Biografi KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur)
Kyai Haji Abdurrahman Wahid,
akrab dipanggil Gus Dur (lahir di Jombang, Jawa Timur, 7 September 1940
– meninggal di Jakarta, 30 Desember 2009 pada umur 69 tahun. adalah
tokoh Muslim Indonesia dan pemimpin politik yang menjadi Presiden
Indonesia yang keempat dari tahun 1999 hingga 2001. Ia menggantikan
Presiden B. J. Habibie setelah dipilih oleh MPR hasil Pemilu 1999.
Penyelenggaraan pemerintahannya dibantu oleh Kabinet Persatuan Nasional.
Masa kepresidenan Abdurrahman Wahid dimulai pada 20 Oktober 1999 dan
berakhir pada Sidang Istimewa MPR pada tahun 2001. Tepat 23 Juli 2001,
kepemimpinannya digantikan oleh Megawati Soekarnoputri setelah mandatnya
dicabut oleh MPR. Abdurrahman Wahid adalah mantan ketua Tanfidziyah
(badan eksekutif) Nahdlatul Ulama dan pendiri Partai Kebangkitan Bangsa
(PKB).
Kehidupan awal
Abdurrahman
Wahid lahir pada hari ke-4 dan bulan ke-8 kalender Islam tahun 1940 di
Denanyar Jombang, Jawa Timur dari pasangan Wahid Hasyim dan Solichah.
Terdapat kepercayaan bahwa ia lahir tanggal 4 Agustus, namun kalender
yang digunakan untuk menandai hari kelahirannya adalah kalender Islam
yang berarti ia lahir pada 4 Sya'ban, sama dengan 7 September 1940.
Ia
lahir dengan nama Abdurrahman Addakhil. "Addakhil" berarti "Sang
Penakluk". Kata "Addakhil" tidak cukup dikenal dan diganti nama "Wahid",
dan kemudian lebih dikenal dengan panggilan Gus Dur. "Gus" adalah
panggilan kehormatan khas pesantren kepada seorang anak kiai yang berati
"abang" atau "mas".
Gus
Dur adalah putra pertama dari enam bersaudara. Wahid lahir dalam
keluarga yang sangat terhormat dalam komunitas Muslim Jawa Timur. Kakek
dari ayahnya adalah K.H. Hasyim Asyari, pendiri Nahdlatul Ulama (NU),
sementara kakek dari pihak ibu, K.H. Bisri Syansuri, adalah pengajar
pesantren pertama yang mengajarkan kelas pada perempuan. Ayah Gus Dur,
K.H. Wahid Hasyim, terlibat dalam Gerakan Nasionalis dan menjadi Menteri
Agama tahun 1949. Ibunya, Ny. Hj. Sholehah, adalah putri pendiri Pondok
Pesantren Denanyar Jombang.
Gus
Dur secara terbuka pernah menyatakan bahwa ia memiliki darah Tionghoa.
Abdurrahman Wahid mengaku bahwa ia adalah keturunan dari Tan Kim Han
yang menikah dengan Tan A Lok, saudara kandung Raden Patah (Tan Eng
Hwa), pendiri Kesultanan Demak. Tan A Lok dan Tan Eng Hwa ini merupakan
anak dari Putri Campa, puteri Tiongkok yang merupakan selir Raden
Brawijaya V. Tan Kim Han sendiri kemudian berdasarkan penelitian seorang
peneliti Perancis, Louis-Charles Damais diidentifikasikan sebagai Syekh
Abdul Qodir Al-Shini yang diketemukan makamnya di Trowulan.
Pada
tahun 1944, Wahid pindah dari Jombang ke Jakarta, tempat ayahnya
terpilih menjadi Ketua pertama Partai Majelis Syuro Muslimin Indonesia
(Masyumi), sebuah organisasi yang berdiri dengan dukungan tentara Jepang
yang saat itu menduduki Indonesia. Setelah deklarasi kemerdekaan
Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, Gus Dur kembali ke Jombang dan tetap
berada di sana selama perang kemerdekaan Indonesia melawan Belanda. Pada
akhir perang tahun 1949, Wahid pindah ke Jakarta dan ayahnya ditunjuk
sebagai Menteri Agama. Abdurrahman Wahid belajar di Jakarta, masuk ke SD
KRIS sebelum pindah ke SD Matraman Perwari. Wahid juga diajarkan
membaca buku non-Muslim, majalah, dan koran oleh ayahnya untuk
memperluas pengetahuannya. Gus Dur terus tinggal di Jakarta dengan
keluarganya meskipun ayahnya sudah tidak menjadi menteri agama pada
tahun 1952. Pada April 1953, ayah Wahid meninggal dunia akibat kecelakaan mobil.
Pendidikan
Wahid berlanjut dan pada tahun 1954, ia masuk ke Sekolah Menengah
Pertama. Pada tahun itu, ia tidak naik kelas. Ibunya lalu mengirim Gus
Dur ke Yogyakarta untuk meneruskan pendidikannya. Pada tahun 1957,
setelah lulus dari SMP, Wahid pindah ke Magelang untuk memulai
Pendidikan Muslim di Pesantren Tegalrejo. Ia mengembangkan reputasi
sebagai murid berbakat, menyelesaikan pendidikan pesantren dalam waktu
dua tahun (seharusnya empat tahun). Pada tahun 1959, Wahid pindah ke
Pesantren Tambakberas di Jombang. Di sana, sementara melanjutkan
pendidikannya sendiri, Abdurrahman Wahid juga menerima pekerjaan
pertamanya sebagai guru dan nantinya sebagai kepala sekolah madrasah. Gus Dur juga dipekerjakan sebagai jurnalis majalah seperti Horizon dan Majalah Budaya Jaya.
Pendidikan di luar negeri
Pada
tahun 1963, Wahid menerima beasiswa dari Kementrian Agama untuk belajar
di Universitas Al Azhar di Kairo, Mesir. Ia pergi ke Mesir pada
November 1963. Meskipun ia mahir berbahasa Arab, Gus Dur diberitahu oleh
Universitas bahwa ia harus mengambil kelas remedial sebelum belajar
Islam dan bahasa Arab. Karena tidak mampu memberikan bukti bahwa ia
memiliki kemampuan bahasa Arab, Wahid terpaksa mengambil kelas remedial.
Abdurrahman
Wahid menikmati hidup di Mesir pada tahun 1964; menonton film Eropa dan
Amerika, dan juga menonton sepak bola. Wahid juga terlibat dengan
Asosiasi Pelajar Indonesia dan menjadi jurnalis majalah asosiasi
tersebut. Pada akhir tahun, ia berhasil lulus kelas remedial Arabnya.
Ketika ia memulai belajarnya dalam Islam dan bahasa Arab tahun 1965, Gus
Dur kecewa. Ia telah mempelajari banyak materi yang diberikan dan
menolak metode belajar yang digunakan Universitas.
Di
Mesir, Wahid dipekerjakan di Kedutaan Besar Indonesia. Pada saat ia
bekerja, peristiwa Gerakan 30 September terjadi. Mayor Jendral Suharto
menangani situasi di Jakarta dan upaya pemberantasan Komunis dilakukan.
Sebagai bagian dari upaya tersebut, Kedutaan Besar Indonesia di Mesir
diperintahkan untuk melakukan investigasi terhadap pelajar universitas
dan memberikan laporan kedudukan politik mereka. Perintah ini diberikan
pada Wahid, yang ditugaskan menulis laporan.
Wahid
mengalami kegagalan di Mesir. Ia tidak setuju akan metode pendidikan
serta pekerjaannya setelah G 30 S sangat mengganggu dirinya. Pada tahun
1966, ia diberitahu bahwa ia harus mengulang belajar. Pendidikan
prasarjana Gus Dur diselamatkan melalui beasiswa di Universitas Baghdad.
Wahid pindah ke Irak dan menikmati lingkungan barunya. Meskipun ia
lalai pada awalnya, Wahid dengan cepat belajar. Wahid juga meneruskan
keterlibatannya dalam Asosiasi Pelajar Indonesia dan juga menulis
majalah asosiasi tersebut.
Setelah
menyelesaikan pendidikannya di Universitas Baghdad tahun 1970,
Abdurrahman Wahid pergi ke Belanda untuk meneruskan pendidikannya. Wahid
ingin belajar di Universitas Leiden, tetapi kecewa karena pendidikannya
di Universitas Baghdad kurang diakui. Dari Belanda, Wahid pergi ke
Jerman dan Perancis sebelum kembali ke Indonesia tahun 1971.
Karir awal
Gus
Dur kembali ke Jakarta mengharapkan bahwa ia akan pergi ke luar negeri
lagi untuk belajar di Universitas McGill di Kanada. Ia membuat dirinya
sibuk dengan bergabung ke Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan
Ekonomi dan Sosial (LP3ES), organisasi yg terdiri dari kaum intelektual
muslim progresif dan sosial demokrat. LP3ES mendirikan majalah yang
disebut Prisma dan Wahid menjadi salah satu kontributor utama majalah
tersebut. Selain bekerja sebagai kontributor LP3ES, Wahid juga
berkeliling pesantren dan madrasah di seluruh Jawa. Pada saat itu,
pesantren berusaha keras mendapatkan pendanaan dari pemerintah dengan
cara mengadopsi kurikulum pemerintah. Wahid merasa prihatin dengan
kondisi itu karena nilai-nilai tradisional pesantren semakin luntur
akibat perubahan ini. Gus Dur juga prihatin dengan kemiskinan pesantren
yang ia lihat. Pada waktu yang sama ketika mereka membujuk pesantren
mengadopsi kurikulum pemerintah, pemerintah juga membujuk pesantren
sebagai agen perubahan dan membantu pemerintah dalam perkembangan
ekonomi Indonesia. Wahid memilih batal belajar luar negeri dan lebih
memilih mengembangkan pesantren.
Abdurrahman
Wahid meneruskan karirnya sebagai jurnalis, menulis untuk majalah Tempo
dan koran Kompas. Artikelnya diterima dengan baik dan ia mulai
mengembangkan reputasi sebagai komentator sosial. Dengan popularitas
itu, ia mendapatkan banyak undangan untuk memberikan kuliah dan seminar,
membuat dia harus pulang-pergi antara Jakarta dan Jombang, tempat Wahid
tinggal bersama keluarganya.
Meskipun
memiliki karir yang sukses pada saat itu, Gus Dur masih merasa sulit
hidup hanya dari satu sumber pencaharian dan ia bekerja untuk
mendapatkan pendapatan tambahan dengan menjual kacang dan mengantarkan
es untuk digunakan pada bisnis Es Lilin istrinya. Pada tahun 1974, Wahid
mendapat pekerjaan tambahan di Jombang sebagai guru di Pesantren
Tambakberas dan segera mengembangkan reputasi baik. Satu tahun kemudian,
Wahid menambah pekerjaannya dengan menjadi Guru Kitab Al Hikam.
Pada
tahun 1977, Wahid bergabung ke Universitas Hasyim Asyari sebagai dekan
Fakultas Praktek dan Kepercayaan Islam. Sekali lagi, Wahid mengungguli
pekerjaannya dan Universitas ingin agar Wahid mengajar subyek tambahan
seperti pedagogi, syariat Islam dan misiologi. Namun, kelebihannya
menyebabkan beberapa ketidaksenangan dari sebagian kalangan universitas
dan Wahid mendapat rintangan untuk mengajar subyek-subyek tersebut.
Sementara menanggung semua beban tersebut, Wahid juga berpidato selama
ramadhan di depan komunitas Muslim di Jombang.
Nahdlatul Ulama
Awal keterlibatan
Latar
belakang keluarga Wahid segera berarti. Ia akan diminta untuk memainkan
peran aktif dalam menjalankan NU. Permintaan ini berlawanan dengan
aspirasi Gus Dur dalam menjadi intelektual publik dan ia dua kali
menolak tawaran bergabung dengan Dewan Penasehat Agama NU. Namun, Wahid
akhirnya bergabung dengan Dewan tersebut setelah kakeknya, Bisri
Syansuri, memberinya tawaran ketiga. Karena mengambil pekerjaan ini,
Wahid juga memilih untuk pindah dari Jombang ke Jakarta dan menetap di
sana. Sebagai anggota Dewan Penasehat Agama, Wahid memimpin dirinya
sebagai reforman NU.
Pada
saat itu, Abdurrahman Wahid juga mendapat pengalaman politik
pertamanya. Pada pemilihan umum legislatif 1982, Wahid berkampanye untuk
Partai Persatuan Pembangunan (PPP), sebuah Partai Islam yang dibentuk
sebagai hasil gabungan 4 partai Islam termasuk NU. Wahid menyebut bahwa
Pemerintah mengganggu kampanye PPP dengan menangkap orang seperti
dirinya. Namun, Wahid selalu berhasil lepas karena memiliki hubungan
dengan orang penting seperti Jendral Benny Moerdani.
Mereformasi NU
Pada
saat itu, banyak orang yang memandang NU sebagai organisasi dalam
keadaan stagnasi/terhenti. Setelah berdiskusi, Dewan Penasehat Agama
akhirnya membentuk Tim Tujuh (yang termasuk Wahid) untuk mengerjakan isu
reformasi dan membantu menghidupkan kembali NU. Reformasi dalam
organisasi termasuk perubahan keketuaan. Pada 2 Mei 1982,
pejabat-pejabat tinggi NU bertemu dengan Ketua NU Idham Chalid dan
meminta agar ia mengundurkan diri. Idham, yang telah memandu NU pada era
transisi kekuasaan dari Soekarno ke Soeharto awalnya melawan, tetapi
akhirnya mundur karena tekanan. Pada 6 Mei 1982, Wahid mendengar pilihan
Idham untuk mundur dan menemuinya, lalu ia berkata bahwa permintaan
mundur tidak konstitusionil. Dengan himbauan Wahid, Idham membatalkan
kemundurannya dan Wahid bersama dengan Tim Tujuh dapat menegosiasikan
persetujuan antara Idham dan orang yang meminta kemundurannya.
Pada
tahun 1983, Soeharto dipilih kembali sebagai presiden untuk masa
jabatan ke-4 oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dan mulai
mengambil langkah untuk menjadikan Pancasila sebagai Ideologi Negara.
Dari Juni 1983 hingga Oktober 1983, Wahid menjadi bagian dari kelompok
yang ditugaskan untuk menyiapkan respon NU terhadap isu tersebut. Wahid
berkonsultasi dengan bacaan seperti Quran dan Sunnah untuk pembenaran
dan akhirnya, pada Oktober 1983, ia menyimpulkan bahwa NU harus menerima
Pancasila sebagai Ideologi Negara. Untuk lebih menghidupkan kembali NU,
Wahid juga mengundurkan diri dari PPP dan partai politik. Hal ini
dilakukan sehingga NU dapat fokus dalam masalah sosial daripada
terhambat dengan terlibat dalam politik.
Terpilih sebagai ketua dan masa jabatan pertama
Reformasi
Wahid membuatnya sangat populer di kalangan NU. Pada saat Musyawarah
Nasional 1984, banyak orang yang mulai menyatakan keinginan mereka untuk
menominasikan Wahid sebagai ketua baru NU. Wahid menerima nominasi ini
dengan syarat ia mendapatkan wewenang penuh untuk memilih para pengurus
yang akan bekerja di bawahnya. Wahid terpilih sebagai Ketua Umum
Pengurus Besar Nahdlatul Ulama pada Musyawarah Nasional tersebut. Namun
demikian, persyaratannya untuk dapat memilih sendiri para pengurus di
bawahnya tidak terpenuhi. Pada hari terakhir Munas, daftar anggota Wahid
sedang dibahas persetujuannya oleh para pejabat tinggu NU termasuk
Ketua PBNU sebelumnya, Idham Chalid. Wahid sebelumnya telah memberikan
sebuah daftar kepada Panitia Munas yang sedianya akan diumumkan hari
itu. Namun demikian, Panitia Munas, yang bertentangan dengan Idham,
mengumumkan sebuah daftar yang sama sekali berbeda kepada para peserta
Munas.
Terpilihnya
Gus Dur dilihat positif oleh Suharto dan rezim Orde Baru. Penerimaan
Wahid terhadap Pancasila bersamaan dengan citra moderatnya menjadikannya
disukai oleh pejabat pemerintahan. Pada tahun 1985, Suharto menjadikan
Gus Dur indoktrinator Pancasila. Pada tahun 1987, Abdurrahman Wahid
menunjukan dukungan lebih lanjut terhadap rezim tersebut dengan
mengkritik PPP dalam pemilihan umum legislatif 1987 dan memperkuat
Partai Golkar Suharto. Ia kemudian menjadi anggota MPR mewakili Golkar.
Meskipun ia disukai oleh rezim, Wahid mengkritik pemerintah karena
proyek Waduk Kedung Ombo yang didanai oleh Bank Dunia. Hal ini
merenggangkan hubungan Wahid dengan pemerintah, namun saat itu Suharto
masih mendapat dukungan politik dari NU.
Selama
masa jabatan pertamanya, Gus Dur fokus dalam mereformasi sistem
pendidikan pesantren dan berhasil meningkatkan kualitas sistem
pendidikan pesantren sehingga dapat menandingi sekolah sekular. Pada
tahun 1987, Gus Dur juga mendirikan kelompok belajar di Probolinggo,
Jawa Timur untuk menyediakan forum individu sependirian dalam NU untuk
mendiskusikan dan menyediakan interpretasi teks Muslim. Gus Dur pernah
pula menghadapi kritik bahwa ia mengharapkan mengubah salam Muslim
"assalamualaikum" menjadi salam sekular "selamat pagi".
Masa jabatan kedua dan melawan Orde Baru
Wahid
terpilih kembali untuk masa jabatan kedua Ketua NU pada Musyawarah
Nasional 1989. Pada saat itu, Soeharto, yang terlibat dalam pertempuran
politik dengan ABRI, mulai menarik simpati Muslim untuk mendapat
dukungan mereka. Pada Desember 1990, Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia
(ICMI) dibentuk untuk menarik hati Muslim Intelektual. Organisasi ini
didukung oleh Soeharto, diketuai oleh Baharuddin Jusuf Habibie dan di
dalamnya terdapat intelektual Muslim seperti Amien Rais dan Nurcholish
Madjid sebagai anggota. Pada tahun 1991, beberapa anggota ICMI meminta
Gus Dur bergabung. Gus Dur menolak karena ia mengira ICMI mendukung
sektarianisme dan akan membuat Soeharto tetap kuat. Pada tahun 1991,
Wahid melawan ICMI dengan membentuk Forum Demokrasi, organisasi yang
terdiri dari 45 intelektual dari berbagai komunitas religius dan sosial.
Organisasi ini diperhitungkan oleh pemerintah dan pemerintah
menghentikan pertemuan yang diadakan oleh Forum Demokrasi saat menjelang
pemilihan umum legislatif 1992.
Pada
Maret 1992, Gus Dur berencana mengadakan Musyawarah Besar untuk
merayakan ulang tahun NU ke-66 dan mengulang pernyataan dukungan NU
terhadap Pancasila. Wahid merencanakan acara itu dihadiri oleh paling
sedikit satu juta anggota NU. Namun, Soeharto menghalangi acara
tersebut, memerintahkan polisi untuk mengembalikan bus berisi anggota NU
ketika mereka tiba di Jakarta. Akan tetapi, acara itu dihadiri oleh
200.000 orang. Setelah acara, Gus Dur mengirim surat protes kepada
Soeharto menyatakan bahwa NU tidak diberi kesempatan menampilkan Islam
yang terbuka, adil dan toleran. Selama masa jabatan keduanya sebagai
ketua NU, ide liberal Gus Dur mulai mengubah banyak pendukungnya menjadi
tidak setuju. Sebagai ketua, Gus Dur terus mendorong dialog antar agama
dan bahkan menerima undangan mengunjungi Israel pada Oktober 1994.
Masa jabatan ketiga dan menuju reformasi
Menjelang
Musyawarah Nasional 1994, Gus Dur menominasikan dirinya untuk masa
jabatan ketiga. Mendengar hal itu, Soeharto ingin agar Wahid tidak
terpilih. Pada minggu-minggu sebelum munas, pendukung Soeharto, seperti
Habibie dan Harmoko berkampanye melawan terpilihnya kembali Gus Dur.
Ketika musyawarah nasional diadakan, tempat pemilihan dijaga ketat oleh
ABRI dalam tindakan intimidasi. Terdapat juga usaha menyuap anggota NU
untuk tidak memilihnya. Namun, Gus Dur tetap terpilih sebagai ketua NU
untuk masa jabatan ketiga. Selama
masa ini, Gus Dur memulai aliansi politik dengan Megawati Soekarnoputri
dari Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Megawati yang menggunakan nama
ayahnya memiliki popularitas yang besar dan berencana tetap menekan
rezim Soeharto. Wahid menasehati Megawati untuk berhati-hati dan menolak
dipilih sebagai Presiden untuk Sidang Umum MPR 1998. Megawati
mengacuhkannya dan harus membayar mahal ketika pada Juli 1996 markas
PDInya diambil alih oleh pendukung Ketua PDI yang didukung pemerintah,
Soerjadi.
Melihat
apa yang terjadi terhadap Megawati, Gus Dur berpikir bahwa pilihan
terbaiknya sekarang adalah mundur secara politik dengan mendukung
pemerintah. Pada November 1996, Wahid dan Soeharto bertemu pertama
kalinya sejak pemilihan kembali Gus Dur sebagai ketua NU dan beberapa
bulan berikutnya diikuti dengan pertemuan dengan berbagai tokoh
pemerintah yang pada tahun 1994 berusaha menghalangi pemilihan kembali
Gus Dur.[30] Pada saat yang sama, Gus Dur membiarkan pilihannya untuk
melakukan reformasi tetap terbuka dan pada Desember 1996 bertemu dengan
Amien Rais, anggota ICMI yang kritis terhadap kebijakan-kebijakan
pemerintah.
Juli
1997 merupakan awal dari Krisis Finansial Asia. Soeharto mulai
kehilangan kendali atas situasi tersebut. Gus Dur didorong untuk
melakukan reformasi dengan Megawati dan Amien, namun ia terkena stroke
pada Januari 1998. Dari rumah sakit, Wahid melihat situasi terus
memburuk dengan pemilihan kembali Soeharto sebagai Presiden dan protes
mahasiswa yang menyebabkan terjadinya kerusuhan Mei 1998 setelah
penembakan enam mahasiswa di Universitas Trisakti. Pada tanggal 19 Mei
1998, Gus Dur, bersama dengan delapan pemimpin penting dari komunitas
Muslim, dipanggil ke kediaman Soeharto. Soeharto memberikan konsep
Komite Reformasi yang ia usulkan. Sembilan pemimpin tersebut menolak
untuk bergabung dengan Komite Reformasi. Gus Dur memiliki pendirian yang
lebih moderat dengan Soeharto dan meminta demonstran berhenti untuk
melihat apakah Soeharto akan menepati janjinya. Hal tersebut tidak
disukai Amien, yang merupakan oposisi Soeharto yang paling kritis pada
saat itu. Namun, Soeharto mengumumkan pengunduran dirinya pada tanggal
21 Mei 1998. Wakil Presiden Habibie menjadi presiden menggantikan
Soeharto.
Reformasi
Pembentukan PKB dan Pernyataan Ciganjur
Salah
satu dampak jatuhnya Soeharto adalah pembentukan partai politik baru.
Di bawah rezim Soeharto, hanya terdapat tiga pertai politik: Golkar, PPP
dan PDI. Dengan jatuhnya Soeharto, partai-partai politik mulai
terbentuk, dengan yang paling penting adalah Partai Amanat Nasional
(PAN) bentukan Amien dan Partai Demokrasi Indonesia-Perjuangan (PDI-P)
bentukan Megawati. Pada Juni 1998, banyak orang dari komunitas NU
meminta Gus Dur membentuk partai politik baru. Ia tidak langsung
mengimplementasikan ide tersebut. Namun pada Juli 1998 Gus Dur mulai
menanggapi ide tersebut karena mendirikan partai politik merupakan
satu-satunya cara untuk melawan Golkar dalam pemilihan umum. Wahid
menyetujui pembentukan PKB dan menjadi Ketua Dewan Penasehat dengan
Matori Abdul Djalil sebagai ketua partai. Meskipun partai tersebut
didominasi anggota NU, Gus Dur menyatakan bahwa partai tersebut terbuka
untuk semua orang.
Pada
November 1998, dalam pertemuan di Ciganjur, Gus Dur, bersama dengan
Megawati, Amien, dan Sultan Hamengkubuwono X kembali menyatakan komitmen
mereka untuk reformasi. Pada 7 Februari 1999, PKB secara resmi
menyatakan Gus Dur sebagai kandidat pemilihan presiden.
Pemilu 1999 dan Sidang Umum MPR
Pada
Juni 1999, partai PKB ikut serta dalam arena pemilu legislatif. PKB
memenangkan 12% suara dengan PDI-P memenangkan 33% suara. Dengan
kemenangan partainya, Megawati memperkirakan akan memenangkan pemilihan
presiden pada Sidang Umum MPR. Namun, PDI-P tidak memiliki mayoritas
penuh, sehingga membentuk aliansi dengan PKB. Pada
Juli, Amien Rais membentuk Poros Tengah, koalisi partai-partai Muslim.
Poros Tengah mulai menominasikan Gus Dur sebagai kandidat ketiga pada
pemilihan presiden dan komitmen PKB terhadap PDI-P mulai berubah.
Pada
7 Oktober 1999, Amien dan Poros Tengah secara resmi menyatakan
Abdurrahman Wahid sebagai calon presiden. Pada 19 Oktober 1999, MPR
menolak pidato pertanggungjawaban Habibie dan ia mundur dari pemilihan
presiden. Beberapa saat
kemudian, Akbar Tanjung, ketua Golkar dan ketua Dewan Perwakilan Rakyat
(DPR) menyatakan Golkar akan mendukung Gus Dur. Pada 20 Oktober 1999,
MPR kembali berkumpul dan mulai memilih presiden baru. Abdurrahman Wahid
kemudian terpilih sebagai Presiden Indonesia ke-4 dengan 373 suara,
sedangkan Megawati hanya 313 suara.
Tidak
senang karena calon mereka gagal memenangkan pemilihan, pendukung
Megawati mengamuk dan Gus Dur menyadari bahwa Megawati harus terpilih
sebagai wakil presiden. Setelah meyakinkan jendral Wiranto untuk tidak
ikut serta dalam pemilihan wakil presiden dan membuat PKB mendukung
Megawati, Gus Dur pun berhasil meyakinkan Megawati untuk ikut serta.
Pada 21 Oktober 1999, Megawati ikut serta dalam pemilihan wakil presiden
dan mengalahkan Hamzah Haz dari PPP.
Kepresidenan
1999
Kabinet
pertama Gus Dur, Kabinet Persatuan Nasional, adalah kabinet koalisi
yang meliputi anggota berbagai partai politik: PDI-P, PKB, Golkar, PPP,
PAN, dan Partai Keadilan (PK). Non-partisan dan TNI juga ada dalam
kabinet tersebut. Wahid kemudian mulai melakukan dua reformasi
pemerintahan. Reformasi pertama adalah membubarkan Departemen
Penerangan, senjata utama rezim Soeharto dalam menguasai media.
Reformasi kedua adalah membubarkan Departemen Sosial yang korup.
Pada
November 1999, Wahid mengunjungi negara-negara anggota ASEAN, Jepang,
Amerika Serikat, Qatar, Kuwait, dan Yordania. Setelah itu, pada bulan
Desember, ia mengunjungi Republik Rakyat Cina.
Setelah
satu bulan berada dalam Kabinet Persatuan Nasional, Menteri Menteri
Koordinator Pengentasan Kemiskinan (Menko Taskin) Hamzah Haz mengumumkan
pengunduran dirinya pada bulan November. Muncul dugaan bahwa
pengunduran dirinya diakibatkan karena Gus Dur menuduh beberapa anggota
kabinet melakukan korupsi selama ia masih berada di Amerika Serikat.
Beberapa menduga bahwa pengunduran diri Hamzah Haz diakibatkan karena
ketidaksenangannya atas pendekatan Gus Dur dengan Israel.
Rencana
Gus Dur adalah memberikan Aceh referendum. Namun referendum ini
menentukan otonomi dan bukan kemerdekaan seperti referendum Timor Timur.
Gus Dur juga ingin mengadopsi pendekatan yang lebih lembut terhadap
Aceh dengan mengurangi jumlah personel militer di Negeri Serambi Mekkah
tersebut. Pada 30
Desember, Gus Dur mengunjungi Jayapura di provinsi Irian Jaya. Selama
kunjungannya, Abdurrahman Wahid berhasil meyakinkan pemimpin-pemimpin
Papua bahwa ia mendorong penggunaan nama Papua.
2000
Pada
Januari 2000, Gus Dur melakukan perjalanan ke luar negeri lainnya ke
Swiss untuk menghadiri Forum Ekonomi Dunia dan mengunjungi Arab Saudi
dalam perjalanan pulang menuju Indonesia. Pada Februari, Wahid melakukan
perjalanan luar negeri ke Eropa lainnya dengan mengunjungi Inggris,
Perancis, Belanda, Jerman, dan Italia. Dalam perjalanan pulang dari
Eropa, Gus Dur juga mengunjungi India, Korea Selatan, Thailand, dan
Brunei Darussalam. Pada bulan Maret, Gus Dur mengunjungi Timor Leste. Di
bulan April, Wahid mengunjungi Afrika Selatan dalam perjalanan menuju
Kuba untuk menghadiri pertemuan G-77, sebelum kembali melewati Kota
Meksiko dan Hong Kong. Pada bulan Juni, Wahid sekali lagi mengunjungi
Amerika, Jepang, dan Perancis dengan Iran, Pakistan, dan Mesir sebagai
tambahan baru ke dalam daftar negara-negara yang dikunjunginya.
Ketika
Gus Dur berkelana ke Eropa pada bulan Februari, ia mulai meminta
Jendral Wiranto mengundurkan diri dari jabatan Menteri Koordinator
Bidang Politik dan Keamanan. Gus Dur melihat Wiranto sebagai halangan
terhadap rencana reformasi militer dan juga karena tuduhan pelanggaran
HAM di Timor Timur terhadap Wiranto.
Ketika
Gus Dur kembali ke Jakarta, Wiranto berbicara dengannya dan berhasil
meyakinkan Gus Dur agar tidak menggantikannya. Namun, Gus Dur kemudian
mengubah pikirannya dan memintanya mundur. Pada April 2000, Gus Dur
memecat Menteri Negara Perindustrian dan Perdagangan Jusuf Kalla dan
Menteri Negara BUMN Laksamana Sukardi. Alasan yang diberikan Wahid
adalah bahwa keduanya terlibat dalam kasus korupsi, meskipun Gus Dur
tidak pernah memberikan bukti yang kuat. Hal ini memperburuk hubungan
Gus Dur dengan Golkar dan PDI-P.
Pada
Maret 2000, pemerintahan Gus Dur mulai melakukan negosiasi dengan
Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Dua bulan kemudian, pemerintah
menandatangani nota kesepahaman dengan GAM hingga awal tahun 2001, saat
kedua penandatangan akan melanggar persetujuan.[42] Gus Dur juga
mengusulkan agar TAP MPRS No. XXIX/MPR/1966 yang melarang
Marxisme-Leninisme dicabut.
Ia
juga berusaha membuka hubungan dengan Israel, yang menyebabkan
kemarahan pada kelompok Muslim Indonesia.[44] Isu ini diangkat dalam
pidato Ribbhi Awad, duta besar Palestina untuk Indonesia, kepada
parlemen Palestina tahun 2000. Isu lain yang muncul adalah keanggotaan
Gus Dur pada Yayasan Shimon Peres. Baik Gus Dur dan menteri luar
negerinya Alwi Shihab menentang penggambaran Presiden Indonesia yang
tidak tepat, dan Alwi meminta agar Awad, duta besar Palestina untuk
Indonesia, diganti.
Dalam
usaha mereformasi militer dan mengeluarkan militer dari ruang
sosial-politik, Gus Dur menemukan sekutu, yaitu Agus Wirahadikusumah,
yang diangkatnya menjadi Panglima Kostrad pada bulan Maret. Pada Juli
2000, Agus mulai membuka skandal yang melibatkan Dharma Putra, yayasan
yang memiliki hubungan dengan Kostrad. Melalui Megawati, anggota TNI
mulai menekan Wahid untuk mencopot jabatan Agus. Gus Dur mengikuti
tekanan tersebut, tetapi berencana menunjuk Agus sebagai Kepala Staf
Angkatan Darat. Petinggi TNI merespon dengan mengancam untuk pensiun,
sehingga Gus Dur kembali harus menurut pada tekanan
Hubungan Gus Dur dengan TNI semakin memburuk ketika Laskar Jihad tiba di Maluku dan dipersenjatai oleh TNI. Laskar
Jihad pergi ke Maluku untuk membantu orang Muslim dalam konflik dengan
orang Kristen. Wahid meminta TNI menghentikan aksi Laskar Jihad, namun
mereka tetap berhasil mencapai Maluku dan dipersenjatai oleh senjata
TNI.
Muncul
pula dua skandal pada tahun 2000, yaitu skandal Buloggate dan
Bruneigate. Pada bulan Mei, Badan Urusan Logistik (BULOG) melaporkan
bahwa $4 juta menghilang dari persediaan kas Bulog. Tukang pijit pribadi
Gus Dur mengklaim bahwa ia dikirim oleh Gus Dur ke Bulog untuk
mengambil uang.[48] Meskipun uang berhasil dikembalikan, musuh Gus Dur
menuduhnya terlibat dalam skandal ini. Skandal ini disebut skandal
Buloggate. Pada waktu yang sama, Gus Dur juga dituduh menyimpan uang $2
juta untuk dirinya sendiri. Uang itu merupakan sumbangan dari Sultan
Brunei untuk membantu di Aceh. Namun, Gus Dur gagal
mempertanggungjawabkan dana tersebut. Skandal ini disebut skandal
Bruneigate.
Sidang
Umum MPR 2000 hampir tiba, popularitas Gus Dur masih tinggi. Sekutu
Wahid seperti Megawati, Akbar dan Amien masih mendukungnya meskipun
terjadi berbagai skandal dan pencopotan menteri. Pada Sidang Umum MPR,
pidato Gus Dur diterima oleh mayoritas anggota MPR. Selama pidato, Wahid
menyadari kelemahannya sebagai pemimpin dan menyatakan ia akan
mewakilkan sebagian tugas. Anggota MPR setuju dan mengusulkan agar
Megawati menerima tugas tersebut. Pada awalnya MPR berencana menerapkan
usulan ini sebagai TAP MPR, akan tetapi Keputusan Presiden dianggap
sudah cukup. Pada 23 Agustus, Gus Dur mengumumkan kabinet baru meskipun
Megawati ingin pengumuman ditunda. Megawati menunjukan
ketidaksenangannya dengan tidak hadir pada pengumuman kabinet. Kabinet
baru lebih kecil dan meliputi lebih banyak non-partisan. Tidak terdapat
anggota Golkar dalam kabinet baru Gus Dur.
Pada
September, Gus Dur menyatakan darurat militer di Maluku karena kondisi
di sana semakin memburuk. Pada saat itu semakin jelas bahwa Laskar Jihad
didukung oleh anggota TNI dan juga kemungkinan didanai oleh Fuad
Bawazier, menteri keuangan terakhir Soeharto. Pada
bulan yang sama, bendera bintang kejora berkibar di Papua Barat. Gus
Dur memperbolehkan bendera bintang kejora dikibarkan asalkan berada di
bawah bendera Indonesia. Ia dikritik oleh Megawati dan Akbar karena hal
ini. Pada 24 Desember 2000, terjadi serangan bom terhadap gereja-gereja
di Jakarta dan delapan kota lainnya di seluruh Indonesia.
Pada
akhir tahun 2000, terdapat banyak elit politik yang kecewa dengan
Abdurrahman Wahid. Orang yang paling menunjukan kekecewaannya adalah
Amien. Ia menyatakan kecewa mendukung Gus Dur sebagai presiden tahun
lalu. Amien juga berusaha mengumpulkan oposisi dengan meyakinkan
Megawati dan Gus Dur untuk merenggangkan otot politik mereka. Megawati
melindungi Gus Dur, sementara Akbar menunggu pemilihan umum legislatif
tahun 2004. Pada akhir November, 151 DPR menandatangani petisi yang meminta pemakzulan Gus Dur.
2001 dan akhir kekuasaan
Pada
Januari 2001, Gus Dur mengumumkan bahwa Tahun Baru Cina (Imlek) menjadi
hari libur opsional. Tindakan ini diikuti dengan pencabutan larangan
penggunaan huruf Tionghoa. Gus Dur lalu mengunjungi Afrika Utara dan
juga Arab Saudi untuk naik haji. Abdurrahman Wahid melakukan kunjungan
terakhirnya ke luar negeri sebagai presiden pada Juni 2001 ketika ia
mengunjungi Australia.
Pada
pertemuan dengan rektor-rektor universitas pada 27 Januari 2001, Gus
Dur menyatakan kemungkinan Indonesia masuk kedalam anarkisme. Ia lalu
mengusulkan pembubaran DPR jika hal tersebut terjadi. Pertempuan
tersebut menambah gerakan anti-Wahid. Pada 1 Februari, DPR bertemu untuk
mengeluarkan nota terhadap Gus Dur. Nota tersebut berisi diadakannya
Sidang Khusus MPR dimana pemakzulan Presiden dapat dilakukan. Anggota
PKB hanya bisa walk out dalam menanggapi hal ini. Nota ini juga
menimbulkan protes di antara NU. Di Jawa Timur, anggota NU melakukan
protes di sekitar kantor regional Golkar. Di Jakarta, oposisi Gus Dur
turun menuduhnya mendorong protes tersebut. Gus Dur membantah dan pergi
untuk berbicara dengan demonstran di Pasuruan.. Namun, demonstran NU
terus menunjukan dukungan mereka kepada Gus Dur dan pada bulan April
mengumumkan bahwa mereka siap untuk mempertahankan Gus Dur sebagai
presiden hingga mati.
Pada
bulan Maret, Gus Dur mencoba membalas oposisi dengan melawan disiden
pada kabinetnya. Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Yusril Ihza
Mahendra dicopot dari kabinet karena ia mengumumkan permintaan agar Gus
Dur mundur. Menteri Kehutanan Nurmahmudi Ismail juga dicopot dengan
alasan berbeda visi dengan Presiden, berlawanan dalam pengambilan
kebijakan, dan diangap tidak dapat mengendalikan Partai Keadilan, yang
pada saat itu massanya ikut dalam aksi menuntut Gus Dur mundur. Dalam
menanggapi hal ini, Megawati mulai menjaga jarak dan tidak hadir dalam
inagurasi penggantian menteri. Pada 30 April, DPR mengeluarkan nota
kedua dan meminta diadakannya Sidang Istimewa MPR pada 1 Agustus.
Gus
Dur mulai putus asa dan meminta Menteri Koordinator Politik, Sosial,
dan Keamanan (Menko Polsoskam) Susilo Bambang Yudhoyono untuk menyatakan
keadaan darurat. Yudhoyono menolak dan Gus Dur memberhentikannya dari
jabatannya beserta empat menteri lainnya dalam reshuffle kabinet pada
tanggal 1 Juli 2009.[58] Akhirnya pada 20 Juli, Amien Rais menyatakan
bahwa Sidang Istimewa MPR akan dimajukan pada 23 Juli. TNI menurunkan
40.000 tentara di Jakarta dan juga menurunkan tank yang menunjuk ke arah
Istana Negara sebagai bentuk penunjukan kekuatan.[59]. Gus Dur kemudian
mengumumkan pemberlakuan dekrit yang berisi (1) pembubaran MPR/DPR, (2)
mengembalikan kedaulatan ke tangan rakyat dengan mempercepat pemilu
dalam waktu satu tahun, dan (3) membekukan Partai Golkar. sebagai bentuk
perlawanan terhadap Sidang Istimewa MPR. Namun dekrit tersebut tidak
memperoleh dukungan dan pada 23 Juli, MPR secara resmi memakzulkan Gus
Dur dan menggantikannya dengan Megawati Sukarnoputri. Abdurrahman Wahid
terus bersikeras bahwa ia adalah presiden dan tetap tinggal di Istana
Negara selama beberapa hari, namun akhirnya pada tanggal 25 Juli ia
pergi ke Amerika Serikat karena masalah kesehatan.
Aktivitas setelah kepresidenan
Perpecahan pada tubuh PKB
Sebelum
Sidang Khusus MPR, anggota PKB setuju untuk tidak hadir sebagai lambang
solidaritas. Namun, Matori Abdul Djalil, ketua PKB, bersikeras hadir
karena ia adalah Wakil Ketua MPR. Dengan posisinya sebagai Kepala Dewan
Penasehat, Gus Dur menjatuhkan posisi Matori sebagai Ketua PKB pada
tanggal 15 Agustus 2001 dan melarangnya ikut serta dalam aktivitas
partai sebelum mencabut keanggotaan Matori pada bulan November. Pada
tanggal 14 Januari 2002, Matori mengadakan Munas Khusus yang dihadiri
oleh pendukungnya di PKB. Munas tersebut memilihnya kembali sebagai
ketua PKB. Gus Dur membalasnya dengan mengadakan Munasnya sendiri pada
tanggal 17 Januari, sehari setelah Munas Matori selesai Musyawarah
Nasional memilih kembali Gus Dur sebagai Ketua Dewan Penasehat dan Alwi
Shihab sebagai Ketua PKB. PKB Gus Dur lebih dikenal sebagai PKB Kuningan
sementara PKB Matori dikenal sebagai PKB Batutulis.
Pemilihan umum 2004
Pada
April 2004, PKB berpartisipasi dalam Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD,
dan DPRD Indonesia 2004, memperoleh 10.6% suara. Untuk Pemilihan Umum
Presiden dan Wakil Presiden Indonesia 2004, dimana rakyat akan memilih
secara langsung, PKB memilih Wahid sebagai calon presiden. Namun, Gus
Dur gagal melewati pemeriksaan medis sehingga Komisi Pemilihan Umum
menolak memasukannya sebagai kandidat. Gus Dur lalu mendukung Solahuddin
yang merupakan pasangan dari Wiranto. Pada 5 Juli 2004, Wiranto dan
Solahuddin kalah dalam pemilu. Untuk pemilihan kedua antara pasangan
Yudhoyono-Kalla dengan Megawati-Muzadi, Gus Dur menyatakan golput.
Oposisi terhadap pemerintahan SBY
Pada
Agustus 2005, Gus Dur menjadi salah satu pemimpin koalisi politik yang
bernama Koalisi Nusantara Bangkit Bersatu. Bersama dengan Try Sutrisno,
Wiranto, Akbar Tanjung dan Megawati, koalisi ini mengkritik kebijakan
pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, terutama mengenai pencabutan
subsidi BBM yang akan menyebabkan naiknya harga BBM.
Kehidupan pribadi
Wahid
menikah dengan Sinta Nuriyah dan dikaruniai empat orang anak: Alissa
Qotrunnada, Zannuba Ariffah Chafsoh (Yenny), Anita Hayatunnufus, dan
Inayah Wulandari. Yenny juga aktif berpolitik di Partai Kebangkitan
Bangsa dan saat ini adalah direktur The Wahid Institute.
Kematian
Gus
Dur menderita banyak penyakit, bahkan sejak ia mulai menjabat sebagai
presiden. Ia menderita gangguan penglihatan sehingga seringkali surat
dan buku yang harus dibaca atau ditulisnya harus dibacakan atau
dituliskan oleh orang lain. Beberapa kali ia mengalami serangan strok.
Diabetes dan gangguan ginjal juga dideritanya. Ia wafat pada hari Rabu,
30 Desember 2009, di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta, pada pukul
18.45 akibat berbagai komplikasi penyakit tersebut, yang dideritanya
sejak lama. Sebelum wafat ia harus menjalani hemodialisis (cuci darah)
rutin. Menurut adiknya, Gus Dur wafat akibat sumbatan pada arteri.
Seminggu sebelum dipindahkan ke Jakarta ia sempat dirawat di Jombang
seusai mengadakan perjalanan di Jawa Timur.
Penghargaan
Pada
tahun 1993, Gus Dur menerima Ramon Magsaysay Award, sebuah penghargaan
yang cukup prestisius untuk kategori Community Leadership.
Wahid
ditahbiskan sebagai "Bapak Tionghoa" oleh beberapa tokoh Tionghoa
Semarang di Kelenteng Tay Kak Sie, Gang Lombok, yang selama ini dikenal
sebagai kawasan Pecinan pada tanggal 10 Maret 2004.
Pada
11 Agustus 2006, Gadis Arivia dan Gus Dur mendapatkan Tasrif Award-AJI
sebagai Pejuang Kebebasan Pers 2006. Penghargaan ini diberikan oleh
Aliansi Jurnalis Independen (AJI). Gus Dur dan Gadis dinilai memiliki
semangat, visi, dan komitmen dalam memperjuangkan kebebasan berekpresi,
persamaan hak, semangat keberagaman, dan demokrasi di Indonesia. Gus Dur
dan Gadis dipilih oleh dewan juri yang terdiri dari budayawan Butet
Kertaradjasa, pemimpin redaksi The Jakarta Post Endy Bayuni, dan Ketua
Komisi Nasional Perempuan Chandra Kirana. Mereka berhasil menyisihkan 23
kandidat lain. Penghargaan Tasrif Award bagi Gus Dur menuai protes dari
para wartawan yang hadir dalam acara jumpa pers itu. Seorang wartawan
mengatakan bahwa hanya karena upaya Gus Dur menentang RUU Anti Pornoaksi
dan Pornografi, ia menerima penghargaan tersebut. Sementara wartawan
lain seperti Ati Nurbaiti, mantan Ketua Umum AJI Indonesia dan wartawan
The Jakarta Post membantah dan mempertanyakan hubungan perjuangan Wahid
menentang RUU APP dengan kebebasan pers.
Ia
mendapat penghargaan dari Simon Wiethemthal Center, sebuah yayasan yang
bergerak di bidang penegakan Hak Asasi Manusia. Wahid mendapat
penghargaan tersebut karena menurut mereka ia merupakan salah satu tokoh
yang peduli terhadap persoalan HAM. Gus Dur memperoleh penghargaan dari
Mebal Valor yang berkantor di Los Angeles karena Wahid dinilai memiliki
keberanian membela kaum minoritas, salah satunya dalam membela umat
beragama Konghucu di Indonesia dalam memperoleh hak-haknya yang sempat
terpasung selama era orde baru. Wahid juga memperoleh penghargaan dari
Universitas Temple. Namanya diabadikan sebagai nama kelompok studi
Abdurrahman Wahid Chair of Islamic Study.
Doktor kehormatan
Gus Dur juga banyak memperoleh gelar Doktor Kehormatan (Doktor Honoris Causa) dari berbagai lebaga pendidikan:- Doktor Kehormatan bidang Filsafat Hukum dari Universitas Thammasat, Bangkok, Thailand (2000)
- Doktor Kehormatan dari Asian Institute of Technology, Bangkok, Thailand (2000)
- Doktor Kehormatan bidang Ilmu Hukum dan Politik, Ilmu Ekonomi dan Manajemen, dan Ilmu Humaniora dari Pantheon Universitas Sorbonne, Paris, Prancis (2000)
- Doktor Kehormatan dari Universitas Chulalongkorn, Bangkok, Thailand (2000)
- Doktor Kehormatan dari Universitas Twente, Belanda (2000)
- Doktor Kehormatan dari Universitas Jawaharlal Nehru, India (2000)
- Doktor Kehormatan dari Universitas Soka Gakkai, Tokyo, Jepang (2002)
- Doktor Kehormatan bidang Kemanusiaan dari Universitas Netanya, Israel (2003)
- Doktor Kehormatan bidang Hukum dari Universitas Konkuk, Seoul, Korea Selatan (2003)
- Doktor Kehormatan dari Universitas Sun Moon, Seoul, Korea Selatan (2003)
Sumber : Achmad Fahrizal Zulfani Al Hanif (http://zulfanioey.blogspot.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan jika anda yang ingin komentar, namun tolong gunakan bahasa yang sopan