyusun kitab l`anatut Tholibin dan Al-Habib Assayid Zaini Dahlan, dll. Rohimahu-mullahu Warahimana Ajma’in
1. Sebelum menuntut ilmu di Mekah beliau sudah pernah belajar ngaji kepada bapaknya yaitu Mbah Shaleh
berbagai disiplin ilmu Syari`at seperti ilmu tauhid, fiqih, tasawwuf, dan ilmu-ilmu lain.
2. Karena beliau hampir sebaya dan seumur dengan Syekh Mahfudz At-Tarmasi di mana selisih tahun wafat beliau dan Syekh Mahfudz pun tidak berjarak begitu lama, Mbah Idris wafat tahun 1333 H dan Syekh Mahfudz wafat tahun 1338 H.
Keduanya mukim dan mengaji bersama-sama pada ulama-ulama besar Mekah, maka besar dugaan bahwa guru-guru beliau di Mekah adalah sama dengan guru-guru Syekh Mahfudz yang diantaranya adalah Al-Imam Al-Habib As-Syayid Abu Bakar bin Syattho penyusun kitab l`anatut Tholibin dan Al-Habib Assayid Zaini Dahlan, dll. Rohimahu-mullahu Warahimana Ajma’in
--= =--
MURID-MURID MBAH IDRIS
Mbah Idris adalah termasuk sosok ulama
yang semangat dalam hal ta’allum dan ta’lim sehingga selain mempunyai
banyak guru banyak pula orang-orang yang ta`allum kepada beliau dalam
berbagai macam disiplin ilmu.
Sejak masih di tanah suci, beliau sudah biasa melayani orang-orang yang
mau berbai’at Thoriqat Qodiriyah Naqsabandiyah dan ijazah Dalailul
Khoirot sehingga beliau terkenal sebagai ulama yang menjadi jalur sanad
thoriqat ini di pulau Jawa. Ini terbukti dengan banyaknya Zairin dari
berbagai daerah di Pulau Jawa yang sanad thoriqotnya sampai dan
bersambung dengan beliau, mereka datang ke makam beliau sekedar untuk
mengucap salam, membaca tahlil, membaca Al-Qur’an dan berdo’a bahkan
pernah ada salah satu zairin yang mengaku pernah mencari makam Mbah
Idris dan baru menemukannya setelah 2 tahun kemudian karena mereka
mencari makam beliau itu di plosok-plosok wilayah Cirebon, bukan di
wilayah Brebes yakni di kampung Lumpur - Losari - Brebes. Memang Kampung
Lumpur, Desa Limbangan itu dahulu masuk ke dalam wilayah Pemerintahan
Kabupaten Cirebon. Mbah Idris dan anak-anaknya pun kalau menulis nama
dan alamatnya pada sampul kitab-kitab milik mereka itu mesti ada kalimah
As-syirboni sehingga orang memahami bahwa Mbah Idris dan anak-anaknya
itu orang Cirebon bukan orang Brebes.
Termasuk murid-murid beliau, adalah putra-putra beliau sendiri dan
menantu-menantunya yang ketika beliau usianya mulai udzur beliau
membagi-bagi tugas kepada anak-anaknya dan menantu -menantunya itu
dengan pembagian yang serasi sekali, yakni :
1. Kyai Amir, Kyai Dawud dan Kyai Dahlan diserahi tugas mengurus
dan mengajar di Pesantren.
2. Kyai Umar dan Kyai Abdullah Mura’i diserahi tugas memimpin Thoriqat.
3. Kyai Kadnawi dan Kyai Imron diserahi tugas melayani masyarakat.
--= =--
MBAH IDRIS ADALAH ULAMA SEKALIGUS SUAMI
DAN AYAH YANG BIJAKSANA
Tidak banyak orang yang bijaksana
seperti Mbah Idris, selain berhasil mendidik anak-anaknya menjadi ulama
besar, beliau juga sangat bijaksana dalam memimpin keluarga, terutama
dalam mengatasi konflik intern mereka.
Konon pada suatu ketika, anak dari istri pertamanya mengalami konflik
dengan istri keduanya. Pada suatu hari istri keduanya mengolah puluhan
butir kelapa untuk dibuat minyak goreng. Setelah menjadi minyak, ia
memasukkannya ke dalam blik. Maka ketika anak tirinya mendengar bahwa
sang ibu tiri memiliki banyak minyak goreng dan kebetulan anak tirinya
yang rumahnya tidak jauh dari rumahnya itu tengah membutuhkan minyak itu
untuk kebutuhan dapur. Dia datang ke rumah ibu tirinya untuk minta
bagian minyak kepada ayahnya. Karuan saja permintaannya itu ditolak
secara halus oleh ibu tiri dengan alasan bahwa minyak itu belum ditaker
sehingga masih belum diketahui berapa botol seluruhnya.
Mendengar pertikaian antara anak dengan istrinya itu, beliau segera
mengambil kebijakan yaitu dengan cara menyuruh istrinya pergi ke warung
guna membeli kebutuhan rumah tangga. Disaat istrinya pergi itulah, Mbah
Idris cepat-cepat mengambil separo dari minyak yang ada di blik itu
untuk diberikan kepada anaknya. Kemudian, agar istrinya tidak curiga,
beliau mengambil kebijakan yang kedua yaitu dengan cara menumpahkan air
perasan daun kapuk randu di sekitar blek minyak. Konon ketika istrinya
datang dari warung, dia kaget melihat tumpahan minyak, kemudian berkata :
Mbah Idris : “Kamu tidak hati-hati menyimpan minyak ya?”
Istri : “Ada apa sih Kekaine kok ribut?”
Mbah Idris : “Lihat tuh bleknya, tadi guling diserang ayam jago.
Caramu menaruh blek memang sembrono dan kurang hati-hati.”
Istri : “Aduh Kekaine, tadi sebelum saya pergi ke
warung
si Sabtani minta minyak tetapi tidak saya kasih karena belum ditaker.”
Mbah Idris : “Lain kali kalau si Sabtani minta apa-apa yang seperti
tadi kepadamu segera dikasih ya? dia itu wali perempuan” (sambil memberi
nasihat kepada istrinya. Mbah Idris mengurug minyak palsu itu dengan
debu sampai tidak kelihatan lagi).
--= =--
KAROMAH DAN WAFAT MBAH IDRIS
Setelah lama berjuang, maka sebagai
orang alim, beliau telah berhasil membimbing umatnya menjadi masyarakat
yang agamis. Sebagai Kyai Pesantren, beliau telah mencetak santrinya
hiangga banyak yang menjadi ulama yang siap berkiprah di masyarakat dan
juga mencetak santri-santrinya menjadi zu’ama yang “rame ing gawe sepi
ing pamrih”. Dan sebagai seorang ayah, beliau telah berhasil mendidik
anak-anaknya menjadi anak yang alim, Shaleh dan beradab yang siap
menjadi pengganti dan penerus perjuangan orang tuanya.
Setelah beliau melaksanakan tugas-tugas itu yang tentunya dengan segala
kekurangan dan kelemahan karena beliau adalah manusia biasa, maka pada
hari Jum`at kliwon, 29 Syawal 1333 H beliau dipanggil oleh sang
penciptanya, Allah SWT. “Innalillahi wa innailaihi rojiun”.
Kemudian setelah beliau wafat maka dimanakah beliau dimakamkan? Inilah
barangkali yang kita anggap sebagai salah satu dari sekian banyak
karomah beliau, karena tatkala beliau sakit keras yang sampai membawa
kematiannya, beliau sempat berpesan kepada keluarganya. Gambaran pesan
beliau dalam bentuk dialog, kurang lebihnya seperti ini :
Mbah Idris : “Nanti kalo aku meninggal kubur saja di bawah kedung yang
ada di tengah-tengah sungai yang ada di sebelah utara rumah” (maksudnya
tikungan sungai yang ada di kampung Bantariak)
Keluarga : “Kenapa harus di sana mbah? Apa tidak sebaiknya di
sebelah barat masjid kita saja?”
Mbah Idris : “Jangan, aku ini orang yang tidak ada apa-apanya
tidak pantas jika dikubur di situ.”
Keluarga : “Baik Mbah, pesan panjenengan akan kami laksanakan”
Konon, persis di hari kematian beliau, kedung sungai yang tadinya
sangat dalam itu mendadak kering kerontang, sehingga jasad beliau dapat
dikebumikan tepat di tengah-tengahnya sungai sesuai dengan pesan beliau.
Kini, selain keluarga beliau, dimakam-kan pula jenazah warga masyarakat
lain yang bukan keluarga. Dengan kata lain, di sekitar makam beliau,
sekarang menjadi pemakaman umat Islam Desa Limbangan yang pedukuhannya
mencakup Lumpur, Lancipan, Karangmalang, Bantariak, Limbangan,
Karangsentong dan Limbangsari.
--= =--
MAKAM MBAH IDRIS
Makam Mbah Idris selama berpuluh-puluh
tahun lamanya, ramai diziarahi orang meskipun tanpa pagar dan cungkub
seperti kebanyakan makam orang-orang alim pada umumnya.
Barulah ketika ada rombongan para Kyai dari Jawa Timur datang berziarah
ke makam beliau untuk bertahlil, berdo’a dan bertawasul, rombongan itu
mengusulkan kepada keluarga beliau, agar mereka diberi ijin membangun
pagar dan cungkub sekedar untuk kenyamanan berziarah kemudian oleh
keluarga usul mereka itu diterima.
Bangunan cungkub pun segera dilaksanakan waktu itu juga dengan bentuk
seadanya. Selanjutnya, bangunan cungkub itu mengalami renovasi yang
berulang-ulang. Renovasi pertama dilakukan oleh keluarga sendiri yang
diseponsori oleh Nyai Rumiah binti Umar bin Idris dan renovasi kedua
dilaksanakan pada tahun 2011 M/ 1432 H oleh masyarakat Desa Limbangan
dengan bentuk bangunan yang cukup mewah, seperti yang kita lihat
sekarang ini, yang kepanitiaannya diketuai oleh KH. Mahdlori bin Muhtadi
dan Sekretaris H. Drs. Muflihun El-Mas`udi. Suksesnya renovasi yang
kedua ini, juga berkat dukungan penuh dari Pemerintah Desa Limbangan di
bawah kepemimpinan Bpk. Masrur, SH,I bin Syahudi (Saudi) bin Akhyar bin
Thohir (Tair) selaku Kepala Desa (kuwu).
--= =--
PENINGGALAN DAN PUSAKA MBAH IDRIS
Cukup banyak shodaqoh jariyah yang
menjadi peninggalan Mbah Idris, yang sampai sekarang masih dirasakan
manfaatnya oleh masyarakat Pedukuhan Lumpur khususnya dan umat islam
pada umumnya. Adapun jenis peninggalannya ialah :
1. Masjid Jami’ Lumpur
Kalau kita menelaah riwayat hidup Mbah Idris maka tidak dapat dipisahkan
dengan Masjid Jami’nya. Masjid yang sekarang bernama Jami’ Al-Idris
yang terletak di ujung selatan Kampung Lumpur itu, dahulu dibanggun
sendri oleh Mbah Idris dengan ukuran kurang lebih 7 x 7 M dan seluruh
bahan bangunan yang digunakannya adalah dari kayu. Lantainya yang
kira-kira 1 M dari permukaan tanah pun terbuat dari kayu juga sehingga
membuat masjid ini nyaman ditempati karena ada longan (kolong) nya,
sehingga udara segar bisa masuk dari segala arah melalui celah-celah
kayu itu.
Ketika buku ini ditulis, tahun 1432 H/ 2011 M masjid ini sudah
mengalami renovasi sebanyak 4 kali.
Pertama pada tahun 1880 M, renovasi ini dilaksanakan oleh Mbah Idris
sendiri atas usul dari Kyai Usman bin Thayib yang terkenal dengan
sebutan Mbah Banjir dan menantu Kyai Syu’aib Prapag, mengingat keadaan
masjid yang waktu itu sudah mulai doyong (miring) akibat hantaman
banjir. Pada renovasi ini seluruh bahan banggunan yang asalnya kayu
diganti dengan tembok kecuali pintu, jendela dan atap dan luasnya
ditambah menjadi kurang lebih 15 x 15 M.
Kedua, tahun 1914 M, renovasi ditahun ini selain memperluas halaman
masjid yang asalnya 15 x 15 M kini luasnya menjadi 20 x 20 M dan
bentuknya diperindah lagi.
Ketiga, tahun 1971 M, karena jama’ah semakin membludak maka perluasan
halaman melebihi perluasan yang dulu. Pada renovasi ini, penambahan
halaman dilakukan disebelah barat yakni seluas 8 x 20 M / 8 saf
Keempat, tahun 2006 M, jam’ah jum’at ditahun ini banjir sampai kekanan
dan kekiri masjid sehingga luas masjid yang dahulu 20 x 20 M, kini
diperluas lagi dengan penambahan halaman yang sanggat mencolok yaitu 50 x
50 M dengan bentuk banggunan yang modern mirip model bangunan masjid di
timur tengah (negara-negara arab) yang ada sekarang.
Meskipun renovasi dilakukan berulang-ulang namun bekas-bekas bangunan
lama yang asli masih dapat dilihat, diantaranya
adalah beberapa pintu mimbar, mustaka dan juga tasbih besar
yang terbuat dari kayu jati.
2. Mimbar
Di dalam masjid jami’ Lumpur, masih terdapat peninggalan Mbah Idris
yang berupa mimbar. Mimbar ini berbentuk seperti kursi besar yang dibuat
tinggi, di atasnya dipasang cungkub dan di bawahnya dipasang 4 buah
roda sehingga sewaktu-waktu dapat dipindahkan ke tempat manapun yang
diingginkan. Mimbar ini sampai sekarang masih tetap ada, terawat dan
tidak diubah bentuknya kecuali perbaikan-perbaikan kecil saja.
3. Tasbih
Barang ini termasuk salah satu dari peninggalan Mbah Idris yang juga
masih dapat kita saksikan sampai sekarang. Bilangan butirannya ada 100
butir, terbuat dari bahan kayu jati dan diletakkan di pengimaman masjid.
4. Mustaka
Mustaka adalah benda unik berbentuk kerucut dan biasa dipasang di atap
masjid yang paling atas. Konon, mustaka yang dipasang di atas masjid
Lumpur adalah sama dengan mustaka-mustaka lain yang lazim dipasang
diatas atap-atap masjid. Pada zaman dahulu, biasanya mustaka terbuat
dari tembikar dan diberi ukiran-ukiran tertentu yang kalau kita amati
lebih dekat lagi maka akan tampak banyak sekali corak baik yang diberi
motif-motif lukisan timbul yang beraneka ragam, yang kalau kita
renungkan mungin ada maksud-maksud tertentu dan mengandung falsafat yang
dalam. Sayang sekali, kita bukan ahli purbakala, jadi tidak mampu
memberi tafsir apa-apa terhadap maksud dari lukisan dan ukiran mustaka
itu.
5. Pesantren
Salah satu peninggalan Mbah Idris yang lainnya adalah Pesantren Lumpur
yang barangkali merupakan salah satu dari Pesantren tertua yang ada di
Indonesia.
PESANTREN LUMPUR
Kalau kita berbicara Pesantren Lumpur
maka mau tidak mau, kita harus mengetahui terlebih dahulu sedikit dari
hakekat Pesantren itu sendiri, sejarahnya dan baru kemudian membahas
perjalanan Pesantren Lumpur.
1. Hakekat Pesantren
Kata “Pesantren” berasal dari dua kata, yang pertama yaitu
“Pe” yang diberi akhiran “N” sesudah kata “Santri” dan yang kedua adalah
kata “Santri”.
Santri dalam bahasa kawi berarti orang suci dan “Pe” yang ditaruh di
awal kata dengan “N” yang ditaruh di akhir, sering diartikan tempat,
contoh : “Pawudon” artinya tempat berwudlu. “Pawestren” artinya tempat
orang-orang wanita. “Pasujudan” artinya tempat bersujud. “Buku
Pasolatan” artinya buku tempat orang-orang belajar shalat dan
sebagainya.
Jadi kata pesantren artinya rumah besar tempat orang-orang suci
menuntut ilmu, murid-murid yang belajar di pesantren disebut orang suci
adalah karena mereka di dalam menuntut ilmu agama sama sekali tidak
dibarengi niat mencari sesuatu yang bersifat sementara dan fana, seperti
mencari ijazah, pekerjaan di kantor, Pemerintah, di pabriknya cina,
ketenaran, dan hal-hal lain yang bersifat duniawi yang fana itu. Justru
yang mereka cari adalah ridho Allah dan kebahagiaan di akhirat kelak,
yang caranya ialah dengan menuntut ilmu syari`at hingga cukup untuk
mengesahkan iman, mengesahkan ibadah dan mengesahkan berbagai macam
mu`amalah, mengerti hal-hal yang halal dan yang haram dan berakhlak
mulia sesuai yang diperintahkan Allah dalam Al-Qur’an, dijelaskan dan
dicontohkan oleh baginda Nabi di dalam hadist-hadistnya, dan
dipraktekkan oleh ulama-ulama salaf dan kholaf.
Setiap santri pasti yakin bahwa siapapun yang mencari kebahagiaan
akhirat maka kebahagiaan dunia akan ikut pula di dapat.
2. Sejarah Pesantren
Siapapun yang mempelajari sejarah pesantren maka ia akan mengetahui
dengan jelas bahwa pesantren tidak dapat dipisahkan dari perkembangan
Islam bahkan pendidikan di Indonesia. Demikian dikatakan Dr. Hasan
Langgulung, Prof. Dr. Zamakhsari Dohfir, M. Natsir (mantan perdana
menteri Indonesia) dan K. H. Ali Ma`shum di dalam Majalah Bangkit
terbitan Yogyakarta. Pendapat mereka bukanlah omong kosong, karena :
a. Ketika para Mubaligh dari kawasan Timur Tengah yang terdiri dari
ulama-ulama besar datang ke Indonesia untuk berdakwah, mengajak
raja-raja di seluruh kepulauan Nusantara beserta rakyatnya agar mereka
mau memeluk Islam dan meninggalkan ajaran lamanya yaitu Atheis atau
Budha atau Hindu. Mereka melakukannya dengan melalui pesantren.
b. Menurut penuturan Dr. Muhammad Natsir seorang ahli sejarah Indonesia
dan mantan perdana menteri Indonesia pertama di masa Revolusi dahulu
yang pernah bertutur kepada penulis buku ini pada bulan April tahun 1977
M di Pekalongan bahwa Pesantren adalah benteng pertahanan islam terkuat
di negara Indonesia. Di zaman wali songo islam di Indonesia baru
mencapai 35%, di zaman penjajah prosentasinya naik sampai 95% dan
setelah negara ini merdeka prosentase warga Indonesia yang beragama
islam santri menurun tinggal kurang lebih 80%,
Negara-negara berpenduduk mayoritas muslim yang tidak memliki basis
pesantren maka sinar Islam di negara tersebut semakin hari semakin
redup saja bahkan hampir sirna. Padahal dulu pernah mengalami masa
keemasan yang gilang gemilang, seperti di India pada zaman Sulthan
Badruddin, di Thailand pada zaman Shultan Ibrahim, di Fhilipina pada
zaman Sulthan Sulaiman dan lain-lain. Ini tidak lain karena tidak ada
benteng pertahanan yang kuat yang mampu menahan dan membentengi pengaruh
penjajah Kuffar di sana yang tidak lain adalah Pesantren. Kini ketika
pesantren mulai ditinggalkan oleh umat Islam, maka Islam di
Indonesia pun mulai
berangsur tenggelam.
Kapan pesantren mulai ditinggalkan umat Islam ? Dr. Hasan mengatakan
yaitu sejak negara ini merdeka. Mulai saat itu umat Islam
berbondong-bondong hijrah menuju kota untuk ikut berebut kursi jabatan
di pemerintahan yang baru merdeka itu. Tidak hanya warga masyarakat
biasa, putra-putra Kyai, bahkan para Gus-Gus yang orang tuanya menjadi
ulama besar dan memiliki pondok pesantren pun ikut hijrah untuk berebut
kursi dan mengais rejeki. Mereka rela meninggalkan pos-pos pertahanan
Islam itu demi kursi. Karuan saja Islam semakin hari semakin sunyi dari
penganutnya.
Akhirnya ketika pondok pesantren kosong karena ditinggal oleh generasi
penerus dan tentu saja oleh santri maka majelis-majelis Ta’lim,
langgar-langgar, bahkan masjid-masjid ikut menjadi kosong,
bangunan-bangunannya hanya menjadi bangunan yang besar dan megah tetapi
mati tidak berpenghuni.
Ketika Pondok Pesantren tidak menjadi tujuan menuntut ilmu, umat pun
menjadi seperti hewan, mereka hidup tanpa aturan agama, mereka tidak
mengenal lagi mana yang halal dan mana yang haram, mereka tidak mengenal
wudlu, mereka tidak mengenal shalat dan seterusnya. Sumber rujukan
budaya dan pola hidup mereka adalah Televisi dan Internet. Media
elektronik semacam TV dan Internet ini yang mestinya berfungsi sebagai
media edukatif, informatif dan rekreatif pada kenyataannya lebih banyak
sisi negatifnya. Ketika adegan buka-bukaan ditayangkan, masyarakat kita
terutama pemuda dan pemudinya langsung menirunya tanpa berfikir lagi dan
tanpa bisa dibendung, padahal pemeran dari adegan buka-bukaan itu
mungkin saja melakukannya hanya sementara saja, yaitu karena harus
mengikuti alur cerita yang dibuat sutradara, tetapi masyarakat kita
malah melakukannya terus menerus dan dalam kehidupan sehari-hari, di
rumah, di jalan, di pasar dan di tempat-tempat mana saja. Sementara
orang yang mau nahi mungkar sulit ditemukan adanya. Penguasa diam dengan
alasan demokrasi, para ustadz diam dengan alasan takut dan warga
masyarakat pun diam semua dengan alasan mumpung muda. Padahal menurut
ajaran agama diangkatnya kholifah adalah untuk menegakkan hukum
Al-Qur’an dan As-Sunah di atas muka bumi.
--= =--
PERJALANAN PESANTREN LUMPUR
Di dalam menguak perkembangan Pondok
Pesantren Lumpur, penulis tidak akan membeberkannya secara detail tetapi
terbatas pada hal-hal yang informatif saja.
Pada garis besarnya perkembangan Pondok Pesantren Lumpur dapat dibagi
menjadi 2 Periode, yaitu Periode Perintisan dan Periode Perkembangan.
1. Periode Perintisan
Periode Perintisan artinya masa perintisan jalan pendirian pesantren
oleh seorang Kyai untuk diteruskan kepada generasi berikutnya di dalam
pemeliharaan, pengem-bangan pendidikan, dan pengajaran di Pesantren.
Pada periode ini, mbah Idris dikenal sebagai perintisnya yaitu mulai
kira-kira tahun 1295 H. Pada masa ini tempat mukim para santri hanya ada
di sekeliling masjid saja dengan bangunan yang sangat sederhana, yaitu
dengan bahan bambu yang dibuat oleh santri sendiri, yang kemudian
diteruskan oleh generasi berikutnya hingga tahun 1398 H atau tepatnya 10
Jumadil Ula 1398 H yang bertepatan dengan 8 Mei 1978 M.
System belajar pada periode perintisan inipun masih menganut metode
Halaqoh yakni para santri mengaji dengan duduk bersilah mengelilingi
gurunya. Tangan kanan mereka memegang pena dan tangan kiri memegang
kitab yang sama dengan kitab yang tengah dibaca oleh guru, lalu guru
membaca kitab itu kalimat demi kalimat sambil memberi penjelasan Lughot,
Nahwu, Shorof, Bayan, Bade’, Ma’ani, Mantheq, dan sebagainya. Santripun
mencatat (Ngapsahi) penjelasan guru itu dengan tekun dan sangat
hati-hati agar tidak salah catat dan tidak ada catatan penting yang
tertinggal. Setelah guru usai membaca kemudian guru menyuruh satu
persatu santrinya untuk menirukan bacaanya, setelah semua bacaan itu
selesai maka guru mempersilahkan mereka untuk menanyakan kandungan kitab
yang baru dibacanya itu, yang belum dipahami, termasuk menanyakan
masalah-masalah lain di luar kitab yang dibaca yang masih berkaitan dan
berhubu-ngan.
Belajar dengan metode Halaqoh ini berjalan cukup lama yaitu sejak
generasi beliau,
lalu diteruskan generasi kedua yaitu putra-putra dan menantu beliau
yaitu : Kyai Umar,
Kyai Amir,
Kyai Muro’i,
Kyai Dahlan,
Kyai Dawud, dan lainnya.
Kemudian diteruskan lagi oleh generasi ketiga yakni generasi cucu-cucu beliau
seperti : Kyai Zawawi,
KH. Muhammad,
KH. Hambali,
KH. Faqih,
Kyai Abbas, dan yang lain.
Setelah generasi ketiga habis lalu diteruskan oleh generasi keempat yakni cicit-cicit beliau yaitu,
Kyai. Mahmud,
KH. Abdul Ghafur,
KH. Abdul Karim,
KH. Abdur Rosyid,
KH. Abdul Hadi,
KH. Yusuf Hasyim,
KH. Ma’mun,
KH. Masykur
dan Penulis buku ini dan lainnya.
Mulai generasi keempat ini yaitu mulai tahun 1398 H/ 1978 M. System pendidikan Pondok Pesantren Lumpur dikembangkan lagi yaitu dengan menambah system Klasikal.
2. Periode Perkembangan Tanggal 20 Syawwal tahun 1398 / Oktober 1978 M adalah awal Pondok Pesantren Lumpur menambah system klasikal
(anak santri, belajar dibagi dalam beberapa kelas sesuai kemampuan mereka)
dengan tanpa meninggalkan system Halaqoh, karena system ini dirasa masih sangat efektif dengan berpegang
kata Yanbu` diambil dari kata awal dari kalimat Yanbu’ul Qur’an
sebuah Pondok Tahfidz yang didirikan oleh K.H. Arwani Kudus yaitu salah seorang guru dari penulis sendiri, dan
kata Al-Ulum adalah sempalan dari kalimat Darul Ulum yaitu nama sebuah Pondok Pesantren di Pondohan Tayu Pati yang didirikan oleh K.H.A. Muhammadun yang tidak lain adalah guru penulis juga.
Mulai periode ini pula di pondok ini didirikan sebuah Madrasah Salafiyah dengan diberi nama “Madrasah Idrisiyah Salafiyah Islamiyah” atau disingkat MISI, dengan mata pelajaran yang telah disesuaikan dengan Madrasah-Madrasah Salafiyah lain yang telah berdiri lebih dahulu dan yang telah sukses mencetak `Ulama dan Zu`ama yaitu yang ada di Pesantren-Pesantren Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur, seperti : Madrasah Al-Hikamus Salafiyah (MHS) di Babakan Ciwaringin Cirebon Jawa Barat,
Madrasah Ghazaliyah Syafi’iyah (MGS) Sarang Rembang Jawa Tengah,
Madrasah Hidayatul Mubtadi’in (MHM) Libroyo Kediri Jawa Timur,
dan masih banyak lagi.
Madrasah Idrisiyah Salafiyah Lumpur ini terdiri dari 3 tingkatan:
1. Tingkat Ibtidaiyyah (3 kelas)
2. Tsanawiyah (3 kelas)
3. Aliyah (3 kelas)
Selain madrasah, di Pondok Pesantren Lumpur juga ada Pendidikan lain, yaitu Tahfidul Qur’an dan Pelajaran Ekstrakulikuler seperti Pengajian Wetonan, Sorogan, Latihan berpidato, dan Bahsul Masail, dan pengajian bulanan untuk Alumni dan Wali Murid.
lalu diteruskan generasi kedua yaitu putra-putra dan menantu beliau
yaitu : Kyai Umar,
Kyai Amir,
Kyai Muro’i,
Kyai Dahlan,
Kyai Dawud, dan lainnya.
Kemudian diteruskan lagi oleh generasi ketiga yakni generasi cucu-cucu beliau
seperti : Kyai Zawawi,
KH. Muhammad,
KH. Hambali,
KH. Faqih,
Kyai Abbas, dan yang lain.
Setelah generasi ketiga habis lalu diteruskan oleh generasi keempat yakni cicit-cicit beliau yaitu,
Kyai. Mahmud,
KH. Abdul Ghafur,
KH. Abdul Karim,
KH. Abdur Rosyid,
KH. Abdul Hadi,
KH. Yusuf Hasyim,
KH. Ma’mun,
KH. Masykur
dan Penulis buku ini dan lainnya.
Mulai generasi keempat ini yaitu mulai tahun 1398 H/ 1978 M. System pendidikan Pondok Pesantren Lumpur dikembangkan lagi yaitu dengan menambah system Klasikal.
2. Periode Perkembangan Tanggal 20 Syawwal tahun 1398 / Oktober 1978 M adalah awal Pondok Pesantren Lumpur menambah system klasikal
(anak santri, belajar dibagi dalam beberapa kelas sesuai kemampuan mereka)
dengan tanpa meninggalkan system Halaqoh, karena system ini dirasa masih sangat efektif dengan berpegang
اَلْمُحَافَظَةُ عَلَى الْقَدِيْمِ الصَّالِحِ وَاْلأَخْذُ بِالْجَدِيْدِ اْلأَصْلَحِ
)
Mempertahankan cara lama yang baik dan menambah system baru yang lebih baik)
Sejak periode ini Pondok Pesantren Lumpur yang dulu tidak memakai nama kini diberi nama Yanbu`ul `Ulum, kata Yanbu` diambil dari kata awal dari kalimat Yanbu’ul Qur’an
sebuah Pondok Tahfidz yang didirikan oleh K.H. Arwani Kudus yaitu salah seorang guru dari penulis sendiri, dan
kata Al-Ulum adalah sempalan dari kalimat Darul Ulum yaitu nama sebuah Pondok Pesantren di Pondohan Tayu Pati yang didirikan oleh K.H.A. Muhammadun yang tidak lain adalah guru penulis juga.
Mulai periode ini pula di pondok ini didirikan sebuah Madrasah Salafiyah dengan diberi nama “Madrasah Idrisiyah Salafiyah Islamiyah” atau disingkat MISI, dengan mata pelajaran yang telah disesuaikan dengan Madrasah-Madrasah Salafiyah lain yang telah berdiri lebih dahulu dan yang telah sukses mencetak `Ulama dan Zu`ama yaitu yang ada di Pesantren-Pesantren Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur, seperti : Madrasah Al-Hikamus Salafiyah (MHS) di Babakan Ciwaringin Cirebon Jawa Barat,
Madrasah Ghazaliyah Syafi’iyah (MGS) Sarang Rembang Jawa Tengah,
Madrasah Hidayatul Mubtadi’in (MHM) Libroyo Kediri Jawa Timur,
dan masih banyak lagi.
Madrasah Idrisiyah Salafiyah Lumpur ini terdiri dari 3 tingkatan:
1. Tingkat Ibtidaiyyah (3 kelas)
2. Tsanawiyah (3 kelas)
3. Aliyah (3 kelas)
Selain madrasah, di Pondok Pesantren Lumpur juga ada Pendidikan lain, yaitu Tahfidul Qur’an dan Pelajaran Ekstrakulikuler seperti Pengajian Wetonan, Sorogan, Latihan berpidato, dan Bahsul Masail, dan pengajian bulanan untuk Alumni dan Wali Murid.
MATA PELAJARAN
MADRASAH IDRISIYAH SALFIYAH ISLAMIYAH (MISI)
POND. PEST. YANBU`UL `ULUM (PPYU)
٦ إبتدائى ٥ إبتدائى ٤ إبتدائى
آجرومية كبرى
خلاصة نور اليقين ٣
كيلانى
جواهر الكلامية
أبى جمرة
ورقات تعليم المتعلم سلم التوفيق تحرير نظم العمريطى قواعد الصرفية الترغيب والترهيب خريدة البهية تحفة الأطفال قواعد الإعلال الأمثلة التصريفية نظم المقصود خلاصة نور اليقين ٢ تقريب رسالة الصلاة الزكاة والصيام والحج وغيرها الأمثلة التصرفية الأربعين النووية متن اجرومية عقيدة العوام خلاصة نور اليقين ١ نظم المقصود هداية الصبيان الأداب الشرعية سفينة النجاة رسالة الصلاة الزكاة والصيام والحج وغيرها ٣ ثانوى ٢ ثانوى ١ ثانوى كفاية الأخيار شرح ابن عقيل فتح المعين تفسير المنير رياض الصالحين جوهر المكنون منهاج العابدين فيض الخبير منهل اللطيف نظم فرائد البهية لب الأصول شرح الهد هدى فتح المجيد شرح نظم الورقات علم التفسير فرائض نظم جواهر المكنون تحفة العنبرية منحة المغيث بلوغ المرام شرح ابن عقيل متن زبد تفسير المنير نظم فرائد البهية جوهر المكنون قواعد الأساسية فى أصول الفقه قواعد الإعراب فرائض جواهر البخارى إيضاح قواعد الفقهية قواعد الأساسية فى مصطلح الحديث جوهرة التوحيد شرح ابن عقيل فتح القريب تفسير المنير ٣ عالية ٢ عالية ١ عالية تفسير المنير الإتقان صحيح مسلم المحلى الفية سيوطى منهج ذوى النظر جمع الجوامع شرح الحكم الروح المهذب الأشباه والنظائر تفسير المنير الإتقان صحيح مسلم المحلى الفية سيوطى منهج ذوى النظر جمع الجوامع شرح الحكم الروح المهذب الأشباه والنظائر تفسير المنير الإتقان صحيح مسلم المحلى الفية سيوطى منهج ذوى النظر جمع الجوامع شرح الحكم الروح المهذب الأشباه والنظائر
ورقات تعليم المتعلم سلم التوفيق تحرير نظم العمريطى قواعد الصرفية الترغيب والترهيب خريدة البهية تحفة الأطفال قواعد الإعلال الأمثلة التصريفية نظم المقصود خلاصة نور اليقين ٢ تقريب رسالة الصلاة الزكاة والصيام والحج وغيرها الأمثلة التصرفية الأربعين النووية متن اجرومية عقيدة العوام خلاصة نور اليقين ١ نظم المقصود هداية الصبيان الأداب الشرعية سفينة النجاة رسالة الصلاة الزكاة والصيام والحج وغيرها ٣ ثانوى ٢ ثانوى ١ ثانوى كفاية الأخيار شرح ابن عقيل فتح المعين تفسير المنير رياض الصالحين جوهر المكنون منهاج العابدين فيض الخبير منهل اللطيف نظم فرائد البهية لب الأصول شرح الهد هدى فتح المجيد شرح نظم الورقات علم التفسير فرائض نظم جواهر المكنون تحفة العنبرية منحة المغيث بلوغ المرام شرح ابن عقيل متن زبد تفسير المنير نظم فرائد البهية جوهر المكنون قواعد الأساسية فى أصول الفقه قواعد الإعراب فرائض جواهر البخارى إيضاح قواعد الفقهية قواعد الأساسية فى مصطلح الحديث جوهرة التوحيد شرح ابن عقيل فتح القريب تفسير المنير ٣ عالية ٢ عالية ١ عالية تفسير المنير الإتقان صحيح مسلم المحلى الفية سيوطى منهج ذوى النظر جمع الجوامع شرح الحكم الروح المهذب الأشباه والنظائر تفسير المنير الإتقان صحيح مسلم المحلى الفية سيوطى منهج ذوى النظر جمع الجوامع شرح الحكم الروح المهذب الأشباه والنظائر تفسير المنير الإتقان صحيح مسلم المحلى الفية سيوطى منهج ذوى النظر جمع الجوامع شرح الحكم الروح المهذب الأشباه والنظائر
KH. AMIR DI SEMARANG
Sebagaimana dituturkan di atas bahwa
KH. Amir yang sejak pertama tiba di Mekah berencana mukim terus di tanah
suci itu akhirnya harus pulang juga ke tanah air akibat terjadinya
gejolak di sana. Syarif Husain sebagai penguasa tanah Hijaz di waktu itu
digulingkan oleh kaum wahabi yang dipimpin oleh Syekh Sa`ud dibantu
oleh inggris, Raja Husain akhirnya tumbang dan pemerintahan berpindah ke
tangan keluarga Sa`ud itu hingga sekarang (tahun buku ini
ditulis/2012). Nama negarapun dirubahnya, negara yang dahulu bernama
Negara Hijaz itu kini berganti nama menjadi Kerajaan Arab Saudi, sejak
itu para mukimin yang berasal dari berbagai negara disuruh pulang paksa
ke negaranya masing-masing oleh pemerintah baru ini, tak terkecuali Amir
yang sudah puluhan tahun dan sudah kerasan tinggal di Mekah itu.
Amir pulang bukan ke Lumpur melainkan ke desa Darat Kabupaten Semarang
kota. Di desa Darat inilah beliau mengajar para santri bersama mertuanya
yaitu Kyai Shaleh dengan cara sembunyi-sembunyi, kadang-kadang beliau
harus mengajar santrinya di dalam kamar yang tertutup, kemudian di hari
yang lain beliau mengajar di tempat yang berbeda lagi, karena khawatir
ketahuan oleh mata-mata belanda yang sudah lama menjajah Indonesia.
Belanda memang sangat ketat mengawasi gerak-gerik para kyai terutama
yang ada di semarang. Para kyai itu dilarang keras mengajarkan segala
macam ilmu agama, sehingga mertua Mbah Amir sendiri yang tak lain adalah
Kyai Shaleh terpaksa harus mengajar dengan cara menulis kitab-kitab
tentang agama itu dengan bahasa daerah setempat lalu mencetaknya di luar
negeri yaitu di Singapura, lalu dibagikan kepada murid-murid beliau
khusus-nya yang ada di Semarang dan sekitarnya, murid-murid itu disuruh
membacanya di rumah sendiri-sendiri saja kemudian kalau ada masalah yang
mereka tak mampu memahaminya mereka disuruh datang ke rumah beliau
untuk menanyakan-nya lalu kyai Shaleh menjelaskannya, hal ini sesuai
dengan petunjuk Al-Qur`an Surat An-Nahl ayat 43 :
فَاسْأَلُواْ أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنتُمْ لاَ تَعْلَمُونَ
“Maka bertanyalah kepada orang-orang
yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui”
Dengan cara begini beliau dan Kyai Amir bisa menuai sukses besar di
dalam mendidik murid-muridnya itu. Banyak murid-murid didik beliau yang
berhasil menjadi ulama maupun zuama, antara lain KH. Idris Jamsaren Solo
dan R.A. Kartini yang terkenal sebagai pahlawan nasional dan penulis
buku “Minadldlulumati ilannur” yang bahasa Indonesianya “Habis gelap
terbitah terang ” itu, karena memang awalnya Kartini itu gersang ilmu
agama, baru setelah belajar mengaji kepada Mbah Shaleh beliau banyak
menguasai ilmu agama.
--= =--
KH. AMIR HIJRAH KE PEKALONGAN
Setelah sekian lama Mbah Amir bersama
anak tirinya dan juga istrinya sendiri mengajar di Darat Semarang
membantu mertuanya Kyai Shaleh maka pada suatu hari datanglah Mbah Adam
seorang ulama yang terkenal kaya dari Spait Pekalongan menemui beliau.
MA : “Kyai, saya dari Pekalongan, datang kesini dengan tujuan mau
mohon kepada Kyai sudilah kiranya Kyai tinggal di desa saya yaitu desa
Simbang kulon Kecamatan Buaran Kabupaten Pekalongan untuk mengajar ngaji
di sana, mengingat masyarakat desa kami hampir seluruhnya awam dan
belum ada kyai yang mengajar ngaji.”
KHA : “Kalau saya harus pindah ke Pekalongan apakah kira-kira mertua
saya merestui?”
MA : “Insya Allah Mbah Shaleh merestui, nanti saya saja yang matur
kepada beliau.”
KHA : “Lalu di Pekalongan saya akan tinggal di rumah siapa? Baiklah
saya akan mencari rumah dulu di sana untuk dibangun rumah dan
pesantren.”
MA : “Kyai tidak usah memikirkan tanah, rumah dan bangunan
pesantren, semua saya yang menanggung.”
Setelah KH. Amir bermusyawaroh bersama keluarganya yang di Semarang dan
mohon restu kepada ayahnya yang di Lumpur maka beliaupun tidak lupa
istikhoroh berulang-ulang. Setelah mendapat restu dari kedua orang
tuanya dan mertuanya maka
KH. Amir segera hijrah ke Pekalongan disertai istrinya yaitu R.A. Zahra anak tirinya R. Rahmat dan pembantu rumahnya yang mantan pelacur itu yaitu Nyai Soka.
KH. Amir segera hijrah ke Pekalongan disertai istrinya yaitu R.A. Zahra anak tirinya R. Rahmat dan pembantu rumahnya yang mantan pelacur itu yaitu Nyai Soka.
KEADAAN DESA SIMBANG DAN SEKITARNYA SEBELUM KEDATANGAN MBAH AMIR
Masyarakat desa Simbang dan sekitarnya
di akhir abad 18 dan menjelang abad 19 adalah merupakan masyarakat
petani sekaligus pengrajin dan pedagang batik yang kosmopolit, ini
berbeda sekali dengan daerah-daerah lainnya diseluruh wilayah
pekalongan.
Hanya saja rata-rata dari mereka buta agama, perjudian, mabuk-mabukan,
adu jago, dan adu burung dara adalah merupakan pemandangan sehari-hari
di kawasan ini. Di tengah-tengah lebat dan gelapnya belantara dan
kejahatan yang merajalela itu KH. Amir bersama keluarganya datang di
desa ini untuk memulai sebuah biografi baru, kedatangannya ibarat
terbitnya purnama dari balik kegelapan malam.
Mulailah KH. Amir dan Raden Rahmat mengajarkan ilmu yang untuk
mengesahkan iman, yaitu ilmu tauhid dan ilmu yang untuk mengesahkan
ibadah dan mu`amalah yaitu ilmu fiqih dan ilmu yang untuk membersihkan
hati dan mensucikannya dari sifat-sifat madzmumah yaitu ilmu tasawuf dan
ilmu akhlaq, disamping itu juga mengajar ilmu Al-Qur`an, Tafsir,
Hadits, Usul Fiqih, kaidah fiqih dan ilmu alat kepada para
santri-santrinya baik yang dari tetangga sendiri maupun dari luar
daerah
--= =--
MANTAN PELACUR MENJADI
PEMBANTU RUMAH TANGGA KH. AMIR
Konon sekitar kurang lebih tahun 1315
H. usia Mbah Shaleh mertua Mbah Amir semakin lanjut, namun beliau masih
tetap aktif mengajar santri-santrinya yang datang dari berbagai penjuru
daerah, disamping itu beliau juga sibuk melayani segala macam urusan
masyarakat dan tidak lupa pula menerima para tamu-tamu yang ingin
bertemu langsung dengan beliau untuk menanyakan masalah-masalah
keagama-an atau sekedar soan silaturrahim dan mendengar
nasihat-nasihatnya.
Konon pada suatu hari sekembalinya beliau mengajar para
santri-santrinya beliau dicegat oleh seorang Habib yang terkenal alim
dan sufi yang ingin bermalam di rumah beliau, beliau segera menaruh
kitabnya dan beramah tamah dengannya.
Habib : “Kyai, saya ingin bermalam di rumah kyai, siapkah kyai
menyediakan kamar untuk saya?”
KHS : “Oh,ada Bib, tapi mungkin kurang bagus dan kurang luas.”
Habib : “Tidak apa, yang penting saya minta dicarikan teman tidur
seorang perempuan pelacur yang sangat cantik dan masih perawan.”
KHS : “Siap Bib, sekarang juga saya akan pergi ke rumah bordil untuk
menanyakan gadis tersebut kepada germonya.
Kyai Shaleh pun segera berangkat mencari pelacur yang diminta oleh
Habib itu. Tidak berapa lama beliau sudah datang kembali dengan membawa
gadis tersebut. Setelah shalat isya Habib memanggil gadis yang baru
datang itu agar segera masuk kamar dan tinggal bersamanya. Setelah
berada di dalam kamar pintu kamar pun segera dikunci dari dalam,
sehingga di dalam kamar itu hanya tinggal dua orang, yaitu Habib dan
gadis cantik itu. Mereka berdua menjalani malam-malam indahnya tanpa ada
orang lain yang mengganggu hingga malam larut dan sampai datang waktu
pagi.
Di pagi hari seusai jama`ah shalat subuh bersama para santri Kyai
Shaleh tidak seperti biasanya, beliau memasak air sendiri dan menanak
nasi sendiri kemudian menyiapkan sarapan dengan lauk pauk seadanya
disertai kopi panas yang dibelinya dari warung sebelah. Setelah semuanya
beres kemudian beliau mengetuk pintu kamar yang dihuni oleh Habib dan
gadis pelacur. Pintupun segera terbuka dan Habib keluar lebih dulu
kemudian diikuti oleh gadis pelacur.
KHS : “Wahai Habib, apakah tuan puas tidur di rumah saya?”
Habib : “Sungguh menyenangkan tidur di rumah Kyai.”
KHS : “Apakah gadis ini bisa melayani tuan dengan baik?”
Habib : “Oh ya, dia benar-benar gadis yang baik, semua kehendak saya
dipenuhi dengan sempurna.”
Habib pun segera pamit pulang ke rumahnya, setelah Habib pergi dan
tidak kelihatan, KH. Shaleh segera bertanya kepada gadis pelacur yang
mempunyai nama asli Soka itu.
KHS : “Berapa kali tamu saya tadi mencumbui kamu?”
Gadis : “Ah, boro-boro mencumbui, mencium satu kalipun tidak, bahkan
meraba anggota badan saya pun tidak, padahal saya sudah siap, seluruh
pakaian yang melekat pada tubuh saya sudah saya tanggalkan semua. Tamu
Pak Kyai itu tidak pernah melirik satu kalipun ke arah tubuh saya ini,
beliau terus-terusan mengerjakan sholat, setiap selesai sholat beliau
beliau berdzikir dan berdo`a dan kemudian mulai shalat lagi, begitu dan
begitu terus dari mulai masuk kamar ini sampai keluar”
KHS : “Lalu kamu akan minta bayaran berapa?”
(Gadis ini bukannya menjawab pertanyaan Kyai Shaleh melainkan menangis
dengan suara keras dan lama sekali, setelah puas dengan tangisannya
barulah ia menjawab) ia berkata :
Gadis : “Oh.. Kyai, saya tidak akan minta bayaran sepeserpun dan saya
tidak akan kembali lagi ke tempat bordil saya atau ke tempat lain, saya
ingin tinggal di rumah Kyai untuk menjadi pembantu di rumah Kyai dan
belajar ngaji dan shalat kepada Kyai.”
Gadis yang bernama Soka tersebut kemudian menjadi bagian dari
santri-santri Mbah Shaleh Ndarat hingga bertahun-tahun lamanya hingga
menjadi santri yang alim dan mampu mengajarkan kitab-kitab yang dikarang
Kyai Shaleh, seperti kitab Majmu`ah Syari`ah, Lathaifuth Thoharoh,
keduanya tentang fiqih. Sabilul `Abid tentang tauhid, dan kitab-kitab
yang lain.
Ketika KH. Amir pindah di tempat yang baru oleh Kyai Shaleh Nyai yang
mantan pelacur itu disuruh ikut KH. Amir untuk tinggal di Simbang
Pekalongan menjadi pembantu rumah tangga KH. Amir.
--= =--
MANTAN PELACUR JADI KEKASIH ALLAH
Setelah Mbah Amir sekeluarga resmi
mukim di Simbang Kulon, kehidupan baru bagi keluarga inipun diawali
lagi, pesantren dibukanya, pengajianpun dimulainya, bahkan setiap santri
yang belajar mengaji banyak sekali, bahkan setiap hari terus bertambah,
mereka yang datang mengaji bukan hanya kaum pria melainkan juga kaum
wanita, sehingga guru ngaji wanita sangatlah dibutuhkan, hal ini karena
masalah yang dihadapi oleh wanita terkadang sangatlah tabu kalau
disampaikan oleh guru pria, seperti masalah haid, nifas dan istihadloh,
termasuk masalah mandi jinabat dan hubungan suami istri yang sudah
barang tentu akan menyeret kepada pembahasan organ wanita yang sangat
intim dan sifat-sifat wanita yang cenderung “Naqishotu `Aqlin Wa Dinin”
untuk mengatasi masalah ini Mbah Amir tidak merasa kesulitan sama sekali
karena istri beliau Raden Ajeng Zahro adalah seorang putri Mbah Shaleh
ndarat yang terkenal bukan hanya kecantikannya tetapi juga cerdas dan
pandai khususnya di dalam urusan agama, begitu juga pembantunya yang
tidak lain adalah Nyai Soka, seorang mantan pelacur yang kini mempunyai
kemampuan lebih di dalam mengajarkan ilmu tauhid, fiqih bahkan Al-Qur`an
dan tafsirnya, karena begitu lamanya beliau belajar berbagai disiplin
ilmu agama itu langsung kepada ulama besar yaitu Mbah Kyai Shaleh yang
terkenal wali itu.
Begitu banyaknya santri-santri baik dari wilayah Pekalongan sendiri
maupun dari daerah lain yang belajar ngaji kepada kedua guru wanita yang
alim ini, banyak dari santri-santri mereka yang menjadi orang alim dan
mampu menjadi maha guru seperti mereka berdua, diantara murid-muridnya
ialah Nyai Hindun dari Simabng Kulon sendiri, seorang ibu dari KH.
Tahrir, KH. Abdullah dan KH. Abdul Jalil.
--= =--
SIMBANG KULON PEKALONGAN SETELAH
KEDATANGAN MBAH AMIR
Belum lama Mbah Amir tinggal di Simbang
Kulon, Simbang Kulon sudah tidak seperti dulu lagi, mabuk-mabukan,
perjudian, para penyabung ayam dan kejahatan-kejahatan lain mulai
berkurang, bahkan bisa dikatakan tidak ada lagi. Langgar-langgar banyak
didirikan hampir di setiap lorong dan gang, pengajian ramai dimana-mana,
bacaan Al-Qur`an, dzikir dan Dalailul Khoirot terdengar ramai setiap
hari pagi dan sore, siang dan petang. Ini tak lain berkat kegigihan dan
ketekunan Mbah Amir dengan dibantu anak tirinya, istrinya dan Nyai Soka
yang tak kenal lelah itu.
Menurut cerita yang diperoleh dari murid Mbah Amir yang bisa dipercaya
bahwa Mbah Amir mengajar santri-santri mulai pagi sampai malam tepatnya
sebelum adzan subuh mengudara beliau sudah keluar dari rumah dan berada
dilanggar tempat beliau mangajar dan beliau tidak pernah masuk rumah
sebelum sholat isya, santri-santrinya pun tidak ada yang pernah melihat
Mbah Amir makan dari mulai pagi sampai malam itu kecuali hanya minum
secangkir air, oleh sebab itu tidak heran kalau murid-murid beliau yang
menjadi ulama besar sangat banyak, antara lain KH. Muhammadun bin Ali
Murtadlo, Pendiri dan pengajar Pondok Pesantren Darul Ulum Pondoan Tayu
Pati dan ayah dari KH. Aniq Muahammadun sekaligus kakek dari Ulil Abshar
Abdallah, begitu juga yang lain seperti KH. Maemun Luwungragi Brebes,
KH. Thoyib Kertasemaya Indramayu dan masih banyak lagi. Kini desa
Simbang Kulon desa peninggalan Mbah Amir itu menjadi Kota Santri, banyak
sekali pesantren dan madrasah-madrasah besar berdiri megah di desa ini.
Wallahu A`lam.
MBAH AMIR DAN TAREKAT
Ada yang menduga bahwa Mbah Amir tidak
mau tarekat, dugaan ini sangat tidak benar dan tidak terbukti karena
ayah Mbah Amir sendiri yaitu KH. Idris bin Ahmad Saleh adalah guru besar
ilmu Tarekat Qodiriyah Naqsabandiyah dan semua ilmu yang beliau miliki
diturunkan kepada Mbah Amir termasuk wirid tarekat ini dan ditambah
Dalailul Khoirot. Apalagi tasawuf, tarekat adalah bagian dari ajaran
agama. Marilah kita simak keterangan kitab Tanwirul Qulub ini :
Tasawuf adalah ilmu yang untuk mengetahui sifat-sifat hati, baik yang
terpuji maupun yang tercela, yang tercela dihilangkan dan yang terpuji
diamalkan. Termasuk untuk mengetahui tatacara pergaulan (Etiquette) dan
perilaku kepada Allah.
Dari situlah maka membahas ilmu tasawuf bagaikan mengarungi laut tak
berpantai, karena ilmu tasawuf benar-benar luas, ini berbeda dengan
ilmu-ilmu yang lain yang tertata sistematika dan metodologinya,
sedangkan ilmu tasawuf tidaklah demikian, karena ilmu tasawuf
berhubungan dengan Dzauq (perasa) yang tidak dapat diukur
obyektifitasnya apalagi secara kuantitasnya, sehingga antara sesama ahli
tasawuf seringkali berbeda, sebagaimana dikatakan oleh Ay-Syekh Amin
Al-Kurdi ini :
علْمُ التَّصَوُّفِ عِلْمٌ لَيْسَ يُدْرِكُهُ * إِلاَّ اَخُـوْ فِطْنَةٍ بِـالْحَقِّ مَعْرُوْفٌ وَكَيْفَ يَعْرِفُهُ مَنْ لَيْسَ يَشْـهَدُهُ *
وَكَيْفَ يَشْهَدُ ضَوْءَ الشَّمْسِ مَكْفُوْفٌ
Artinya : “Ilmu Tasawuf adalah ilmu yang tidak bisa dirasakan kecuali oleh orang yang memiliki ma`rifat kepada Al-Haq (Allah Ta`ala)” “Bagaimana mungkin orang tidak ma`rifat bias merasakan, bukankah orang buta tidak bisa merasakan terangnya sorot matahari?” Seorang sufi selalu ingin berubah dan terus berusaha berubah, karena dalam tasawuf kita kenal adanya Maqamat dan Ahwal (tingkatan dan perpindahan) mulai dari maqam pertama yaitu Maqam At-Taubah sampai dengan yang terakhir yaitu Maqam Qoba Qousaini Aw Adna (ia dekat sedekat ujung busur panah atau lebih dekat lagi) melalui proses beberapa Ahwal dari mulai Ahwal Muroqobah hingga Al-Fana (hancur, sirna) bahkan sampai Fanaul Fana (hancur lebur). Ba`dhul `Arifin berkata :
وَبَعْدَ الْفَنَا بِاللهِ كُنْ كَيْفَمَا تَشَا * فَعِلْمُكَ لاَ جَهْلٌ وَفِعْلُكَ لاَ وِزْرٌ
Artinya : “Setelah seorang sufi sirna dan tenggelam mencintai Allah maka dikatakan kepadanya : “Berbuatlah apa saja yang kamu kehendaki, sesungguhnya ilmu kamu tidak dikotori kebodohan dan perbuatanmu tidak dinodai dosa” Sejarah telah mencatat bahwa hikayat orang-orang sufi tak ubahnya seperti legenda-legenda orang yang telah mabuk cinta, mereka merasa dirinya telah sirna, tak bernilai lagi (Fana) bahkan telah hancur lebur (Fanaul Fana) dalam diri sang kekasih yang Maha Agung, padahal jasad mereka masih gentayangan, mereka benar-benar mabuk dan tidak sadar karena cinta yang menggelora sehingga menurut penelitian orang yang belum pernah mengalami-nya mereka itu sinting yang ingin menarik perhatian orang banyak, padahal mereka adalah orang-orang yang istimewa, kondisi mereka sudah sampai pada tingkat kewalian yang petunjuk dan isyaratnya sangat dibutuhkan oleh umat, tentu saja sepanjang keanehan itu tidak bertentangan dengan aqidah dan syari`at islam. Penulis memperoleh kabar dari sesepuh bahwa Kubah Maqbaroh Mbah Idris adalah dibangun oleh salah seorang guru tarekat dari Jawa Timur yang mengaku Ijazah Tarekat dan Dalailul Khoirotnya dari beliau, begitu juga murid-muridnya Mbah Amir yang lain, termasuk juga anak cucunya banyak yang mengamalkan Tarekat dan kebanyakan orang yang ijazah tarekat dan Dalail itu sanadnya melalui Mbah Amir dan Mbah Idris ini. Wallahu A`lam.
علْمُ التَّصَوُّفِ عِلْمٌ لَيْسَ يُدْرِكُهُ * إِلاَّ اَخُـوْ فِطْنَةٍ بِـالْحَقِّ مَعْرُوْفٌ وَكَيْفَ يَعْرِفُهُ مَنْ لَيْسَ يَشْـهَدُهُ *
وَكَيْفَ يَشْهَدُ ضَوْءَ الشَّمْسِ مَكْفُوْفٌ
Artinya : “Ilmu Tasawuf adalah ilmu yang tidak bisa dirasakan kecuali oleh orang yang memiliki ma`rifat kepada Al-Haq (Allah Ta`ala)” “Bagaimana mungkin orang tidak ma`rifat bias merasakan, bukankah orang buta tidak bisa merasakan terangnya sorot matahari?” Seorang sufi selalu ingin berubah dan terus berusaha berubah, karena dalam tasawuf kita kenal adanya Maqamat dan Ahwal (tingkatan dan perpindahan) mulai dari maqam pertama yaitu Maqam At-Taubah sampai dengan yang terakhir yaitu Maqam Qoba Qousaini Aw Adna (ia dekat sedekat ujung busur panah atau lebih dekat lagi) melalui proses beberapa Ahwal dari mulai Ahwal Muroqobah hingga Al-Fana (hancur, sirna) bahkan sampai Fanaul Fana (hancur lebur). Ba`dhul `Arifin berkata :
وَبَعْدَ الْفَنَا بِاللهِ كُنْ كَيْفَمَا تَشَا * فَعِلْمُكَ لاَ جَهْلٌ وَفِعْلُكَ لاَ وِزْرٌ
Artinya : “Setelah seorang sufi sirna dan tenggelam mencintai Allah maka dikatakan kepadanya : “Berbuatlah apa saja yang kamu kehendaki, sesungguhnya ilmu kamu tidak dikotori kebodohan dan perbuatanmu tidak dinodai dosa” Sejarah telah mencatat bahwa hikayat orang-orang sufi tak ubahnya seperti legenda-legenda orang yang telah mabuk cinta, mereka merasa dirinya telah sirna, tak bernilai lagi (Fana) bahkan telah hancur lebur (Fanaul Fana) dalam diri sang kekasih yang Maha Agung, padahal jasad mereka masih gentayangan, mereka benar-benar mabuk dan tidak sadar karena cinta yang menggelora sehingga menurut penelitian orang yang belum pernah mengalami-nya mereka itu sinting yang ingin menarik perhatian orang banyak, padahal mereka adalah orang-orang yang istimewa, kondisi mereka sudah sampai pada tingkat kewalian yang petunjuk dan isyaratnya sangat dibutuhkan oleh umat, tentu saja sepanjang keanehan itu tidak bertentangan dengan aqidah dan syari`at islam. Penulis memperoleh kabar dari sesepuh bahwa Kubah Maqbaroh Mbah Idris adalah dibangun oleh salah seorang guru tarekat dari Jawa Timur yang mengaku Ijazah Tarekat dan Dalailul Khoirotnya dari beliau, begitu juga murid-muridnya Mbah Amir yang lain, termasuk juga anak cucunya banyak yang mengamalkan Tarekat dan kebanyakan orang yang ijazah tarekat dan Dalail itu sanadnya melalui Mbah Amir dan Mbah Idris ini. Wallahu A`lam.
--= =--
MBAH AMIR DAN ROKOK
Menghisap rokok adalah sebuah tindakan
yang belum pernah terjadi di zaman Nabi dan Sahabat-Sahabatnya, di zaman
Tabi`in, Tabi`it Tabi`in dan terus hingga ke bawah. Ada yang mengatakan
orang yang pertama kali menghisap rokok adalah orang India, kurang
lebih 1000 tahun setelah Rasulullah wafat, ironisnya perkembangan rokok
ini sangat cepat sekali mendunia. Banyak sekali orang merokok sebelum
memikirkan efek dan hukumnya, tidaklah enak didengar kalau orang yang
membahas hukum rokok ini adalah orang yang anti rokok apalagi kalau yang
membahas hukumnya adalah perokok kelas berat karena sudah bisa
dipastikan akan menghasilkan keputusan yang tidak seimbang.
Seorang ulama besar zaman ini dari Yaman yang bergelar Sulthonul Ulama
yaitu Al-Habib Al-`Alim Al-`Allamah Salim bin Abdullah bin Umar
Asy-Syathiri bercerita dihadapan masyarakat Jakarta bahwa dirinya pernah
membaca delapan kitab yang menerangkan tentang hukum haramnya merokok,
sehingga beliaupun mengharamkan seluruh murid-muridnya menghisap rokok.
Penulis mendengar keterangan beliau ini empat kali di dalam bulan dan
tahun yang berbeda, pertama ketika beliau berkunjung ke Pondok Pesantren
Yanbu`ul `Ulum Lumpur Losari, Kedua di Pondok Pesantren Al-Bukhori
Sengon Tanjung, ketiga di Pondok Pesantrennya Kyai Busyrol Karim
Kuningan dan keempat di Pondok Pesantren Al-Masyhad Asembaris, Tebet
Jakarta. Sementara Imam Ibrohim Al-Bajuri menulis di dalam kitab
Hasyiyah Fathul Qorib bahwa hukum merokok adalah makruh. Konon Mbah Amir
sendiri saat mudanya tergolong orang yang suka merokok tetapi akhirnya
beliau meninggalkannya sama sekali.
Sejarah Mbah Amir meninggalkan rokok diawali dari datangnya seorang
Mursyid Tarekat yang tidak lain adalah kakak kandungnya sendiri yaitu
KH. Umar di rumahnya.
KHU : “Mir, saya merasa bingung kalau melihat kamu merokok?”
KHA : “Loh, kok bingung sih kang? Rokok kan enak sekali dan saya
kalau tidak merokok tidak bisa ngajar.”
KHU : “Mir, kamu ini orang alim yang menjadi panutan umat, sedangkan
saya ini orang bodoh sehingga harus ikut kamu, tetapi kalau saya ikut
merokok saya rasanya berat karena merokok sama dengan membakar uang
sia-sia karena rokok itu bukanlah makanan, bukan minuman dan bukan pula
termasuk obat-obatan, dengan kata lain orang yang membeli rokok sangat
pas disebut orang safeh.”
KHA : “Oh ya kang, aku sadar. Mulai saat ini saksikanlah bahwa mulai
hari ini aku berhenti merokok dan sampai seterusnya.” Wallahu A`lam
--= =--
KAROMAH - KAROMAH MBAH AMIR
Mbah Amir sebagai salah seorang hamba
Alah yang memiliki banyak kelebihan dibanding dengan yang lain. Beliau
alim, amil, mukhlis dan mustaqim, beliau zuhud dan wira`i, ibadahnya
sangat kuat sehingga wajar dan layak kalau sifat-sifatnya yang baik itu
membuahkan banyak karomah. Karomah beliau sungguh amat banyak sekali,
mohon maaf kalau penulis tidak mampu mencatat karomah-karomahnya Mbah
Amir kesemuanya, penulis hanya akan mencatat sebagian saja sebatas yang
penulis terima dari penuturan murid-muridnya, khadamnya, anak-anak dan
keluarganya. Inilah diantara karomah-karomah Mbah Amir itu.
(1). Listrik Bergoyang Sendiri Agaknya benar apa yang dikatakan oleh Syekh Abdul Qodir Al-Jailani bahwa bisa saja tahun, bulan, minggu maupun hari itu memberi tahu kepada wali (kekasih Allah) tentang apa-apa yang akan terjadi dalam masa-masa itu. Begitulah rupanya hal yang terjadi pada diri Mbah Amir, beliau sepertinya mengerti tentang diri santrinya yang tidak kerasan pada awal-awal ia datang di Pondok Pesantrennya, penulis pernah mendengar cerita Simbah KH. Muhammadun ketika beberapa hari mukim di Pondoknya Mbah Amir, beliau pada waktu itu sangat tidak kerasan, pikirannya selalu pusing dan ingin cepat pulang kembali ke kampung halaman, apa yang dirasakan Simbah KH. Muhammadun, Mbah Amir mengerti karena diberi tahu oleh lampu listrik yang memberi tahu dengan bahasa isyaratnya, lampu listrik di kamar Mbah Madun mukim selalu bergoyang-goyang meskipun tidak ada angin dan tidak tersentuh orang. Akhirnya KH. Manshur dari Jekul Kudus yang juga teman Mbah Madun soan menghadap Mbah Amir sekaligus memberi tahu tentang lampu listrik yang selalu bergoyang di kamarnya itu, kemudian Mbah Amir itu berkata : “Itu karena Muhammadun tidak kerasan mondok di sini, coba dia panggil dan suruh menghadap saya”. Demikian perintah Mbah Amir kepada santrinya Manshur. Setelah Muhammadun diberi nasehat dan dido`akan oleh Mbah Amir akhirnya dia kerasan dan anehnya setelah Muhammadun kerasan lampu listri pun menjadi berhenti bergoyang dan tenang kembali seperti biasa.
(2). Bau Wali Ketika penulis masih mesantren di Pondoan (tahun 1973-1977) penulis bersama santri-santri yang lain mendengar cerita dari Si Mbah Muhammadun bahwa pernah pada suatu hari Mbah Amir berdiri di depan rumahnya dipinggir jalan, ketika istrinya bertanya : “Kenapa berdiri terus dipinggir jalan? Jawabnya : “Saya sedang menunggu seorang wali dari kudus yaitu Mbah Yasin dan Mbah Sanusi”. Ketika istrinya bertanya lagi : “Dari mana sampean mengerti bahwa mereka akan datang hari ini?” Mbah Amir hanya tersenyum, rupanya hari yang datang di hari itulah yang bercerita kepada beliau karena saat itu belum ada telepon dan tidak ada orang yang memberi tahu termasuk tamunya yang akan datang juga tidak memberi tahu terlebih dahulu Tidak berapa lama munculah kedua tamu yang ditunggu-tunggu beliau yang tidak lain adalah Mbah Sanusi dan Mbah Yasin itu. Kedua tamu beliau pun merasa heran kenapa Mbah Amir tahu bahwa mereka akan datang, lebih heran lagi ketika Mbah Amir berkata : KHA : “Kok lama sekali panjenengan ziarah ke Makam Habib Muhammad Kendal?” Tamu : “Kok Kyai mengerti kalau kami baru saja ziarah ke Makam Habib Muh?” KHA : “Ya taulah” Tamu : “Darimana Kyai tahu?” KHA : “Dari baunya, bau sampean berdua ini persis baunya Habib Muhammad Kendal?” Tamu : “Apakah beda Kyai baunya para wali itu?” KHA : “Ya jelas beda.” Dari dialog ini kedua tamu itu mengerti bahwa betapa luar biasanya karomah Mbah Amir itu. Wallahu a`lam.
(3). Mesin Sepur Tidak Bisa Jalan Seorang khadam Mbah Amir bernama Irfan bertutur kepada penulis bahwa pada suatu hari Mbah Amir mau melakukan perjalanan ke Cirebon dengan diantar oleh khadamnya yang bernama Irfan tadi. Sebagaimana biasa Mbah Amir senang naik kereta api yang berangkat pagi jam 9, sebagaimana biasa pula setelah membeli karcis Mbah Amir berwudhu dulu kemudian shalat dhuha dan berdo`a lama sekali di mushola Stasiun Pekalongan hingga melebihi jam 9. Anehnya meskipun mesin sepur dalam kondisi baik, tidak ada yang rusak bahkan mesinnya sudah dihidupkan dan gigi sudah masuk, gas pun sudah diinjak hingga mengeluarkan suara gemuruh, tapi sepur tidak bisa berjalan hingga masinis dan semua penumpang merasa heran, anehnya setelah Mbah Amir selesai berdo`a dan beliau naik dan duduk barulah kereta bisa berjalan sebagaimana biasanya hingga MbahAmir sampai ke tempat tujuan. Wallahu a`lam.
(4). Jalan Sepanjang Kurang Lebih 3 KM Dibersihkan Sebagaimana biasa masyarakat Losari Lor, Pengabean dan Lumpur terutama kaum ibunya setiap pagi biasanya menyapu dan merapikan pelataran depan rumahnya sendiri tetapi tidak sampai membersihkan badan jalan. Anehnya setiap Mbah Amir akan berkunjung ke rumah orang tuanya dan saudara-saudaranya yang di Lumpur orang-orang yang rumahnya berada di tepi jalan dari Losari sampai Lumpur mereka tidak hanya membersihkan halaman rumah sendiri saja akan tetapi hampir semuanya membersihkan jalan yang akan dilewati Mbah Amir, seakan-akan mereka sudah diberitahu atau sudah mengerti bahwa Mbah Amir akan lewat di jalan yang mereka bersihkan itu. Setelah mereka selesai membersihkan jalan, tidak berapa lama Mbah Amir pun turun dari kendaraan dan berjalan menuju Lumpur, cerita ini penulis menerimanya dari sesepuh Lumpur. Wallahu a`lam
(5). Suara Tanpa Rupa Di saat Mbah Amir masih mengaji di Mekah yaitu pada Syaikh Mahfudz At-Tarmasi dan uama-ulama Mekah lainnya beliau pernah menegur salah seorang temannya yang selalu bikin gara-gara sehingga mengganggu beliau dan teman-teman yang lain. Ternyata teman yang mendapat teguran Mbah Amir itu merasa tersinggung, dia marah besar dan tidak bisa menahan emosi, dia pergi ke dapur dan diambilnya sebilah golok yang panjang lalu mencari Mbah Amir di kamarnya. Saat ia datang di kamar Mbah Amir, Mbah Amir tengah muthola`ah kitab karangan gurunya sambil duduk menghadap kiblat. Teman yang sedang kalap itu melihat Mbah Amir sedang duduk maka tidak pikir panjang lagi langsung membacok tubuh Mbah Amir dengan goloknya tetapi anehnya Mbah Amir saat itu tubuhnya tiba-tiba tidak bisa dilihat oleh dia, golok pun diayunkan ke kanan dan ke kiri tetap tidak mengenai sasaran, setiap kali temannya berteriak memanggil-manggil nama beliau, beliau selalu menjawabnya di tempat yang berbeda-beda, kadang di pojok timur, kadang di pojok barat dan seterusnya. Diapun tidak berhasil melukai Mbah Amir meskipun sebenarnya Mbah Amir masih tetap duduk dan bermuthola`ah di kamarnya Cerita ini penulis menerimanya dari Kyai Mahmud dari ayahnya Kyai Dawud yang mesantren bareng dengan Mbah Amir di Mekah. Wallahu a`lam.
(6). Penakluk Kejahatan Diantara sekian ratus santri Mbah Amir ada dua santri yang ditugas memberantas penjahat, mereka adalah Abdul Hanan dari Pengabean Losari dan Balya dari Tegalgubug Lor Arjawinangun. Konon pada tengah malam dua santri ini menyisir sarang-sarang penjahat di wilayah kecamatan Buaran Pekalongan, setelah penyisiran sampai di Banyu Urip mereka berdua tiba-tiba mendengar suara hiruk pikuk anak-anak muda yang jumlahnya mencapai ratusan di dalam sebuah gudang yang cukup besar tetapi terkunci mereka berdua segera mengetuk pintu gerbang gudang itu. Pintu pun segera dibuka oleh seorang laki-laki yang bertubuh kekar dengan kedua matanya yang sipit, rupanya orang inilah yang tengah melatih pemuda-pemuda cina belajar Kungfu H & B : “Mau beli gula dan kopi Bah, ada nggak disini?” GK : “Aneh-aneh saja kalian, gudang ini kan tempat latihan kungfu, bukan toko kopi. Kenapa kalian kesini?” H&B : “Oh ya, tapi itu kungfunya jelek sekali Bah, masih bagus kungfu saya. Silahkan saja dicoba kalau Babah penasaran.” GK : “Sebelum percobaan kungfu kamu dan kungfu saya, saya ingin memperlihatkan kehebatan saya dulu kepada kalian” (Lalu cina bertubuh kekar dan bermata sipit itu menyuruh anak didiknya untuk mengambil lesung yang di isi gabah, oleh laki-laki itu gabah yang ada di lesung itu ditumbuknya hanya dengan jari-jari tangannya hingga gabah itu remuk menjadi beras semua. Hanan dan Balya merasa kagum akan kehebatan laki-laki itu tapi dia pantang mundur karena tekadnya sudah kuat untuk memberantas kejahatan) H&B : “Bah! Itu sih kecil, kalau Babah bisa menghancurkan batu baru Babah bisa menandingi ilmu saya” GK : “Ah sombong kalian, mari kita langsung bertanding saja sekarang.” Hanan & Balya segera berdo`a kepada Allah mohon diberi kemenangan dengan bertawasul Mbah Amir. Ketika mulut mereka masih membaca wirid tiba-tiba laki-laki kekar itu melesat ke udara hingga mencapai ujung pohon pisang yang paling atas, sampai mereka berdua merasa ngeri terhadap kehebatan guru kungfu itu, tetapi mereka tidak gentar, mereka tetap maju terus pantang mundur. Hanan menyuruh kepada Balya agar Balya yang maju lebih dulu. Balya pun segera maju dan ketika guru kungfu itu hampir menginjakkan kakinya di bumi, Balya langsung dengan cepat menyambar jempol kaki guru kungfu itu lalu diputar-putar di udara terus hingga berpuluh kali putaran, guru kungfu pun tak berdaya melepaskan diri dari pegangan jari-jari Balya yang sangat kuat, setelah menurut perhitungan guru kungfu sudah mengalami pusing berat, Balya membenturkan kepala guru kungfu itu ke tembok gudang hingga ia menemui ajal dan ratusan muridnya yang suka membuat onar itu lari dan meninggalkan daerah buaran untuk selamanya. Penulis menerima riwayat ini dari sesepuh desa Pengabean yang pernah mesantren di Simbang Kulon. Wallahu A'lam
(7). Mbah Amir Jadi Dua Di daerah pasar minggu Palimanan Cirebon ada ulama besar bernama KH. Masduki, beliau terkenal faqih dan qori. Ketika Kyai ini wafat Mbah Amir datang berta`ziyah disertai beberapa orang santrinya. Pada jam yang telah ditentukan oleh keluarga mayit shalat jenazah pun dilaksanakan dengan imamnya yaitu Mbah Amir sendiri. Seusai berta`ziyah Mbah Amir pun kembali pulang bersama rombongan, setelah sampai di Simbang Mbah Amir masuk rumah sendiri dan santri yang ikut barsama beliau juga kembali berkumpul di pondok dengan santri-santri lain yang tidak ikut (YTI) YTI : “Darimana saja kamu, kok tidak ikut pengajian siang?” YI : “Saya habis pergi bersama Mbah ke Palimanan.” YTI : “Untuk keperluan apa?” YI : “Berta`ziyah pada keluarga Mbah Masduki dan Mbah Amir yang mengimami Shalat jenazahnya” YTI : “Ah yang benar, jangan bohong kamu, Mbah itu tidak kemana-mana hari ini, beliau tetap mengajar, kalau tidak percaya tanya teman-teman dan lihat pula afsahan saya, ini hasil afsahan dari Mbah.” YI : “Ah, justru kamu yang bohong, mana mungkin Mbah mengajar, orang siang ini Mbah mengimami Shalat jenazah di Palimanan.” YTI : “Kalau begitu mari kita menghadap bersama ke Mbah.” Setelah Mbah Amir mendengar dari kedua kelompok santrinya, yakni kelompok santri yang ikut shalat jenazah di Palimanan dan kelompok santri yang mengaji di pondok, maka Mbah Amir kemudian berkata : “Oh, kalau begitu ajal saya sudah dekat, kalian harus bisa menyimpan rahasia ini, jangan sekali-kali kalian menceritakan rahasia ini sebelum aku meninggal”. Cerita ini rowinya mutawatir, penulis menerimanya dari banyak sumber.Wallu A'lam.
(8). Cincin Nyaris Tidak Bisa Dilepas Nyai Zubaidah binti Nyai Sabatani bercerita kepada penulis sebagai berikut : “Pada tanggal 11 Robi`ul Awal tahun 1356 H. / 1939 M. Mbah Amir dipanggil oleh penciptanya, ribuan orang pun datang malayad jenazahnya, ketika beliau akan dimandikan ada cincin yang tidak bisa dilepas dari jari beliau. Dokterpun didatangkan tetapi juga tidak mampu melepasnya, akhirnya datanglah adik Mbah Amir yang paling dicintai beliau yaitu Ny. Sabatani, ternyata Ny. Sabatani dapat melepas cincin itu dari jari Mbah Amir dengan mudah tanpa menggunakan alat apapun, Mbah Amir pun segera dimandikan di pemakaman desa Banyu Urip. Wallahu a`lam
(9). Matahari Menangis Syaikhuna Si Mbah KH. Muhammadun pernah bercerita bahwa setelah Mbah Amir diketahui wafat maka ribuan kaum muslimin melayad jenazahnya termasuk santri-santrinya yang dari luar daerah Pekalongan, mereka semua menjadi saksi bahwa Mbah Amir wafat di musim kemarau, musim yang jarang ada curah hujan, tetapi anehnya pada saat itu matahari hanya sedikit mengeluarkan sinar, itupun sangat redup, hujan pun turun rintik-rintik, seluruh jam yang ada di Pekalongan ikut mati tidak ada yang hidup, seakan alam ini meratap karena kehilangan penghuninya yang amat saleh dan berjasa besar terhadap agama dan umat. Peristiwa ini penulis mendengarnya langsung dari Si Mbah KH. Muhammadun Al-Maghfurlah saat beliau mengisi pengajian pada acara Haul Mbah Amir. Wallahu a`lam.
(10). Ru`yah Maju Sebagaimana di maklumi bahwa Mbah Amir menikah empat kali secara berurutan, pertama dengan Nyai Sukainah binti KH. Sa`id Gedongan Cirebon, kedua dengan Raden Ajeng Zahro binti Mbah KH. Shaleh Darat Semarang, ketiga dengan Nyai Sa`diyah binti KH. Sulaiman Semarang, Keempat dengan Nyai Sa`adah binti KH. Amin Benda Kerep Cirebon. Pernikahan Mbah Amir dengan Nyai Sukainah tidak berjalan lama, karena beliau tiba-tiba dipanggil gurunya Syekh Mahfudz At-Tarmasi ke Mekah untuk dinikahkan dengan Ny. RA. Zahro Semarang, sebelum menikah Syekh Mahfudz dengan segala hormat dan kerendahan hati mohon kepada Kyai Sa`id agar Mbah Amir diberi izin mencerai Nyai Sukainah, Kyai Sa`id pun merestuinya. Konon selama Mbah Amir masih di Gedongan beliau menjadi salah satu menantu Kyai Sa`id yang paling dicintai, karena disamping orangnya gagah, alim, adib juga banyak memiliki keanehan (karomah) Pada suatu saat menjelang bulan ramadhan hampir seluruh kalender yang terbit pada masa itu sudah memastikan bahwa tanggal satu bulan Ramadhan akan jatuh pada hari yang sudah ditentukan oleh kalender-kalender tersebut, umpamanya saja menurut mereka satu Ramadhan akan jatuh pada hari Ahad, tetapi Mbah Amir dengan tegas menolak pendapat mereka, menurut beliau awal Ramadhan akan jatuh pada hari sebelumnya yaitu hari Sabtu, pendapat Mbah Amir ini memancing keinginan mereka untuk menemui beliau, ketika beliau didesak mereka tentang dasar yang beliau pegangi beliau hanya menjawab insya Allah pendapat saya benar, kalau kurang percaya buktikan saja nanti, sebaiknya kita bareng-bareng saja berusaha melihat hilal pada sore sabtu, supaya kita tidak terlalu lama berdebat. Anehnya ketika hari yang ditentukan itu tiba dan semuanya sudah berada di tempat strategis untuk melihat hilal secara langsung dengan mata kepala mereka sendiri hilal pun muncul dan mereka semua dapat melihatnya dengan jelas, jadi pada tahun itu hilal maju satu hari menurut kesepakatan para ahli hisab. Wallahu a`lam.
(1). Listrik Bergoyang Sendiri Agaknya benar apa yang dikatakan oleh Syekh Abdul Qodir Al-Jailani bahwa bisa saja tahun, bulan, minggu maupun hari itu memberi tahu kepada wali (kekasih Allah) tentang apa-apa yang akan terjadi dalam masa-masa itu. Begitulah rupanya hal yang terjadi pada diri Mbah Amir, beliau sepertinya mengerti tentang diri santrinya yang tidak kerasan pada awal-awal ia datang di Pondok Pesantrennya, penulis pernah mendengar cerita Simbah KH. Muhammadun ketika beberapa hari mukim di Pondoknya Mbah Amir, beliau pada waktu itu sangat tidak kerasan, pikirannya selalu pusing dan ingin cepat pulang kembali ke kampung halaman, apa yang dirasakan Simbah KH. Muhammadun, Mbah Amir mengerti karena diberi tahu oleh lampu listrik yang memberi tahu dengan bahasa isyaratnya, lampu listrik di kamar Mbah Madun mukim selalu bergoyang-goyang meskipun tidak ada angin dan tidak tersentuh orang. Akhirnya KH. Manshur dari Jekul Kudus yang juga teman Mbah Madun soan menghadap Mbah Amir sekaligus memberi tahu tentang lampu listrik yang selalu bergoyang di kamarnya itu, kemudian Mbah Amir itu berkata : “Itu karena Muhammadun tidak kerasan mondok di sini, coba dia panggil dan suruh menghadap saya”. Demikian perintah Mbah Amir kepada santrinya Manshur. Setelah Muhammadun diberi nasehat dan dido`akan oleh Mbah Amir akhirnya dia kerasan dan anehnya setelah Muhammadun kerasan lampu listri pun menjadi berhenti bergoyang dan tenang kembali seperti biasa.
(2). Bau Wali Ketika penulis masih mesantren di Pondoan (tahun 1973-1977) penulis bersama santri-santri yang lain mendengar cerita dari Si Mbah Muhammadun bahwa pernah pada suatu hari Mbah Amir berdiri di depan rumahnya dipinggir jalan, ketika istrinya bertanya : “Kenapa berdiri terus dipinggir jalan? Jawabnya : “Saya sedang menunggu seorang wali dari kudus yaitu Mbah Yasin dan Mbah Sanusi”. Ketika istrinya bertanya lagi : “Dari mana sampean mengerti bahwa mereka akan datang hari ini?” Mbah Amir hanya tersenyum, rupanya hari yang datang di hari itulah yang bercerita kepada beliau karena saat itu belum ada telepon dan tidak ada orang yang memberi tahu termasuk tamunya yang akan datang juga tidak memberi tahu terlebih dahulu Tidak berapa lama munculah kedua tamu yang ditunggu-tunggu beliau yang tidak lain adalah Mbah Sanusi dan Mbah Yasin itu. Kedua tamu beliau pun merasa heran kenapa Mbah Amir tahu bahwa mereka akan datang, lebih heran lagi ketika Mbah Amir berkata : KHA : “Kok lama sekali panjenengan ziarah ke Makam Habib Muhammad Kendal?” Tamu : “Kok Kyai mengerti kalau kami baru saja ziarah ke Makam Habib Muh?” KHA : “Ya taulah” Tamu : “Darimana Kyai tahu?” KHA : “Dari baunya, bau sampean berdua ini persis baunya Habib Muhammad Kendal?” Tamu : “Apakah beda Kyai baunya para wali itu?” KHA : “Ya jelas beda.” Dari dialog ini kedua tamu itu mengerti bahwa betapa luar biasanya karomah Mbah Amir itu. Wallahu a`lam.
(3). Mesin Sepur Tidak Bisa Jalan Seorang khadam Mbah Amir bernama Irfan bertutur kepada penulis bahwa pada suatu hari Mbah Amir mau melakukan perjalanan ke Cirebon dengan diantar oleh khadamnya yang bernama Irfan tadi. Sebagaimana biasa Mbah Amir senang naik kereta api yang berangkat pagi jam 9, sebagaimana biasa pula setelah membeli karcis Mbah Amir berwudhu dulu kemudian shalat dhuha dan berdo`a lama sekali di mushola Stasiun Pekalongan hingga melebihi jam 9. Anehnya meskipun mesin sepur dalam kondisi baik, tidak ada yang rusak bahkan mesinnya sudah dihidupkan dan gigi sudah masuk, gas pun sudah diinjak hingga mengeluarkan suara gemuruh, tapi sepur tidak bisa berjalan hingga masinis dan semua penumpang merasa heran, anehnya setelah Mbah Amir selesai berdo`a dan beliau naik dan duduk barulah kereta bisa berjalan sebagaimana biasanya hingga MbahAmir sampai ke tempat tujuan. Wallahu a`lam.
(4). Jalan Sepanjang Kurang Lebih 3 KM Dibersihkan Sebagaimana biasa masyarakat Losari Lor, Pengabean dan Lumpur terutama kaum ibunya setiap pagi biasanya menyapu dan merapikan pelataran depan rumahnya sendiri tetapi tidak sampai membersihkan badan jalan. Anehnya setiap Mbah Amir akan berkunjung ke rumah orang tuanya dan saudara-saudaranya yang di Lumpur orang-orang yang rumahnya berada di tepi jalan dari Losari sampai Lumpur mereka tidak hanya membersihkan halaman rumah sendiri saja akan tetapi hampir semuanya membersihkan jalan yang akan dilewati Mbah Amir, seakan-akan mereka sudah diberitahu atau sudah mengerti bahwa Mbah Amir akan lewat di jalan yang mereka bersihkan itu. Setelah mereka selesai membersihkan jalan, tidak berapa lama Mbah Amir pun turun dari kendaraan dan berjalan menuju Lumpur, cerita ini penulis menerimanya dari sesepuh Lumpur. Wallahu a`lam
(5). Suara Tanpa Rupa Di saat Mbah Amir masih mengaji di Mekah yaitu pada Syaikh Mahfudz At-Tarmasi dan uama-ulama Mekah lainnya beliau pernah menegur salah seorang temannya yang selalu bikin gara-gara sehingga mengganggu beliau dan teman-teman yang lain. Ternyata teman yang mendapat teguran Mbah Amir itu merasa tersinggung, dia marah besar dan tidak bisa menahan emosi, dia pergi ke dapur dan diambilnya sebilah golok yang panjang lalu mencari Mbah Amir di kamarnya. Saat ia datang di kamar Mbah Amir, Mbah Amir tengah muthola`ah kitab karangan gurunya sambil duduk menghadap kiblat. Teman yang sedang kalap itu melihat Mbah Amir sedang duduk maka tidak pikir panjang lagi langsung membacok tubuh Mbah Amir dengan goloknya tetapi anehnya Mbah Amir saat itu tubuhnya tiba-tiba tidak bisa dilihat oleh dia, golok pun diayunkan ke kanan dan ke kiri tetap tidak mengenai sasaran, setiap kali temannya berteriak memanggil-manggil nama beliau, beliau selalu menjawabnya di tempat yang berbeda-beda, kadang di pojok timur, kadang di pojok barat dan seterusnya. Diapun tidak berhasil melukai Mbah Amir meskipun sebenarnya Mbah Amir masih tetap duduk dan bermuthola`ah di kamarnya Cerita ini penulis menerimanya dari Kyai Mahmud dari ayahnya Kyai Dawud yang mesantren bareng dengan Mbah Amir di Mekah. Wallahu a`lam.
(6). Penakluk Kejahatan Diantara sekian ratus santri Mbah Amir ada dua santri yang ditugas memberantas penjahat, mereka adalah Abdul Hanan dari Pengabean Losari dan Balya dari Tegalgubug Lor Arjawinangun. Konon pada tengah malam dua santri ini menyisir sarang-sarang penjahat di wilayah kecamatan Buaran Pekalongan, setelah penyisiran sampai di Banyu Urip mereka berdua tiba-tiba mendengar suara hiruk pikuk anak-anak muda yang jumlahnya mencapai ratusan di dalam sebuah gudang yang cukup besar tetapi terkunci mereka berdua segera mengetuk pintu gerbang gudang itu. Pintu pun segera dibuka oleh seorang laki-laki yang bertubuh kekar dengan kedua matanya yang sipit, rupanya orang inilah yang tengah melatih pemuda-pemuda cina belajar Kungfu H & B : “Mau beli gula dan kopi Bah, ada nggak disini?” GK : “Aneh-aneh saja kalian, gudang ini kan tempat latihan kungfu, bukan toko kopi. Kenapa kalian kesini?” H&B : “Oh ya, tapi itu kungfunya jelek sekali Bah, masih bagus kungfu saya. Silahkan saja dicoba kalau Babah penasaran.” GK : “Sebelum percobaan kungfu kamu dan kungfu saya, saya ingin memperlihatkan kehebatan saya dulu kepada kalian” (Lalu cina bertubuh kekar dan bermata sipit itu menyuruh anak didiknya untuk mengambil lesung yang di isi gabah, oleh laki-laki itu gabah yang ada di lesung itu ditumbuknya hanya dengan jari-jari tangannya hingga gabah itu remuk menjadi beras semua. Hanan dan Balya merasa kagum akan kehebatan laki-laki itu tapi dia pantang mundur karena tekadnya sudah kuat untuk memberantas kejahatan) H&B : “Bah! Itu sih kecil, kalau Babah bisa menghancurkan batu baru Babah bisa menandingi ilmu saya” GK : “Ah sombong kalian, mari kita langsung bertanding saja sekarang.” Hanan & Balya segera berdo`a kepada Allah mohon diberi kemenangan dengan bertawasul Mbah Amir. Ketika mulut mereka masih membaca wirid tiba-tiba laki-laki kekar itu melesat ke udara hingga mencapai ujung pohon pisang yang paling atas, sampai mereka berdua merasa ngeri terhadap kehebatan guru kungfu itu, tetapi mereka tidak gentar, mereka tetap maju terus pantang mundur. Hanan menyuruh kepada Balya agar Balya yang maju lebih dulu. Balya pun segera maju dan ketika guru kungfu itu hampir menginjakkan kakinya di bumi, Balya langsung dengan cepat menyambar jempol kaki guru kungfu itu lalu diputar-putar di udara terus hingga berpuluh kali putaran, guru kungfu pun tak berdaya melepaskan diri dari pegangan jari-jari Balya yang sangat kuat, setelah menurut perhitungan guru kungfu sudah mengalami pusing berat, Balya membenturkan kepala guru kungfu itu ke tembok gudang hingga ia menemui ajal dan ratusan muridnya yang suka membuat onar itu lari dan meninggalkan daerah buaran untuk selamanya. Penulis menerima riwayat ini dari sesepuh desa Pengabean yang pernah mesantren di Simbang Kulon. Wallahu A'lam
(7). Mbah Amir Jadi Dua Di daerah pasar minggu Palimanan Cirebon ada ulama besar bernama KH. Masduki, beliau terkenal faqih dan qori. Ketika Kyai ini wafat Mbah Amir datang berta`ziyah disertai beberapa orang santrinya. Pada jam yang telah ditentukan oleh keluarga mayit shalat jenazah pun dilaksanakan dengan imamnya yaitu Mbah Amir sendiri. Seusai berta`ziyah Mbah Amir pun kembali pulang bersama rombongan, setelah sampai di Simbang Mbah Amir masuk rumah sendiri dan santri yang ikut barsama beliau juga kembali berkumpul di pondok dengan santri-santri lain yang tidak ikut (YTI) YTI : “Darimana saja kamu, kok tidak ikut pengajian siang?” YI : “Saya habis pergi bersama Mbah ke Palimanan.” YTI : “Untuk keperluan apa?” YI : “Berta`ziyah pada keluarga Mbah Masduki dan Mbah Amir yang mengimami Shalat jenazahnya” YTI : “Ah yang benar, jangan bohong kamu, Mbah itu tidak kemana-mana hari ini, beliau tetap mengajar, kalau tidak percaya tanya teman-teman dan lihat pula afsahan saya, ini hasil afsahan dari Mbah.” YI : “Ah, justru kamu yang bohong, mana mungkin Mbah mengajar, orang siang ini Mbah mengimami Shalat jenazah di Palimanan.” YTI : “Kalau begitu mari kita menghadap bersama ke Mbah.” Setelah Mbah Amir mendengar dari kedua kelompok santrinya, yakni kelompok santri yang ikut shalat jenazah di Palimanan dan kelompok santri yang mengaji di pondok, maka Mbah Amir kemudian berkata : “Oh, kalau begitu ajal saya sudah dekat, kalian harus bisa menyimpan rahasia ini, jangan sekali-kali kalian menceritakan rahasia ini sebelum aku meninggal”. Cerita ini rowinya mutawatir, penulis menerimanya dari banyak sumber.Wallu A'lam.
(8). Cincin Nyaris Tidak Bisa Dilepas Nyai Zubaidah binti Nyai Sabatani bercerita kepada penulis sebagai berikut : “Pada tanggal 11 Robi`ul Awal tahun 1356 H. / 1939 M. Mbah Amir dipanggil oleh penciptanya, ribuan orang pun datang malayad jenazahnya, ketika beliau akan dimandikan ada cincin yang tidak bisa dilepas dari jari beliau. Dokterpun didatangkan tetapi juga tidak mampu melepasnya, akhirnya datanglah adik Mbah Amir yang paling dicintai beliau yaitu Ny. Sabatani, ternyata Ny. Sabatani dapat melepas cincin itu dari jari Mbah Amir dengan mudah tanpa menggunakan alat apapun, Mbah Amir pun segera dimandikan di pemakaman desa Banyu Urip. Wallahu a`lam
(9). Matahari Menangis Syaikhuna Si Mbah KH. Muhammadun pernah bercerita bahwa setelah Mbah Amir diketahui wafat maka ribuan kaum muslimin melayad jenazahnya termasuk santri-santrinya yang dari luar daerah Pekalongan, mereka semua menjadi saksi bahwa Mbah Amir wafat di musim kemarau, musim yang jarang ada curah hujan, tetapi anehnya pada saat itu matahari hanya sedikit mengeluarkan sinar, itupun sangat redup, hujan pun turun rintik-rintik, seluruh jam yang ada di Pekalongan ikut mati tidak ada yang hidup, seakan alam ini meratap karena kehilangan penghuninya yang amat saleh dan berjasa besar terhadap agama dan umat. Peristiwa ini penulis mendengarnya langsung dari Si Mbah KH. Muhammadun Al-Maghfurlah saat beliau mengisi pengajian pada acara Haul Mbah Amir. Wallahu a`lam.
(10). Ru`yah Maju Sebagaimana di maklumi bahwa Mbah Amir menikah empat kali secara berurutan, pertama dengan Nyai Sukainah binti KH. Sa`id Gedongan Cirebon, kedua dengan Raden Ajeng Zahro binti Mbah KH. Shaleh Darat Semarang, ketiga dengan Nyai Sa`diyah binti KH. Sulaiman Semarang, Keempat dengan Nyai Sa`adah binti KH. Amin Benda Kerep Cirebon. Pernikahan Mbah Amir dengan Nyai Sukainah tidak berjalan lama, karena beliau tiba-tiba dipanggil gurunya Syekh Mahfudz At-Tarmasi ke Mekah untuk dinikahkan dengan Ny. RA. Zahro Semarang, sebelum menikah Syekh Mahfudz dengan segala hormat dan kerendahan hati mohon kepada Kyai Sa`id agar Mbah Amir diberi izin mencerai Nyai Sukainah, Kyai Sa`id pun merestuinya. Konon selama Mbah Amir masih di Gedongan beliau menjadi salah satu menantu Kyai Sa`id yang paling dicintai, karena disamping orangnya gagah, alim, adib juga banyak memiliki keanehan (karomah) Pada suatu saat menjelang bulan ramadhan hampir seluruh kalender yang terbit pada masa itu sudah memastikan bahwa tanggal satu bulan Ramadhan akan jatuh pada hari yang sudah ditentukan oleh kalender-kalender tersebut, umpamanya saja menurut mereka satu Ramadhan akan jatuh pada hari Ahad, tetapi Mbah Amir dengan tegas menolak pendapat mereka, menurut beliau awal Ramadhan akan jatuh pada hari sebelumnya yaitu hari Sabtu, pendapat Mbah Amir ini memancing keinginan mereka untuk menemui beliau, ketika beliau didesak mereka tentang dasar yang beliau pegangi beliau hanya menjawab insya Allah pendapat saya benar, kalau kurang percaya buktikan saja nanti, sebaiknya kita bareng-bareng saja berusaha melihat hilal pada sore sabtu, supaya kita tidak terlalu lama berdebat. Anehnya ketika hari yang ditentukan itu tiba dan semuanya sudah berada di tempat strategis untuk melihat hilal secara langsung dengan mata kepala mereka sendiri hilal pun muncul dan mereka semua dapat melihatnya dengan jelas, jadi pada tahun itu hilal maju satu hari menurut kesepakatan para ahli hisab. Wallahu a`lam.
--= =--
KETURUNAN MBAH IDRIS YANG BERPRESTASI
1. KH. Umar bin Idris - Pengabean - Losari. Mursyid Tarekat Qodiriyah Naqsyabandiyah
2. KH. Amir bin Idris - Simbng Kulon - Pekalongan.Pusat Mujiz Dalailul Khoirot dan
Perintis Simbang - Pekalongan
3. M. Alawi - Cipinang - Jakarta. Dubes RI di Afganistan
4. Izzurrohman - Capgawen - Pekalongan. Pemangku Pesantren dan Tabib Masyhur
5. Muhammad - Bogor. Wartawan Istana Pres Sukarno
6. KH. Amir Idris bin Amir Idris - Wonopringgo - Pekalongan. Pengasuh Majlis Ta'lim
7. KH. Muhammadun Jundi - Kranji - Pekalongan. Basis Pengasuh Majlis Ta'lim, Khatib
dan Imam
8. KH. Ahmad bin Mas'ud - Benda Kerep - Cirebon. Pemangku Pesantren
9. Kyai. Mishbah bin Mu'tiyah - Lumpur - Losari. Pengasuh Majlis Ta'lim
10. Kyai. Idris bin Mu'tiyah - Limbangan - Losari. Pengasuh PP. Al-Muhajirin
11. Kyai Moh Muslih Bin Kyai Idris Limbangan -Losari - pengasuh PP Murottilil Qur'an AL-Muhajirin
12. Kyai Abu Bakar - Lumpur - Losari. Tabib Penyakit Gila
13. KH. Munawir bin Murtiyah - Ambulu - Losari. Pemangku PP. An-Nur
14. H. Mas'ud - Lumpur - Losari. Kepala MI Darul Ulum
15. Dr. Taufiq Mulyanto bin Alwi - Bandung. Dosen ITB
16. Rahmat bin Amin - Podo - Pekalongan. Kepala KUA
17. KH. Yusuf Hasyim bin Ruqoyah -Lumpur - Losari. Pengasuh Majlis Ta'lim Al-Athas
18. Drs. H. Ma'mun bin Fatimah - Jogja. Dekan Fakultas Adab IAIN SKJ dan Team
Penyusun Manasik Haji Depag
19. KH. Masykur bin Fatimah - Pandanaran- Jogja. Pemangku Pesantren
20. Drs. H. Badawi -Gintung - Cirebon -Pengasuh Majlis Ta'lim
21. Zakiyah binti Aminah - Cikancas - Kuningan -Pengasuh Majlis Ta'lim dan
Madrasah Al-Hidayah
22. KH. Abdul Ghofur bin Ramsiyah - Lumpur - Losari - Pemangku PP. Yanbu'ul 'Ulum
23. KH. Abdul Karim bin Ramsiyah -Sengon - Tanjung - Pemangku PP. Al-Bukhori
24. KH. Hudallah - Sengon - Tanjung - Pengasuh PP. Al-Bukhori Generasi ke 2
25. Ulin Nuha binti Abdul Karim - Sengon - Tanjung -Pengauh Majlis Ta'lim Al-Aniq
26. K. Abdurrosyid bin Ramsiyah - Menguneng - Batang-Pemangku PP. Al-Hidayah
27. KH. Abdul Hadi bin Ramsiyah - Kaliwulu - Cirebon-Pemangku PP. Al-Istiqomah
28. KH. Abdul Halim bin Ramsiyah - Lumpur - Losari-Pemangku PP. Yanbu'ul 'Ulum
29. Aliyah binti Ramsiyah - Lumpur - Losari-Pemangku PP. Tahfidzul Qur'an
30. H. Sa'diyah binti Zubaidah - Lumpur - Losari-Pengasuh Majlis Ta'lim An-Nahdhiyah
31. KH. Faqih bin Sukainah -Limbangan - Losari-Pemangku Pesantren Al-Kadnawi
32. Qomaruddin bin Zaenab -Kramat - Losari-Pengasuh Majlis Ta'lim Al-Fadlil
33. Hariri bin Kemah - Prapag Kidul - Losari-Kepala MTs Darul Ulum Ketua Cabang NU
dan MUI
34. Dr. Masyhudi - Pecangakan - Jepara-Dosen UNU Jepara
35. H. Rifa'i bin Enah -Purwogondo - Kepala KUA Mayong
36. KH.Manshur Lumpur - Losari-Jepara-Kepala MI Al-Ikhlas &
Rois Suryah MWC NU Losari
37. Drs. KH. Asy'ari - Pecangaan - Jepara-Pemangku Pesantren dan Dosen UNU Jepara
38. H. Mahfud bin Rahmah-Lumpur - Losari-Kepala Yayasan Darul Ulum
39. M. Dawud bin Hasanah-Lumpur - Losari-KEDUBES RI di Syria
40. K. Mahmud bin Hasanah-Lumpur - Losari-Pemangku PP. Yanbu'ul 'Ulum
41. Drs. Muflihun-Lumpur - Losari-Kepala MTs Al-Ikhlas Limbangan
42. Ust. Farid bin Khodijah-Gintung - Cirebon-Pengasuh Majlis Ta'lim dan Khotib
Masjid Gintung
MURID-MURID MBAH AMIR YANG BERPRESTASI
1. KH. Muhamadun-Pondoan - Tayu - Pati - Pemangku PP. Darul Ulum, Pondoan dan Imam
serta Khotib dan Mujiz Dalailul Khoirot
2.KH. Abdul Bashir-Jekula - Kudus-Pemangku PP. Dan Mujiz Dalailul Khoirot
3. KH. Manshur -Bareng - Kudus-Pemangku Pondok Pesantren
4. KH. Ma'mun-Luwungragi - Brebes-Pemangku PP. As-Salafiyah dan Rois NU Brebes
5. H. Mahbub-Ketanggungan - Brebes-Pemangku PP. Imam serta Khotib dan Tokoh
Masyarakat
6. KH. Thoyib-Kertasemaya - Indramayu-Pengasuh Pesantren dan Tokoh Masyarakat
7. KH. Balya-Tegalgubug Lor – Cirebon-Pengasuh PP. Al-Anwar serta Khotib dan
Tokoh Masyarakat
8. KH. M. Irsyad-Tegalgubug Lor – Cirebon-Pengasuh PP. Al-Anwar
9. KH. Syathori-Arjawinangun – Cirebon-Pengasuh PP. Darut Tauhid
10. KH. Mahrus Ali-Lirboyo – Kediri-Pengasuh PP. Lirboyo
11. KH. Dawud- Lumpur – Losari -Pengasuh PP. Lumpur
12. Dan masih banyak yang lainnya yang tidak bisa kami tulis
SILSILAH KETURUNAN
KH. IDRIS BIN KH. AHMAD SALEH LUMPUR
KH. IDRIS
I
< < istri > >
SHO`IMAH
HALIMAH
DASIMAH
(Mundu – Cirebon) (Banten) (Losari)
1. KH. UMAR
1. KH. UMAR
1. HASANAH
1. ABDULLOH
2. KH. AMIR
2. DABBAS
3. MARYAM (w)
3. SYU`AIB
4. IMRAN
5. TINI
6. SABTANI
7. SUKAINAH
GENERASI : KH. UMAR BIN KH. IDRIS
KH. Umar(Hj. Asiyah / Ny. Bakri)
(1). H. Rumi`ah(H. Ma`ad)
1. H. Baidhowi (Hj.Fatimah)
1. Ginayati Herlina
1. Saifulloh
2. Nadzifah
2. Hj. Faridah (Maki Zayyadi)
1. Rahmi Silmi
2. Kiki Rizki
3. Nu`man
4. Silmi Salafi
5. Edy Suhaidi
(2). Hj. Khodijah (KH. Abd.Hanan)
1. H. Edy Zuhri (Hj. Muslihah)-
1.Iwan Kurniawan
2. Dewi Rif`ati
2. H. Dhofir (Hj. Andawiyah)
1. Riza -
1. Rana Hisna
2. Rahel
3. Muqorrobin
2. M. Amin -
1. Esa
2. Nadiah
3. Haris
3. Ghufron
1. Farhan Salim
2. Ismatul Maula
3. Ishmatul Ashfiya
4. Khoirul Abidin
5. Yetti Fatimah
6. Umi Hani
1. Zidan
GENERASI : KH. AMIR BIN KH. IDRIS
KH. AMIR (RA. Zahro binti KH. Shaleh - Semarang)
1. `Aisyah (KH. Amin)
1. H. Muhsin (Surtiyah)
2. Muhammad
1. Putri Sabtani
2. RA. Zahro
3. Rohmat (Huzaimah)
1. H. Amin (Hj. Malihah)
1. Fadzkurisma Rohman
2. Nadia A`isyah S.
3. Saliya Sabrina
4. Umar Mukhtar Rohmat (Maryam)
- Rohmat (Maryam)
1. Eka Hidayah (Misbahul Munir)
1. Tamera Seruni M.
2. A. Ulin Nuha
3. Anisah Oktaviani
2. Umy Salamah (Muh. Jindar)
1. Haidar
2. M. Asad
3. M. Syafi`i Ma`arif
3. Taufiq (Laila Husniati)
1. Kafa Rizqi Robbi
KH. AMIR (Sa`diyah binti K. Sulaiman Semarang)
1. Nuriyah (KHR. Jundi)
1. Maimunah (Khozin)
1.Izzurrohman (Husniyati)
1. Akrimah Hildah
2. Minhajul Afkar
3. Nila Kamalussiri
4. M. Jundirobina
5. Eva Inda Millatina
6. Arina Adilla
7. M. Arif Robbahu
8. Syauqiya Lafani
2. Ismatullah (Rofiqoh)
1. Ziyah Nawaf
2. Nabilah Safirah
3. M. Mahrus
4. Ajeng Hayuni
3.Imtinah (Faiz Zahidin)
1. Sulhan Abid
2. M. Hadziq
3. M. Badi Amali
4. M. Azmi Izzah
5. Imam Nabil
6. Ikfini Binna`ma
4.Aniqoh (Wahyudi)
1. M. Kamal Hadi
5. Hilyatul Jannah (M. Rosyidin)
1. Vina
2. Naufal
6. Lu`lu`atul Fadilah (M. Royyani)
1. Tomi Nabhani
2. M. Ihsan
7. Syafiq (Musyarrofah)
1. Rifqi Hasani
8. M. Nahdli (Yuli Ikswati)
9. Ninik Fatimah (Ali Rohili)
2. KH. Muhamadun (Hj. Yaquti)
1.Nasibatur Rofi`ah (Lizam Haqiqi)
1. Jaza`ul Ihsan
2. Roghdi H.
2. M. Isma`il (w)
3. Najah Umniyati (Ahmad Dimyati)
1. Hafidzin Muhaya
2. Sabrina
4. Abu Ishaq Al-Isfiroyini (Qonita Furoida)
5. Namiyatus Sakinah (M. Arif M.)
1. Ulfah
2. Musthofa Bisyri
6. Nawatut Tuqo (Abdul Mughni)
1.. M. Syarif
7. Syaukani
8. Hauqolatul Ulya
3. Muh. Luthfi (Ghonimah)
1. Ida As`idah (Sukarno)
1. Abdillah
2. Zainuddin
2. Faizah (Ramadani)
1. Haifani
3. Nadzirin (Sri Indah Lestari)
4. Naufal Isma`il (Gufrona)
4. Fathiyah (Abdul Qodir)
1. Mahfudzah (Abdul Hamid)
1. Naila Sita Utami
2. Hafid
3. Raihan Amanillah
2. Sulaiman
3. Nur Mahyati (Ruhan)
4. Dalhar
5. Mukhlish
5. Abdullah Aini (Nahdiyah)
1. Putri Aula Hayani (Rahani)
1. Salsabil
2. M. Faiz
3. Ahsanti
4. Amiddana
5. Rifqi Ma`arif
6.Hanum Najwa
7. Jundi Muhammad
6. Alimah (Huzairi)
1. Abdul Jawad
7. Bashiroh (KH. Aslam)
1. K. Muhammadun
2. K. Abd. Bashir
3. K. Ahmad
8. M. Amir (Masykuroh)
1. Diah Salami Hasina
2. Nu`ma Zanuba M. Amir (Maidana)
1. Mutawakkil A. M. Amir (Ishahida)
1. Rahil Nuriyah
2. Isma`il (Sa`diyah)
3. Idris (Zubaidah)
1. Badruz Zaman (Falakiyah)
1. Arinal Muna
2. Agus Sulaiman
3. Faridul Ashri
4. Fathiyah
5. M. Hasyim
6. Intan Zakiyah
7. Amiruddin
2. A`isyah (A. Muhsin)
1.
2.
3.
3. Nur Halimah (Tikrar)
1. Robi`ah
2. M. Isma`il
3. Nadiyah
4. Nur Hasanah (M. Taufiq)
1. M. Manshur
2. M. Mahfudz
3. M. Shaleh
4. M. Nurul Anam
5. Nur Aidah Fitriyati
5. A. Amir (Ayu Habibah)
1. Imro`atuz Zulfa
2. Roditu Bimasyiatillah
3. Idris
6. Sa`adah Idris (Azizah)
Idris (Aziziah)
1. Murtadho (Tuti Alawiyah)
1. J. Lathifah
2. Zaki Makasim
3. Beny Idris
4. Saniyah
4. Shaleh (Hindun)
5. Hj. Rahmah (KH. Fathani Mundu – Cirebon)
1. H. Amir
1. Maghfuroh
2. Hj. Rizqiyah
3. Hj. Rihanah
1. Ja`far Shodiq
4. Hj. Riyadhoh
5. Hj. Rif`ah (H. Usman)
1. Mumtazah
6. Hj. Rifaqoh (H. Abd. Mughni)
1. Ayu Indah Lutfiyah
KH. AMIR (Ny. Sa`adah binti KH. Amin Benda – Cirebon)
1. Khodijah (KH. Mas`ud - Benda)
1. Muthmainnah
2. Binniyah
3. KH. Ahmad
1. Muzayanah
2.
3. Kholishoh
4. Ma`rifah
2. Afiyah (K. Mahfudz)
1. Hj. A`isyah (KH. Yahya – Sumur Nangka)
1. Misbahul Munir
2. Cecep
3. Azimat
4. Fatmah
5. Shofiyah
2. Maimunah (K. Sulaiman – Semper)
1. Sufyan
2. Ni`amah
3. Sholihah
4. Najwa
5. Imas
3. Khoiriyah (Muslih)
1. Minhatul Maula
2.
3.
4. Isma`il
1. Fikroh
2. Fasihah
3. Abdulloh Mubarok
4. Mahfudz
5. Nida
6. Miqdad
5. Amir
1. Athiroh
2. Wafa
3. Ayu
4. Hasan
6. Azizi
1. Taufiq
2. Wafi
3. Mahfudz
7. Aminah (Fathuddin)
1. Ja`far
2. Durrotun Thoyibah
3. Munawwaroh
4. M. Idris
5.
8. Khodijah (Rosyidin)
1. Faishal Abd. Azizi
2.
9. Miftah (Sakinah)
1. Arsyad
2. Nizar KH. AMIR (Sukainah binti KH. Sa`id Gedongan)
1. H. Baidhowi (Hj.Fatimah)
1. Ginayati Herlina
1. Saifulloh
2. Nadzifah
2. Hj. Faridah (Maki Zayyadi)
1. Rahmi Silmi
2. Kiki Rizki
3. Nu`man
4. Silmi Salafi
5. Edy Suhaidi
(2). Hj. Khodijah (KH. Abd.Hanan)
1. H. Edy Zuhri (Hj. Muslihah)-
1.Iwan Kurniawan
2. Dewi Rif`ati
2. H. Dhofir (Hj. Andawiyah)
1. Riza -
1. Rana Hisna
2. Rahel
3. Muqorrobin
2. M. Amin -
1. Esa
2. Nadiah
3. Haris
3. Ghufron
1. Farhan Salim
2. Ismatul Maula
3. Ishmatul Ashfiya
4. Khoirul Abidin
5. Yetti Fatimah
6. Umi Hani
1. Zidan
GENERASI : KH. AMIR BIN KH. IDRIS
KH. AMIR (RA. Zahro binti KH. Shaleh - Semarang)
1. `Aisyah (KH. Amin)
1. H. Muhsin (Surtiyah)
2. Muhammad
1. Putri Sabtani
2. RA. Zahro
3. Rohmat (Huzaimah)
1. H. Amin (Hj. Malihah)
1. Fadzkurisma Rohman
2. Nadia A`isyah S.
3. Saliya Sabrina
4. Umar Mukhtar Rohmat (Maryam)
- Rohmat (Maryam)
1. Eka Hidayah (Misbahul Munir)
1. Tamera Seruni M.
2. A. Ulin Nuha
3. Anisah Oktaviani
2. Umy Salamah (Muh. Jindar)
1. Haidar
2. M. Asad
3. M. Syafi`i Ma`arif
3. Taufiq (Laila Husniati)
1. Kafa Rizqi Robbi
KH. AMIR (Sa`diyah binti K. Sulaiman Semarang)
1. Nuriyah (KHR. Jundi)
1. Maimunah (Khozin)
1.Izzurrohman (Husniyati)
1. Akrimah Hildah
2. Minhajul Afkar
3. Nila Kamalussiri
4. M. Jundirobina
5. Eva Inda Millatina
6. Arina Adilla
7. M. Arif Robbahu
8. Syauqiya Lafani
2. Ismatullah (Rofiqoh)
1. Ziyah Nawaf
2. Nabilah Safirah
3. M. Mahrus
4. Ajeng Hayuni
3.Imtinah (Faiz Zahidin)
1. Sulhan Abid
2. M. Hadziq
3. M. Badi Amali
4. M. Azmi Izzah
5. Imam Nabil
6. Ikfini Binna`ma
4.Aniqoh (Wahyudi)
1. M. Kamal Hadi
5. Hilyatul Jannah (M. Rosyidin)
1. Vina
2. Naufal
6. Lu`lu`atul Fadilah (M. Royyani)
1. Tomi Nabhani
2. M. Ihsan
7. Syafiq (Musyarrofah)
1. Rifqi Hasani
8. M. Nahdli (Yuli Ikswati)
9. Ninik Fatimah (Ali Rohili)
2. KH. Muhamadun (Hj. Yaquti)
1.Nasibatur Rofi`ah (Lizam Haqiqi)
1. Jaza`ul Ihsan
2. Roghdi H.
2. M. Isma`il (w)
3. Najah Umniyati (Ahmad Dimyati)
1. Hafidzin Muhaya
2. Sabrina
4. Abu Ishaq Al-Isfiroyini (Qonita Furoida)
5. Namiyatus Sakinah (M. Arif M.)
1. Ulfah
2. Musthofa Bisyri
6. Nawatut Tuqo (Abdul Mughni)
1.. M. Syarif
7. Syaukani
8. Hauqolatul Ulya
3. Muh. Luthfi (Ghonimah)
1. Ida As`idah (Sukarno)
1. Abdillah
2. Zainuddin
2. Faizah (Ramadani)
1. Haifani
3. Nadzirin (Sri Indah Lestari)
4. Naufal Isma`il (Gufrona)
4. Fathiyah (Abdul Qodir)
1. Mahfudzah (Abdul Hamid)
1. Naila Sita Utami
2. Hafid
3. Raihan Amanillah
2. Sulaiman
3. Nur Mahyati (Ruhan)
4. Dalhar
5. Mukhlish
5. Abdullah Aini (Nahdiyah)
1. Putri Aula Hayani (Rahani)
1. Salsabil
2. M. Faiz
3. Ahsanti
4. Amiddana
5. Rifqi Ma`arif
6.Hanum Najwa
7. Jundi Muhammad
6. Alimah (Huzairi)
1. Abdul Jawad
7. Bashiroh (KH. Aslam)
1. K. Muhammadun
2. K. Abd. Bashir
3. K. Ahmad
8. M. Amir (Masykuroh)
1. Diah Salami Hasina
2. Nu`ma Zanuba M. Amir (Maidana)
1. Mutawakkil A. M. Amir (Ishahida)
1. Rahil Nuriyah
2. Isma`il (Sa`diyah)
3. Idris (Zubaidah)
1. Badruz Zaman (Falakiyah)
1. Arinal Muna
2. Agus Sulaiman
3. Faridul Ashri
4. Fathiyah
5. M. Hasyim
6. Intan Zakiyah
7. Amiruddin
2. A`isyah (A. Muhsin)
1.
2.
3.
3. Nur Halimah (Tikrar)
1. Robi`ah
2. M. Isma`il
3. Nadiyah
4. Nur Hasanah (M. Taufiq)
1. M. Manshur
2. M. Mahfudz
3. M. Shaleh
4. M. Nurul Anam
5. Nur Aidah Fitriyati
5. A. Amir (Ayu Habibah)
1. Imro`atuz Zulfa
2. Roditu Bimasyiatillah
3. Idris
6. Sa`adah Idris (Azizah)
Idris (Aziziah)
1. Murtadho (Tuti Alawiyah)
1. J. Lathifah
2. Zaki Makasim
3. Beny Idris
4. Saniyah
4. Shaleh (Hindun)
5. Hj. Rahmah (KH. Fathani Mundu – Cirebon)
1. H. Amir
1. Maghfuroh
2. Hj. Rizqiyah
3. Hj. Rihanah
1. Ja`far Shodiq
4. Hj. Riyadhoh
5. Hj. Rif`ah (H. Usman)
1. Mumtazah
6. Hj. Rifaqoh (H. Abd. Mughni)
1. Ayu Indah Lutfiyah
KH. AMIR (Ny. Sa`adah binti KH. Amin Benda – Cirebon)
1. Khodijah (KH. Mas`ud - Benda)
1. Muthmainnah
2. Binniyah
3. KH. Ahmad
1. Muzayanah
2.
3. Kholishoh
4. Ma`rifah
2. Afiyah (K. Mahfudz)
1. Hj. A`isyah (KH. Yahya – Sumur Nangka)
1. Misbahul Munir
2. Cecep
3. Azimat
4. Fatmah
5. Shofiyah
2. Maimunah (K. Sulaiman – Semper)
1. Sufyan
2. Ni`amah
3. Sholihah
4. Najwa
5. Imas
3. Khoiriyah (Muslih)
1. Minhatul Maula
2.
3.
4. Isma`il
1. Fikroh
2. Fasihah
3. Abdulloh Mubarok
4. Mahfudz
5. Nida
6. Miqdad
5. Amir
1. Athiroh
2. Wafa
3. Ayu
4. Hasan
6. Azizi
1. Taufiq
2. Wafi
3. Mahfudz
7. Aminah (Fathuddin)
1. Ja`far
2. Durrotun Thoyibah
3. Munawwaroh
4. M. Idris
5.
8. Khodijah (Rosyidin)
1. Faishal Abd. Azizi
2.
9. Miftah (Sakinah)
1. Arsyad
2. Nizar KH. AMIR (Sukainah binti KH. Sa`id Gedongan)
GENERASI : KH. IMRAN BIN KH. IDRIS
KH. IMRAN (Shufiyah – Lumpur)
(1).Mu`thiyah (KH. Hanbali - Lumpur)
1. K. Misbah(Amnah - Lumpur)
1. Nuriddin
2. Nashihah(K. Hasyim)
3. Abdul Haq
4. Yahya
5. Umroh (Abdul Hakim S.Pd.I)
6. Saro`ah
2. KH. Ma`shum (Zulaikha - Jakarta)
1. Nur Jannah
2. Zamrani
3. Muslihah
4. Hambali
3. K. Idris (Maimunah)
1. Maftuhah
(Adi Warsadu S.Pd.I)
1. Imamul Muttaqien
2. Moh Hasyim Asy'ari
2. Ma`rifah
(Ahmad hijazi)
1. Desi Putri Al-Musyaffa
3. Aslihah
(Moh Warsum)
1. qurrotul A'yun
2. Muhammad Fur'qon Al-Husnan
4. M.Muslih
(Muyassaroh)
1. Muhammad Dawud
5. Muhammad Sholehuddin
6. Siti Nakiroh
4. Rofi`ah (Wahidah -Tawangsari)
1. Rokayah
2. Amir
3. Ma`muri
4. Rohanah
5. Umayah
6. Ro`aenah
7. Wakruddin
5. Bayinah (As`ad - Lumpur)
1. Sa`dulloh
2. Syafiqul Lathif
3. Mas`adah
4. Aula Su`udi
5. Nur Sa`idah
6. Abu Amr
7. Hamidah
8. Adilah
9. Ainurrofiq
6. Baenah (Harir)
1. Isti`anah
2. Fauzan S.Pd.I
3. A. Haris
4. Istiqomah
5. Isriyati
6. Fauzi
(2).Murti`ah (H. Mujahid)
1. K. Abu Bakar (Kunainah)
1. Nafisah
2. A. Saleh
3. M. Ilyas
4. Laila
5. Qona`ah
6. Masruroh
7. Munajat
8. Masruhan
2. Amnah (K. Misbah) Lihat anak-anak K. Misbah (Amnah)
3. KH Munawwir(Hj. Qonifah)
1. Habibah
2. Luthfiyah
3. Khulashoh
4.
5.
6.
7.
8.
9.
4. Qosyi`ah Abdul Muhith)
1. Anisah
2. Zakariya
3. Mustamid
4. Zahro
5. Waqi`ah
6. Jufri
5. H. Masyhuri (Hj. Rofi`ah)
1. Halimah
2. Sa`diyah
3. Ja`far
4. Imam Zarkasyi
(3). Ma`unah (M. Fathin)
1. Hj. Khoiriyah(H. Arsyad)
1. Halimi
2. Muzni
3. Halwani
4. Afifah
5. Asmanah
6. Barizi
7. Zamroni
8. Huzamah
9. Hanafi
(4). Irfan (Kasmirah)
1. Isma`il
2. Amir
3. Sholihah
(5). Taslimah
(Abas)
1. Zuhdi
(Alfiyah –Pekalongan)
1. Hisyam
2. Rohmah
3. Lathifah
4. Mahrus
5.
6.
7.
2. H Mas`ud
(Faizah)
1. Uswatun Hasanah
2. Ulfah
1. Iffah
(Nashihin)
2. `Azmah
3. Ulumuddin
1. Fitriyah
2. Firqotun Nashiah
4. Umdah
(Kholil)
5. Ushuluddin
6. `Uzlah
7. `Urfiyah
8. Ulin Ni`mah
3. Zulaikho
(Ma`shum)
1. Nur Jannah
2. Zamroni
3. Muslihah
4. Hanbali
4. Ro`ijah
(Slamet – Dukuh Widara)
1. Musthofa
2. Mujtahid
3. Ja`far
4. `Indana
5. Maryati
6. Rizqi
5. Nur Ainiyah
1.
2.
3.
4.
5.
6. Qudriyah
1.
2.
3.
4.
5.
7. Khoiron
(Mu`jizah - Pekalipan Cirebon)
1. Tashofi
2. Azmy
3. Tamyiz
(6). Akyas
(Aminah)
1. Roudhoh (Washil – Jakarta)
1. M. Aenul Yaqin
2. Nur Ishmah
3. Afiyah
4. Azzah
5. Abdulloh Wafi
2. Umar (Masyitoh)
1. A. Taufiq
2. Rofiqoh
3. Abdul Aziz
4. Umi Hani
3. Imron (w)
4. Fathmah
GENERASI : KARTINI (NY. TINI) BINTI KH. IDRIS
4. KARTINI (NY. THINI)(Syarqawi - Lumpur)
4. KARTINI (NY. THINI)(Syarqawi - Lumpur)
1. Ma`idah
(Wasmad)
1. Abdul Fatah
(Dawiyah)
1. Abdurrohim
2. Tasi`ah
3. Abdul Jalil
2. Kasmirah
(Husnan)
1. Atikah
(Kasmad)
1. Nur Khotimah
2. Nur Azizah
3. Qomariyah
4. Astani
5. Khafidoh
6. Masykur
7. Romadhon
8. Khumaeroh
2. Ma`muri
(Satinah)
1. Fauziyah
2. Juwaeriyah
3. Muhtar
3. Muhtar
4. Abd. Hakim
5. Abd. Ghofar
6. Abd. Rozaq
3. Masyhuri
(Hariroh – Kudus)
1. Faruq
2. M. Yutsni
3. Muhammad
4. Maya
4. Hasan
(Wartini)
1. Anisah
5. Husain (w)
Kasmirah (Cawid)
Kasmirah (cawid)
Kasmirah (cawid)
1. Masroh(Abdurrohman)
1. Rofi`ah
2. Romlah
3.
Rofiqoh
4. Rohanah
5. Rohmi Faroh
6. Fathulloh
7. Raihan
8. M. Na`im
3. Murtadho
(Muniroh)
1. Sholihin
2. Sholihah
2. Malifah (w)
GENERASI : NY. SABTANI BIN KH. IDRIS
NY. SABTANI
(KH. Abdulloh Mura`i)
1. H. Anas
(Halimah Darat – Randusari)
1. H. Alwi Anas
(Endang Samini)
1. Dr. Taufiq Mulyanto
(Shelly Fajriyati SP – Bandung)
1. Zahro Celesta
2. Anisah Sekartera
3. Chiara Inaya Husna
2. Shodiq Wicaksono ST, MM, MENG
(Dra. Hermin Aminah SP. S.Ag.)
1. Hanif Shidqi Amani
2. Hasya Hikari
3. Arif Sarwo Wibowo ST, MT
(Anita Fitriana ST, MT)
1. Ariq Muzakki
2. Nasyath (w)
H. Anas
(Suryamah)
1. Washil
2. Sarah
(Dr. Isma`il Lubis – Yogyakarta)
1. Nabilah S.Ag
(Kapten M. Zulfikar)
1. Elfa Al-Falah
2. Mafaza
3. Rizki
4. Fadhilah
2. Difla M.Si.
(Bustami K. SP)
1. Rasoki Nabahat
2. Naura Olivia
3. Dr Asnat
(Imbalo Oloan ST)
1. Sonya Siluwani L.
2. Togu Mulya Lubis
3. Aliya Toluna Lubis
4. Ade Nasibah S.Pd.I
(Brigadir Toni Purwanto SIP, MM)
1. Lubna Syifa Nobel
5. Sutan Porkas
(Ika)
1. Rizki Kurnia Putra
2. Ibrohim Kholil
6. Leo Perwira Yuda S.E
1.
2.
7. Philare Shafia SP
1.
2.
8. Najiah Mabruroh
1.
2.
9. Aficena Muhamad
1.
2.
2. H. Amin
(A`isyah – PKL) Lihat anak-anak A`isyah (H. Amin)
3. Ruqoyah
(Hasyim)
1. Salimah
(Abdul Wahid)
1. Asymawi
1. Rotipah
2. Muhajiroh
3. Ali Usman
4. M. Furqon
2. Asymu`i
1. Rihanah
2. Roudhoh
3. Nihlatul Afiyah
4. Naeli
5. Ahmad Syifa
3. Amir
(Sa`adah)
1. Rif`an Riziq
2. Naulis Isytimaya
2. KH. Yusuf(Hindun)
1. Syarifuddin
1. Muhammad faiz fajar el-hikam
2. muhammad fikri farhan huda
3.Nida
4. Ning Hidayati furaeha
5. Naela afidatus syifa
6. muhammad fadlan fatir hayyi
1. Muhammad faiz fajar el-hikam
2. muhammad fikri farhan huda
3.Nida
4. Ning Hidayati furaeha
5. Naela afidatus syifa
6. muhammad fadlan fatir hayyi
2. Mahmudah
1. laeli awaliyah (alm)
2. Mumun maemunah
3. Ibnu
4. Muhammad Arwani
1. laeli awaliyah (alm)
2. Mumun maemunah
3. Ibnu
4. Muhammad Arwani
3. Mashfufah
1. Ata Darojatul ulya
2. Muhammad Ainun NAjib
1. Ata Darojatul ulya
2. Muhammad Ainun NAjib
4. Maghfiroh
1. Abdul Muiz
2. Abdul Baist Mubarok
1. Abdul Muiz
2. Abdul Baist Mubarok
5. Jamaluddin
6. Mahfudhoh
1. Lutfiyana Zulfa
1. Lutfiyana Zulfa
3.A`isyah
(Rumli)
1. Azizah
2. Adilah
3. Raihan
4. Ashfariyah
5. Rohmat
5. Rohmat
6. M. Aqil
9. Qosim
7. Amirah
8. Ayip
10. Ali
4. Yunus
(Muniroh)
1. Syarifah
2. Musyarrofah
3. Abdul Haris
4. Sa`adah
5. Isti`anah
6. M. Amin
5. Ilyas
(Hamidah)
1. Muhammad
2. Ahmad
3. Khoirul Anwar
4. Fathimah
(H. Muhamad)
1. H. Musri`ah
(Muhammad Kufu)
1. Ulwiyah
(Prof. Dr. Baidhowi)
1. Dra. Evi S.Ag
(Dr. Yuan Ariawan Kusuma)
1. Nasya Ameera
2. Much. Rayhan
3. Hanna Nagatita
2. Dra. Elly Jihan
(Dr. Yunan Ardi Suwiji)
1. Difan Naufaldi
2. Faizah Ardilah Z.
3. M. Faiz Realdi
3. Luthfi S.Pd.
(Irani Fajriani S.Ag)
1. Alif Izzi Muhammad
2. Drs. H. Ma`mun
(Mariyah)
1. Ir. Abd. Rohman
(Diah Istiarini SE)
1. Titian Ulil Hikam
2. Ausa`a Mutiara
2. H. Usman M.M
(Hj. Nurita Hidayati M.M)
1. Salma Auriga A.
2. Hakiki M. Alif
3. Nur Farhati S.Ag
(H. Dr. Saifuddin Jamil S.P Rad)
1. Afiah Farihna (Anak Angkat)
4. Surya Musyarofah SS (Hasan Su`aidi M.Si)
1. Fiki Jazilatuz Z.
2. Firli Akifa Bilbirri
3. Fadaukas A.M
5. Aisyah Zubaidah S.Ag (Dr. Mutam-mam M.Ed)
1. Roissa Hadiyah
6. A. Zaki Ali S.Thi
(Dra. Ika Pratiwi)
7. Inayati Fatimah
(M. Bagus Sekar Alam M.Si)
1. A. Nawaf Hisan
8. N. Halimah S.P
(Ubaidillah M.Hum)
9. M. Qadhafi
(Afifah Rahmawati S.Kom)
10. Syafawi A. Qadzafi
3. KH. Masykur
(Sukainah)
1. Hj. Ainun Hikmah M.Pd (Hj. Jazilus Sakha M.A)
1. Rihwan Mufidi
2. Rihwa Arija
2. H. Arif Hakim S.Hi
3. H. Ali Hifni S.Kom
4. H. M. Fif`at
4. Masyhadi
(Nafisah)
1. Tho`ah
2. Idham
3. Firdaus
4. Tribakti
5. Umi Kaltsum
Masyhadi
(Masri`ah)
1. Agus
5. Drs. H. Badawi
(Aam Amiyati)
1. Hilyatul Auliya
2. Zuhuruz Zarqo
3. Ifta Ainun Nida
4. Dlia Nahdhatina
6. Dra. Hj. Fatihah
(Drs. H.A. Mu`in)
1. Ihda Naufani B
2. Nailun Ni`am
3. Nur Istiqomah
4. Ihya Ma`rifah
Ramsiah
(M. Zawawi – Lumpur)
1. Saudah
(K. Abdullah)
1. H. Hamzah Z.
(Hj. Fatimah)
2. Iskandar Farihin
(Ainiyah)
1. Izah Ayu Elfafani
2. Qiqi Amalia
3. Isye Niqoyah
4. Silmi Fidyati
5. M. Daniel Syiva
6. Safna Hazzati
3. Farihah
(Abdurrohman)
1. Saifulloh
2. Umi Kultsum
3. Ulil Albab
4. Nurul La`ali
5. Manarul Huda
6. Maryam
4. Fathullah S.Pd.I
(Minhatul Khoiriyah – Jakarta)
1. Abdul Wahab
2. Umi Hani
3. Umi Salamah
5. Hanna
(K. Shofiyuddin)
1. Fudla Nisa M.
2. Abdullah Awab
3. Abdullah Bahij
4. Khoirun Nisa
5. Abdullah Jamal
6.
Abdullah Dihya
2. Hj. Aminah
(K. Mahmud)
1. Zakiyah
(KH. Khodir – Kuningan)
1. Hidayatullah
2. Labib Sa`id (w)
3. M. Ahsin
4. Ibrahim
5. M. Fatih
6. Amaliyah
7. Fadil Muhammad
2. Dawud (w)
3. K. Sofiyuddin
(Hanna) Lihat anak-anak Hanna
(K. Shofiyuddin)
4. Munifah
(K. Abdul Jalil)
5. KH. Luthfi Sa`id
(Hj. Khuroiqotus Sufya – Pekalongan)
1. Abdullah Wafi
2. Yasmin
3. Abdullah Ayyasy
6. K. M. Najib
(Ulil Ulya)
1. Luna Hafshoh
3. KH. Abd. Ghofur
(Hj. Khodijah)
1. KH. Muhammadun
(Hamidah)
2. K. Ma`shum
(Fauziyah)
3. K. Harun
4. Hamdanah
(KH. Muhtadi Mubarok – Benda)
1. M. Shaleh
2. Tohirotul M. (w)
3. Shadiq
5. K. Maemun
4. KH. Abdul Karim
(Hj. Hindun – Tanjung)
1. KH. Hudallah
1. Halimatus Sa`diyah
2. Ulwiyatul Yumna
3. Faridatul Ashriyah
4. M. Naqib
2. KH. Ni`amullah
1. Minahus Saniyah
3. Ulin Nuha
(Itsbatuddin)
1. M. Aniq
2. Aisyah
3. Ahid
4. Ahmad
5. Aufal Marom
6. Inaroh
4. Ulil Izzah
(Kholilurrohman)
1. Nafisah
5. Habibulloh
(Isti`anah)
6. Ulir Rif`ah
7. Ulis Syafa`ah
8. Maslahah
9. Najiyullah
10. Munjiyah
11. Nihayah
KH. Abdul Karim
(Hj. Naqiyatul Khoto)
1. Ulil `Ulya
(K. M. Najib)
1. Luna Hafshoh
2. Ulis Syifa
3. Aminullah
4. Hamidah
5. Nawawi
6. M. Sa`id
7. Nuriyah
5. K. Abdurrosyid
(Maslihah)
1. Abidah
1. Nailatul Ulya
2. Yunus
3. Minhatus Saniah
4. Nadzifatus Sariroh
2. Arwani
3. Faidhul Mu`izah
1. M. Fatih
2. M. Yusuf Nabhani
4. Nurul Ishmah
1. M. Atabik
5. Bahauddin
6. Abil Hasan
7. Robi`tul Adawiyah
8. Rofi`
6. KH. Abdul Hadi
(Hj. Fathmah)
1. Yuhanidz
1. Hirzi
2. Fawaz
2. Sa`duddin
3. Afnan Hafidz
4. Hilyatul Auliya
5. Nailin Najah
6. Najihah
7. Muhammad
7. KH. Abdul Halim
(Hj. Isti`anah)
1. M. Nabih
2. Nafidzatin Nadhor(Ahmad Amal - Madura)
3. M. Najih Ramadhan
4. Nadzifah
5. Muhammad
6. Nafisah
8. Aliyah
6. Ro`isah
(K. Faqih)
1. Maimunah
(Idris) Lihat anak-anak Idris (Maimunah)
2. Dahlan
1. Iqbal
2. Dewi
3. Ali
3. Baqir
(Zuhriyah)
1. Dewi Asiyah (Nahrawi)
1. Rusydah
2. Salimah
3. Ghidza
2. Dewi Aisyah
3. Dewi Azizah
4. Tis`atuz Zahro
5. Aliyatuz Zahro
4. Shafiyah (Usroni)
1. Syarifuddin
2. Umi Kultsum
3. Farid Amrullah
4. Roudhotul jannah
7. Zubaidah
1. Hj. Sa`diyah
(H. Badrun)
1. Usman S.Pd.I
GENERASI : NY. SUKAENAH BINTI KH. IDRIS
NY. SUKAENAH
(Kadnawi)
1. KH. Faqih
(Aisyah Dahlan)
1. Zainab
(Fadil)
1. Imamuddin
1. Saifuddin 1. Rudi
2. Munfakhiroh 1. Yusni
2. Izzah
3. Mu`jizah 1. Lugni H
4. Amrulloh
5. Aniq A.
2. Khoiruddin
1. Aisyah
2. Musfiroh
3. Maslihah
4. Maftuhah
5. Inayah
1. Aisyah
2. Musfiroh
3. Maslihah
4. Maftuhah
5. Inayah
3. Zainuddin
(Fauzah)
1. Umi Kultsum
1. Umi Kultsum
4. Hasanuddin
(Zajiroh)
1. Mukhlish
2. Khirniqoh
1. Mukhlish
2. Khirniqoh
5. Nuruddin
(Muniroh) 1. Fitriyah
6. Qomaruddin
(Ulfatun) 1. Hilmy
2. Hizby
3. Hilyah
7. Abuddin
(Anisah) 1. Fikri
2. Arifah
8. Muhyidin
(Nur Hayati) 1. Zulfa
2. Rafah
3. Syifa
4. Shafa
5. Khadziq
9. Syaikhuddin
(Aisyah – Kluwut) 1. Aliyah
2. Shalli
10. Muhammadin
11. Fatihah 1. Miftahus Surur
2. Dini
2. Kemah
(H. Arsyad)
1. Alfiyah
(Zuhdi) Lihat anak-anak Zuhdi (Alfiyah)
2. Nadhiroh
(Tohir)
1. Saudah
2. Sa`inah
Kemah
(Abdul Manan)
1. Hariri
1. Taufiq
2. Maftuhin
3. Shofi
4. Nashrullah
3. Abdul Muhith
(Qosyi`ah) Lihat anak-anak Syi`ah (Abd. Muhith)
KH. Faqih
(Ro`isah) Lihat anak-anak Ro`isah (KH. Faqih)
2. Ainah
(Sajid)
1. Sa`imah
1. Raenah 1. Turmudzi
2. Tasi`ah
1. Shodiqin
1. Abdurrohim
2. Hanifah
3. Inayati
4. Luthfiyah
5. Baihaqi
6. Sirajuddin
7. Alwi
2. Maqshudi
1. Tajusy Syarof
2. Ufiati
3. Hildah R
4. Hasani
5. Ais Sa`id
3. Fashihah
(K. Mansur)
1. Nur Aini
(S. Zuhri)
1. I`anah
2. Hilyah
3. Fitrah
2. Ahmad
(Titin)
1. Tuti
3. Muhammad
(Muyassaroh)
1. Afza
4. Minhatul Maula
(Tri Wahyudi)
1. Mustafi-dah
5. Zumairo
(Abdul Hakim)
6. Futiha
(Bahrul Muhith)
7. Kholilah
8. Arif
9. Ulis Syafa`ah
10. Ni`mal Hana
4. Mustahdi
5. Mahfudz
3. Abd. Muhaimin
(Hafshoh)
1. Ma`mun
1. Rifqi
2. Hilyatul Auliya
3. Bahauddin
4. Yusril
2. Muntaha
1. A. Sholihul Hadi
2. Ali Shodiq
3. Naila Rohmi
3. Masyhudi
1. Azka Zidna KH.
2. Rosyikh Fil `Ilmi
3. Syamilah
4. Ma`nawiyah
1. N. Rif`atun
2. M. Azwar
3. Turaihan Ajhuri
4. Zubaidah
5. Mustholihuddin
5. Ulwiyah
1. Mahmud
2. Abd. Hamid
3. Af`idah
6. Mas`udah
1. Lulu`ul Ainiyah
2. Fikriyah
3. Fadli
7. Hamidah
1. Labibah
8. Muhyiddin
1. Rizal
4. H. Rifa`i
(Hj. Fathonah)
1. Jazuli
2. Ulfah
3. Ulyana
4. Ubaidilah
5. Umdah
6. Fahmi
7. Saifuddin
8. Aliyah
9. Mahbub
5. H Mansur
1. Farhatun
2. Inayah
3. Nafis Atho`illah
4. Ulin Ni`mah
5. Zaky Yamani
6. N. Faiqoh
7. Nasyith
8. Nailah
9. Khoirun Ni`am
10. M. Ali
6. M. Toha
1. Rizkiyah
2. Mushtofa T.
3. Halimi
4. Sholhatin
5. Atiq Fauzi
6. Aminuddin
7. Drs. KH. Asy`ari
1. Husni Arafat
2. Asni Furaida
3. Azmati Azma
4. Nabilah
5. Fathi
GENERASI : NY. HASANAH BINTI KH. IDRIS
NY. HASANAH
(KH.Dawud bin Mas`ud bin Syam bin Nasim)
1. H. Rahmah
(KH. Abd. Wahab)
1. Hindun
(KH. Yusuf)
1. Syarifuddin
2. Mahmudah
3. Mashfufah
4. Maghfiroh
5. Jamaluddin
6. Mahfudhoh
2. Hj. Faizah
(H. Mas`ud) Lihat anak-anak H. Mas`ud (Hj. Faizah)
3. H. Mahfudz
(Tamimah)
1. Anisah
4. Mahbub
(Musfiroh)
1. Ahnaf
2. Muhammad
(Nadia Abdul Majid)
1. Ahmad
1. Putri Nailin Nofar
2. Jamal
3. Syamir
4. Muna
2. Jamal
3. Ahmad
(Mushlihah)
1. Mas`udah
2. Hamzah
3. Sofiyulloh
4. Kholilurrohman
(Umdah)
5. Shaleh
6. Abu
4. Mahmud
(Hj.Aminah) Lihat anak-anak Hj.Aminah
(K. Mahmud)
5. Hammad
(Taslimah)
1. Atho`illah
1. Nilal Muna
2. Nafisah
2. Idris
1. M. Aniq
2. Naila
3. Naili
3. Ulfatun
(Qomaruddin) Lihat anak-anak Qomaruddin (Ulfatun)
4. Rif`atun
(Kastholani)
1. Ismah
2. Ashimah
5. Ghozali
(Toyibah)
1. Abdurrosyid
6. Muflihah
1. Ulil Albab
7. Isma`il
6. Rodhiyah
(Sa`id)
1. K. Afif
(Asiah)
1. Aruj
2. A. Ghilman
3. Afaf Izzah
4. Usamah Ibrahim
2. Drs.Muflihun
(Erna)
1. Amiqul Fahmi
2. Aniq Faiq
3. Azimatul Azmi
4. Arifatul Azmi
5. Atiqotul Azmi
7. Mardiyah
(Abd. Ghoni)
1. Mu`jizah
(Drs. H. Khoiron)
1. Tashofi
2. Azmi
3. Tamyiz
2. Drs. Maghfur
3. Ma`rifah
8. Hj.Khodijah
(H. Bunyamin)
1. K. Farid
(Sumairo – Gintung)
1. Adham
2. M. Adib
3. Adnan
4. Hainunah
Hj.Khodijah
(KH. Abdul Ghofur Lihat anak-anak
KH. Abdul Ghofur (Hj.Khodijah)
Catatan : Mohon maaf apabila terdapat banyak kesalahan penulisan atau kekurangan pada data silsilah keturunan Mbah Idris
PENUTUP
Sumber : http://muslihhm.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan jika anda yang ingin komentar, namun tolong gunakan bahasa yang sopan